Oleh :
Rudi S Kamri
Akhir-akhir ini nama almamater saya IPB menjadi spotlite di pemberitaan media perbincangan di media sosial Indonesia. Sayangnya bukan karena prestasi atau hasil karya ilmiah di bidang agriculture tapi karena salah satu dosen senior IPB terpapar parah virus khilafah dan menjadi tersangka pembuatan bom. Dan IPB serta merta di-bully habis-habisan di dunia maya bahkan dipelesetkan menjadi Institut Perakitan Bom bahkan ada meme cukup kejam dan menusuk hati saya yang paling dalam : “Saya baru tahu kenapa pertanian di Indonesia gak maju-maju, wong orang IPB sibuk buat bom”. Duuuh
Lalu sebagai salah alumni IPB apakah saya harus marah ? TIDAK. Hanya hati ini terasa tersobek sesaat. Opini publik tidak salah, karena mereka melihat suatu fakta bahwa memang benar Abdul Basith si perakit bom yang berencana melakukan teror di negeri ini adalah satu alumni IPB dan sekarang juga masih aktif mengajar disana. Publik juga semakin bereaksi keras karena memang respons dari Rektor IPB dan jajaran humasnya terhadap masalah ini tampak kurang cerdas dan kurang lugas.
Arief Satria, Rektor IPB adik kelas saya yang berjarak 6 tahun ini, saya tahu persis adalah seorang NASIONALIS sejati. Tapi sayangnya dia terlihat gagap mengelola tragedi yang sering terjadi. Arief kurang pintar memanfaatkan momentum untuk digunakan sebagai kesempatan emas mengutuk keras virus radikalisme wahabi yang masih masif bertumbuh di lingkungan IPB. Dan seharusnya Arief juga meyakinkan publik dengan tegas bahwa sebagai pemimpin tertinggi di ‘kampus hijau’ dia akan berusaha keras menetralisir virus khilafah yang telah berkembang cepat di IPB.
Himpunan Alumni IPB (HA-IPB) pun setali tiga uang. Pengurus himpunan alumni ini suaranya nyaris tidak terdengar dalam menyikapi kasus memalukan ini. Tidak ada release resmi atau press confrence dari HA-IPB untuk mengutuk keras kasus Abdul Basith ini. Apakah mungkin pimpinan pengurus HA-IPB saat ini sealiran dengan Abdul Basith ? Saya tidak tahu. Kalau ternyata Pimpinan HA-IPB juga sudah terpapar virus khilafah, kalian akan berhadapan dengan saya !!!
Mengapa saya masih bangga menjadi alumni IPB ? Karena saya meyakini bahwa masih ada jutaan orang alumni IPB dan keluarganya termasuk saya, yang masih waras dan tetap berdiri kokoh membela merah putih dan NKRI. Saya juga percaya bahwa masih banyak civitas academica IPB saat ini yang nuraninya bersih dan mempunyai logika kuat untuk teguh menolak paham ideologi khilafah atau NKRI bersyariah. Pendek kata Abdul Basith tidak merepresentasikan wajah IPB yang sebenarnya.
Tapi saya menyadari wajah IPB selama satu dekade ini memang carut marut belepotan virus khilafah. Itu suatu realita yang tidak bisa dipungkiri. Selama era kepemimpinan negara dipegang Susilo Bambang Yudhoyono, IPB praktis dikuasai aktivis dan kader PKS. Mereka tumbuh berkembang biak dengan bebas karena waktu itu PKS masuk ke dalam partai koalisi pemerintahan SBY. Bahkan Menteri Pertanian selama 10 tahun di jaman SBY selalu dipegang alumni IPB yang merupakan kader senior PKS.
Dari konstelasi ini kita bisa paham mengapa selama 10 tahun yaitu 2004 – 2014 adalah menjadi masa keemasan virus khilafah bebas menjelajah ke setiap sendi kehidupan di IPB. Apalagi bibit-bibit paham wahabi itu sejatinya juga sudah tertanam lama melalui gerakan eksklusif kelompok Islam aliran tertentu di setiap fakultas di IPB. Dari gambaran besar konstruksi permasalahan ini saya memaklumi bahwa tugas Rektor IPB Arief Satria sangat btidak mudah dan memerlukan waktu untuk membersihkan virus penyakit yang terlanjur menjalar mengular kemana-mana.
Apakah hanya IPB yang terpapar virus khilafah ? TIDAK. Perguruan tinggi lainnya seperti ITB, UI UGM dan beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta juga mengalami hal yang sama. Meskipun sudah terpapar, tapi saya yakin eksistensi kelompok pro Merah Putih di kampus-kampus itu termasuk di IPB juga masih banyak dan masih kuat. Jadi sangat tidak fair ucapan beberapa orang yang menghakimi secara sepihak bahwa IPB diidentikkan sebagai kampus khilafah atau Institut Perakitan Bom dan lain-lain. Kalaupun ada tikus nakal di lumbung, untuk menangkapnya tidak perlu dengan membakar lumbungnya bukan ?
Jadi, saya tetap bangga menjadi alumni IPB. Kebanggaan saya didasari fakta bahwa ijasah Insinyur Keteknikan Pertanian yang saya miliki adalah buah dari perjuangan panjang dari usaha keras saya dan doa tulus tak terputus dari ibu bapak saya. Dari IPB saya mendapatkan banyak hal salah satunya saya diajari dan
diasah cara menganalisis masalah dengan menggunakan logika berpikir yang kuat dan terarah.
Di IPB ada jejak darah perjuangan, airmata dan doa orang tua saya. Dan di IPB pula tersimpan memori dan jejak kuat perjalanan cinta saya dengan seseorang yang sekarang entah kemana.
Jadi mana mungkin saya tidak bangga dengan IPB ?
Salam SATU Indonesia
06102019