Oleh :
Rudi S Kamri
Seperti yang saya tulis dalam artikel pada 9 September 2019 yang berjudul “Jangan Biarkan Jokowi Terperangkap Dalam Dilema KPK”, apapun keputusan yang diambil oleh Presiden Jokowi pasti menimbulkan pro dan kontra. Karena semua pihak penuh kepentingan.
Saya merasa bersyukur sikap Presiden Jokowi dalam menanggapi draft revisi UU KPK yang dituangkan dalam Surat Presiden tertanggal 11 September 2019 kepada DPR RI senada dan seiram dengan saran yang saya tulis dalam artikel tersebut yaitu :
1. Presiden Jokowi tidak menghalangi niat dan inisiatif DPR RI untuk melakukan revisi UU KPK.
2. Presiden Jokowi tidak setuju dengan poin-poin draft UU yang berpotensi akan melemahkan KPK.
3. Presiden Jokowi setuju dengan adanya Dewan Pengawas KPK yang bertujuan untuk memperkuat KPK. Diantaranya Dewan Pengawas KPK tidak boleh dari partai atau pejabat negara lainnya tapi harus diisi dengan tokoh-tokoh nasional yang bersih dan mempunyai kredibilitas tinggi.
4. Pegawai KPK harus merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) seperti instansi negara lainnya.
Menurut saya sikap Presiden Jokowi cukup jelas dan tegas dalam koridor mendukung KPK dalam pemberantasan korupsi. Namun bagi orang-orang yang mempunyai kepentingan membuat KPK menjadi lembaga “super body” dan tidak tersentuh, sikap bijaksana dari Presiden Jokowi dirasakan tidak cukup. Bagi kelompok ini, pendapat mereka adalah maha benar dan siapapun termasuk Presiden Jokowi harus tunduk dalam keinginan mereka. Arogansi kelompok ini disuarakan secara menggebu-gebu melalui Wadah Pegawai KPK dan sebagian oknum pimpinan KPK.
Gerakan “kelompok sok merasa maha benar” ini semakin mencari perhatian publik dan sensasi dengan pengunduran diri Saut Sitomorang. Padahal tidak mundur pun, Saut harus mundur pada Desember 2019 karena masa pengabdian yang memang sudah selesai. Alih-alih mendapat perhatian dari Presiden, yang terjadi Presiden Jokowi justru hanya menyatakan bahwa mundur itu adalah hak dan menghormati keputusan Saut.
Langkah zig-zag Saut ternyata diikuti Ketua KPK Agus Rahardjo dan Laode Muhammad Syarief (note : Basaria Panjaitan dan Alexander Marwata tidak ikut). Namun statement Agus tampak lebih halus dan penuh aroma kebimbangan. Dia hanya menyerahkan pengelolaan KPK kepada Presiden. Dia menunggu instruksi Presiden apakah masih ditugaskan mengelola KPK sampai akhir masa tugasnya Desember 2019 nanti atau tidak.
Bagi yang mengerti sistem ketatanegaraan akan tertawa terbahak-bahak terguling-guling melihat ulah ‘childish’ dari Agus Rahardjo dan kawan-kawan. Karena dalam UU ditegaskan KPK adalah lembaga negara independen dan bukan lembaga pemerintah di bawah Presiden. Agus dan kawan-kawan hanya seperti orang yang terlihat gamang dan tidak percaya diri yang sedang mencari simpati dan dukungan publik. Tapi dilakukan secara konyol dan norak.
Kalau saya jadi Presiden, saya akan menegur keras sikap ambigu dari Agus Rahardjo dan kawan-kawan. Agus Rahardjo harus diminta memberikan sikap yang tegas apakah masih mau meneruskan tugasnya atau sudah lempar handuk putih menyerah kalah. Kalau Agus dan kawan-kawan memutuskan mengundurkan diri Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara bisa segera menunjuk pejabat pelaksana tugas sampai dilantiknya Pimpinan KPK periode 2019 – 2024 pada Desember 2029 nanti.
Negara tidak boleh takluk dan tunduk dengan kemauan sekelompok orang yang ingin membuat KPK negara dalam negara. Kelompok yang anti revisi UU KPK adalah kelompok yang ingin membuat KPK mempunyai kekuasaan absolut dan tidak tersentuh. Kelompok yang ingin menyudutkan Presiden Jokowi ini, sekarang bercokol kuat di tubuh KPK dan disamarkan dalam bentuk wadah pegawai KPK yang dikuasai kelompok tertentu.
Kita semua ingin KPK kuat dan bekerja dengan profesional. Tapi KPK tidak boleh dibiarkan menjadi lembaga absolut tanpa pengawasan dan merasa memegang otoritas tertinggi hukum di Indonesia. Biaya operasional KPK dan gaji para pegawai KPK itu berasal dari uang rakyat Indonesia termasuk saya. Jadi jangan biarkan mereka bertindak seenaknya semau-maunya.
Pimpinan KPK yang baru sudah terpilih. Secara pribadi saya juga tidak puas dan meragukan integritas personal mereka. Tapi hal ini sudah menjadi keniscayaan proses demokrasi. Jadi kita ikuti saja kiprahnya seperti apa. Kalau mereka melenceng dan membuat performa kerja KPK melempem, nanti kita sikat mereka ramai-ramai. Gitu aja kok repot.
Sekarang kita pelototi peran Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham) dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) sebagai wakil pemerintah yang ditugaskan Presiden Jokowi untuk mengawal pembahasan revisi UU KPK di DPR. Mereka harus bekerja keras untuk memastikan poin-poin yang diinginkan Presiden Jokowi untuk memperkuat institusi KPK dapat disetujui DPR.
Saran saya, lebih baik pembahasan revisi UU KPK ini diserahkan pada DPR RI periode 2019 – 2024 dan anggota kabinet kerja Jokowi jilid II. Jadi tidak terburu-buru dan grusa-grusu. Lagian siapa tahu Menkumham Kabinet Kerja Jokowi Jilid II lebih kualified dan lebih profesional dibanding yang sekarang, bukan ?
Salam SATU Indonesia
14092019
#KPKKuatNegaraHebat