JAKARTA, Beritalima.com– Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Dr H Jazuli Juwaini menilai, tahun pertama periode kedua Pemerintahan pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih jauh dari keberhasilan. Bahkan hampir semua bidang cenderung memprihatinkan.
Hal itu, ungkap Jazuli dalam keterangan tertulis kepada Beritalima.com, Selasa (20/10) malam, diperparah faktor eksternal wabah pandemi virus Corona (Covid-190 yang sayangnya tidak ditangani dengan manajemen dan kepemimpinan yang efektif.
Meski demikian, apresiasi tetap disampaikan Jazuli di tengah hantaman Covid-19. Menurut Jazuli, Indonesia termasuk negara yang tidak terdampak dalam, dibandingkan negara lain. Respon cepat tim ekonomi juga mendapat apresiasi, termasuk dalam kerjasama dengan BI dalam menjaga stabilitas rupiah dan pendanaan dampak dari wabah yang telah merenggut covid. Jazuli juga bersyukur sampai kini tidak ada laporan bank yang collaps.
Sementara dari sisi penanganan dampak Covid-19, percepatan realisasi bansos kepada masyarakat diharapkan dapat meningkatkan daya beli dan ekonomi.
Catatan serius pada penanganan Covid-19. Sayangnya Pemerintah Jokowi tidak hadir dengan manajemen dan kepemimpinan bencana yang efektif sehingga jelas arah dan kebijakan mengatasi covid dan dampaknya.
“Akibat ketidakjelasan tersebut, kita tidak pasti kapan terminasi pandemi Covid-19 ini. Beban ekonomi juga semakin berat jika berlarut-larut. Instruksi dan harapan Presiden pun kepada jajarannya selalu meleset,” ungkap wakil rakyat dari Dapil II Provinsi Banten tersebut.
Untuk urusan ekonomi, kinerja satu tahun Pemerintahan Jokowi sejak dilantik 20 Oktober tahun lalu cenderung turun bahkan sejak triwulan I 2020 sebelum pandemi pertumbuhan ekonomi hanya 2,97 persen (yoy). Hal itu semakin diperparah dengan adanya pandemi Covid-19, ekonomi Indonesia semakin terpuruk.
Alhasil tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat memburuk. Itu ditandai dengan melonjaknya kemiskinan dalam setahun ini menjadi 27,5 juta orang/10,2 persen (naik 3 juta dari akhir 2019). Demikian pula halnya dengan tingkat pengangguran naik 5,5 juta orang menjadi 12,7 juta orang/9,1 persen. Juga rasio gini (disparitas kaya dan miskin) meningkat dari 0,380 di akhir 2019 menjadi 0,382.
Jazuli menyebut, hutang yang dibuat Pemerintah Jokowi juga melonjak tajam. Dalam satu tahun penambahan utang Rp 323,27 triliun sehingga total utang Indonesia sampai Agustus 2020 mencapai Rp 6,035,3 triliun. Kondisi pandemi yang tidak terkelola dengan baik mengakibatkan kondisi ekonomi nasional yang makin sulit.
Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang tidak konsisten, gonta-ganti leading aktor dan sektor dalam manjemen Covid, hingga realisasi stimulus ekonomi yang berjalan sangat lambat. Ini semua menunjukkan ketidakberesan dalam manajemen dan kepemimpinan pemerintah di tengah krisis.
Dalam catatan resmi dan evaluasi sejumlah lembaga riset ekonomi yang kredibel, realisasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan Penanganan Covid-19 sampai 14 Oktober 2020 baru mencapai Rp 344,11 triliun atau 49,5 persen dari pagu Rp 695,2 triliun. Kinerja Pemerintah dalam penanganan Covid-19 dan PEN tidak optimal. Jokowi harus meningkatkan kinerjanya dalam tiga bulan ke depan.
Dari data Penanganan Covid-19 dan PEN 2020, realisasi Kesehatan (31,51), sektoral K/L (26,40) dan insentif dunia usaha (24,61), masih berada dibawah 50 persen.
Kinerja penyerapan ketiga sektor itu belum optimal. Pemerintah perlu membuka data bantuan untuk korporasi (non UMKM), sampai saat ini belum terdapat angka realisasi dan pencapaiannya. Pemerintah perlu mengevaluasi program-program perlindungan sosial, khususnya kartu pra kerja.
Kartu prakerja sebaiknya dirombak total jadi bantuan sosial khusus pada korban Pemutusan hubungan Kerja (PHK) jadi sangat spesifik by name by addres. Datanya sudah tersedia di Badan Pengelola Jaminan Sosiel Tenaga Kerja (Jamsostek) dan bisa diverifikasi di perusahaan yang melakukan PHK.
Di luar serapan yang masih rendah di atas, dua sektor yang serapan tinggi yaitu perlindungan sosial 81,94 persen dan insentif Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) 91,77 persen. Fraksi PKS mengapresiasi capaian ini, sesuai dengan desakan Fraksi PKS selama ini. Tentu saja harus didukung data dan verifikasi yang benar dan valid sehingga menghindari penyelewengan.
Fraksi PKS juga menyoroti kondisi politik dan penegakan hukum selama satu tahun pemerintahan Jokowi-Amin. Koalisi besar pemerintah diakui mampu mengkonsolidasi kekuatan politik baik di pemerintahan maupun parlemen.
Fraksi PKS menemukan kecenderungan keputusan-keputusan politik yang semakin oligarkis dan miskin diskusi publik. Misalnya terjadi pada proses pengajuan dan pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) penanganan Covid-19 dan dampak ekonominya.
Dan, yang paling mutakhir pada pembahasan dan pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) dimana penolakan oposisi dan suara kritis publik di luar parlemen seperti tak dihiraukan pemerintah. Bahkan untuk sekedar menunda RUU supaya fokus pada penanganan dampak Covid-19 juga tidak dihiraukan.
“Lebih disesalkan kelompok kritis berusaha dibungkan suaranya dengan berbagai narasi yang menyudutkan. Aksi demonstrasi juga cenderung dihambat dengan berbagai cara. Bahkan, sejumlah tokoh dan kelompok kritis ditangkap dan diproses hukum, yang sulit untuk tidak mengatakan kental bernuansa politis,” ungkap Jazuli.
Anggota Komisi I DPR ini menegaskan sudah banyak tokoh dan lembaga yang memiliki reputasi menilai demokrasi dan penegakan hukum di satu tahun periode kedua Jokowi ini mengalami kemunduran. Berdasarkan laporan luas, masyarakat merasa ada ketidakadilan dalam proses penegakan hukum.
Hukum dirasakan tebang pilih. Sebagian masyarakat cepat diproses bahkan ditangkap dan langsung menjadi tersangka, sementara sebagian masayarakat lain sudah berkali-kali dilaporkan tapi tidak terlihat prosesnya.
Atas dasar evaluasi itu, atas nama Ketua Fraksi PKS, Jazuli meminta Pemerintah bijak dan memperhatikan suara-suara kritis masyarakat, mengedepankan dialog dan persuasi, bukan malah menghadapinya dengan berbagai narasi yang menyerang, aparat yang represif, serta jeratan proses hukum. “Kritik yang disampaikan sejatinya sama-sama untuk kemajuan bangsa yang bermartabat dan berdaulat,” demikian Dr H Jazuli Juwaini. (akhir)