SBY, Satu Putaran Saja Dan P 5: Positioning

  • Whatsapp

Serial 10 P untuk Marketing Politik
Denny JA


Strategi Positioning dalam pemilu bukan hanya soal menampilkan keunggulan  pemimpin atau gagasan. Positioning juga memahami hati dan pikiran publik luas saat itu. Yaitu mendengar debar jantung mereka soal kualitas pemimpin dan gagasan apa yang kala itu mereka sangat harapkan.
Prinsip ini yang penulis ingat ketika menatap kembali foto itu. Ini peristiwa penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI Jaya) kepada penulis di tahun 2009 (1).


The Newsmaker of Election 2009. Itulah nama penghargaan itu. Penulis dianggap orang yang paling banyak diberitakan, di luar capres 2009, karena mengkampanyekan gagasan SATU PUTARAN SAJA!”
Atas pertarungan tiga konstentan Capres 2009: SBY-Boediono, Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto, sudah muncul skenario waktu itu. Siapapun yang mendapi SBY di putaran kedua, akan bergabung. 
Waktu itu aturannya masih menghendaki pemenang pilpres harus meraih di atas 50 persen dukungan. Jika pada putaran pertama tak ada yang memperoleh di atas 50 persen, maka diselenggarakan pilpres putaran kedua.


Hampir pasti SBY- Boediono lolos di putaran kedua. Siapapun yang akan menghadapi SBY di putaran kedua, akan menggabungkan kekuatan. Di putaran kedua, ramai diskenariokan. SBY- Boediono akan dikeroyok oleh koalisi besar Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto.
Dalam konteks itulah, penulis menggerakkan isu yang saat itu kontroversial dan menjadi percakapan: SATU PUTARAN SAJA ! 
Penulis memimpin satu lembaga: Lembaga Studi Demokrasi (LSD), mengkampanyekan dari sisi masyarakat, sebaiknya pilpres berakhir satu putaran saja. Pilpres dua putaran bukan hanya memboroskan  biaya ekonomi trilyun rupiah. 
Pilpres dua  putaran juga beresiko dengan biaya politik. Pembelahan sikap publik luas yang lebih lama. Padahal waktu yang ada lebih baik digunakan untuk memulai kembali roda ekonomi.


Penulis pun menyampaikan hasil riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA). Bahwa yang paling potensial menang satu putaran saja adalah SBY- Boediono. Jika publik menghendaki pilpres 2009 selesai Satu Putaran Saja, maka SBY- Boediono yang paling mungkin mewujudkannya.
Gagasan itu penulis iklankan di banyak TV dan Koran. Iklan tayang berulang- ulang. Penulis gerakkan juga aneka diskusi di aneka tempat. 
Seketika gagasan Satu Putaran Saja menjadi percakapan publik. Bahkan dalam debat resmi capres 2009, gagasan itu juga dipercakapan di atas panggung. Aneka isu kampanye yang lain kalah pamor. 
Ketika menyerahkan penghargaan, wakil dari PWI Jaya mengatakan: 
“Penghargaan ini diberikan kepada Denny JA selaku pribadi dan sebagai pimpinan LSD yang dinilai berjasa sebagai penggagas berita Gerakan pilpres Satu Putaran Saja.” Pemberitaan isu  itu mencuat selama Pilpres 2009 mengalahkan isu berita lainya, termasuk isu kontroversial daftar pemilih tetap (DPT).”
-000-


Mengapa penulis memilih Gerakan Satu Putaran Saja dalam Pilpres 2009? Jawabnya adalah sebuah ilmu dalam marketing politik: Positioning. 
Istilah itu merujuk pada strategi membedakan satu kandidat pemimpin dalam pertarungan pemilu dengan kandidat lainnya. Melalui positioning, kandidat tersebut nampak jauh lebih superior dan sesuai dengan harapan publik luas.
Bagaimanakah awal perkara lahirnya Gerakan Satu Putaran Saja?
Di awal April 2009, tak lama setelah selesai pemilu legislatif, Handphone penulis berdering. Ternyata dari Hatta Rajasa. Saat itu Hatta menjadi penanggung jawab kampanye SBY- Boediono. 
“Dindo, kapan kito pacak ketemu?” Demikian Hatta memulai percakapan dalam bahasa Palembang. Kami pun berjumpa empat mata. Hatta menanyakan peran apa yang penulis dapat mainkan dalam pilpres 2009?
Seketika penulis katakan. Pilpres ini terlalu penting jika hanya digerakkan oleh tim kampanye resmi. Masyarakat luas perlu juga bersuara. Bulat dan lonjong hidup masyarakat juga ditentukan oleh siapa yang menang dalam pilpres. Setiap capres membawa mimpi Indonesia yang berbeda.
Penulis pun mengajukan diri menggerakkan opini publik. Sebelum berjumpa Hatta, penulis sudah mempunyai data riset LSI Denny JA. SBY besar kemungkinan terpilih lagi dalam Pilpres 2019. 


Tapi bagaimana caranya membuat SBY- Boediono menang satu putaran saja? Tak perlu menunggu dua putaran? Artinya SBY- Boediono di putaran pertama harus menang di atas 50 persen. SBY-  Boediono harus menang setelak- telaknya  atas dua pasangan capres lain.
Hatta Rajasa setuju dengan gerakan masyarakat ini. Ia pun mempertemukan penulis dengan SBY.
Di Cikeas, di hadapan SBY dan tim inti, penulis presentasi. Hatta Rajasa sendiri berhalangan hadir. SBY ditemani tim inti yang lain. 
Penulis memaparkan pentingnya gerakan civil society di masyarakat. Gerakan ini bukan menjadi bagian dari tim kampanye resmi. Ini adalah hak rakyat untuk ikut menentukan pula arah pilpres 2019.
Penulis sendiri yang akan memimpin gerakan ini. Wadahnya Lembaga Studi Demokrasi (LSD). Bahan kampanye utama hasil survei nasional LSI Denny JA. Slogannya: Satu Putaran Saja!
SBY puas dengan rencana gerakan ini. Ia setuju sebaiknya masyarakat aktif ikut menentukan arah kampanye. Pemilu terlalu penting jika hanya diisi oleh tim kampanye resmi.
Penulis bersama LSD pun bergerak. Iklan TV, koran, radio ramai dengan Isu Satu Putaran Saja. Isu itu juga dibicarakan di aneka tempat hingga warung kopi.
Pro dan kontra tercipta membahas apakah memang sebaiknya Pilpres berakhir Satu Putaran Saja. Bukankah trilyun dana akan dihemat jika pilpres satu putaran saja?


Bukankah pembelahan politik lebih tajam akan terhindari? Bukankah pilpres yang lebih cepat selesai akan membuat Indonesia lebih cepat bekerja normal lagi?
Kepentingan publik dalam Gerakan Satu Putaran Saja sangat kuat. Dan memang gerakan ini sangat menguntungkan SBY- Boediono. Karena hanya pasangan ini yang paling mungkin menang satu putaran saja.
Tak nanggung, penulis pun membuat iklan setengah halaman, di halaman 3 Harian Kompas. Tanggal 3 Juli 2009, 5 hari sebelum hari pencoblosan, Iklan penulis di harian KOMPAS itu memprediksi SBY menang satu putaran saja. (2)
Iklan dalam bentuk tabel. Pasangan SBY – Boediono akan memperoleh di atas 50 persen. Dua pasangan capres lain: Megawati- Prabowo dan JK- Wiranto akan memperolah dukungan di bawah 30 persen.
Akibat Gerakan Satu Putaran Saja, penulis pun didukung dan dikecam dimana mana. Tapi akhirnya terbukti. SBY- Boediono memang menang satu putaran saja.
SBY- Boediono menang 60.8 persen dalam konstestasi tiga pasangan 2009. Sejauh ini, itu kemenangan dengan prosentase terbesar dalam pemilu presiden secara langsung. Baik Mega- Prabowo dan JK-Wiranto memperoleh dukungan di bawah 30 persen, sesuai dengan prediksi LSI Denny JA yang diiklankan di Kompas, 5 hari sebelumnya.
-000-


Contoh gerakan penulis di atas itu positioning in action. Tak hanya isunya: Satu Putaran Saja. Isu ini membuat SBY- Boediono  superior karena hanya pasangan ini yang paling mungkin menang satu putaran.
Tapi juga gerakannya: ini gerakan masyarakat. Ia bukan bagian dari tim kampanye resmi. Gerakan LSD tak terdaftar dalam tim kampanye resmi manapun. Ini gerakan dari publik untuk publik, yang justru lebih efektif menyentuh masyarakat luas.
Bagaimana dunia akademik mengeksplor isu positioning? Penulis merumuskan 10 P untuk marketing politik. P 5 adalah Positioning!
Tahapan penting dalam pemasaran politik  memang soal Positioning. Yakni bagaimana kandidat atau partai memposisikan dirinya di hadapan pemilih.  Dengan posisi itu, partai atau kandidat membuat dirinya lain dengan kompetitor.
Positioning disatu sisi mengkapitalisasi visi dan kekuatan kandidat. Di sisi lain, positioning juga menekankan kelemahan dari kompetotor.
Positioning dibentuk lewat proses yang panjang. Kandidat harus merumuskan kekuatan dan kelemahan dirinya. Ia perlu mengidentifikasi bagian  yang ingin ditonjolkan. Apakah itu soal kepribadiannya? Pengalaman  masa lalu? Program? keunikannya pada isu penting tertentu? Kinerja?  Dan sebagainya. 
Kekuatan dan kelemahan dari kandidat ini kemudian dikaitkan dengan kekuatan dan kelemahan kompetitor. Ini penting agar diperoleh ceruk (celah) pembeda.
Ini hasil akhir yang ingin dituju. Kekuatan kandidat menjadi kelemahan kompetitor. 
Positioning itu kemudian dikaitkan dengan isu yang dianggap penting di masyarakat.
Misalnya, kandidat ingin ditonjolkan pada kemampuannya menyelesaikan ekonomi. Ini strategi yang efektif jika mayoritas segmen pemilih tidak puas dengan kondisi ekonomi. 


Positioning dalam marketing politik di satu sisi mirip dengam produk komersial. Produk ketika dilempar ke pasar, harus berhadapan dan berkompetisi dengan produk sejenis. Produk harus menentukan positioning sebagai pembeda dengan produk lainnya. 
Positioning membayangkan segmen pasar yang hendak dituju oleh produk. Jika produk minuman memposisikan sebagai minuman kesehatan misalnya, produk menyasar segmen konsumen yang peduli dengan kesehatan. 
Misalnya ditonjolkan produk itu tak menggunakan bahan pengawet. Ditunjukkan pula komposisi bahan yang membuat tubuh kuat, segar, fresh, nyaman.
Tapi memang positiong pemasaran politik lebih rumit dibandingkan produk komersial. Mengapa? Karena dalam produk komersial, konsumen bisa memilih beberapa produk sekaligus. Misalnya dalam satu waktu, mereka bisa hari ini mengunyah Kentucky Fried Chicken tapi besok menyantap Ayam Goreng Suharti. 
Sebaliknya dalam produk politik, pemilih hanya memilih satu kandidat atau partai saja.
Dalam pemilu presiden, hanya ada satu pemenang. Karena itu dalam pemasaran politik, kandidat harus merancang positioning yang paling bisa menjamin kemenangan. 
Upaya menemukan positioning ini dilakukan lewat  aneka riset. Itu bisa  melalui survei opini publik ataupun kelompok diskusi terbatas (FGD). Lebih bagus lagi jika ia diperkaya oleh media analisis dan Depth Interview dengan pakar.
Tim sukses kandidat juga menyelaraskan positioning dengan profil sosiologis dan demografis pemilih. Harus ada keterkaitan antara positioning kandidat dengan segemen pemilih yang sedang disasar.
Dalam pemasaran politik, positioning ini diimplementasikan dalam bentuk platform kampanye. Juga dalam bentuk citra kandidat. 
 -000-


Agar gambaran positioning lebih jelas lagi, kita dapat mengeksplor kasus yang menjadi studi khusus.
Newman (1994)   menguraikan dengan detil proses positioning dalam Pemilu Presiden di Amerika tahun 1992. Saat itu terjadi pertarungan antara tiga capres. Yoitu Presiden yang sedang menjabat (incumbent): George Bush, Bill Clinton dan Ross Perot:
George Bush memposisikan dirinya sebagai presiden dengan kepemimpinan yang kuat dan berpengalaman. Bill Clinton memposisikan dirinya dengan sebagai kandidat muda yang akan melakukan perubahan dan memperbaiki kondisi ekonomi Amerika. 
Sementara positioning Ross Perot terpusat pada moto-nya “United We Stand”, menggambarkan dirinya sebagai sosok pengusaha yang berhasil dan akan mengabdikan hidupnya untuk rakyat. 
Bush, sebagai presiden menekankan  keberhasilannya pada Perak Irak. “Lihatlah keberhasilan Amerika memenangkan peperangan,” ujarnya. Betapa patriotik. Betapa membanggakan.
Problemnya saat kampanye Pemilu, kondisi ekonomi Amerika memburuk. Itu ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan naiknya angka pengangguran. Kondisi ini terjadi dalam era pemerintahan Bush.
Namun selaku incumbent, Ia berkelit. Bush berusaha menutupi kelemahan di bidang ekonomi ini dengan mengedepankan sosok pemimpin yang juga cinta keluarga. 
Bush juga mengkritik kompetitornya (Clinton dan Perot). Bush mengkritik ketidakjelasan sikap Clinton terkait dengan Perang Vietnam. Tak lupa ia singgung rumor mengenai rumah tangga Clinton yang tak akur.
Hal yang sama juga dilakukan Bush kepada Perot. Perot memang sukses dalam bisnis. Tapi ia tidak mempunyai pengalaman perang. Gaya hidup keluarga Perot yang mewah (terutama anaknya) juga menjadi serangan Bush. 
Berbeda dengan George Bush, Clinton memposisikan diri sebagai sosok muda yang punya visi kuat. Dalam kondisi ekonomi Amerika yang memburuk, Ia tunjukan keberhasilannya mengatasi ekonomi ketika menjabat sebagai gubenur Aksansas.
Slogan yang ia ciptakan: “It is economy, stupid! Slogan ini untuk melawan tendensi Bush yang terlalu banyak membanggakan keberhasilan perang. Padahal yang dibutuhkan Amerika sekarang adalah perbaikan ekonomi. Bukan memori perang!
Clinton juga menampilkan dirinya wakil unumnya rakyat Amerika. Ia gambarkan hal ini lewat kampanye yang santai dan tidak formal. Jika Bush melakukan kampanye dengan menggunakan pesawat jet dari satu kota ke kota lain, Clinton memilih menggunakan bus keliling. 
Kandidat lain, Ross Perot juga memposisikan dirinya sebagai calon yang bisa memperbaiki ekonomi. Ia mengedepankan kisah dirinya sendiri. Ini kisah sukses. Ia dari orang biasa menjadi penguasaha besar.
Ia juga menepatkan dirinya bukan sebagai birokrat, seperti Bush atau Clinton. Ross Perot penguasaha yang sudah selesai dengan hidupnya dan akan mendedikasikan sisa umurnya  untuk rakyat Amerika. 
Masing-masing kandidat mengemukakan kekuatan diri sendiri dan kelemahan masing-masing kandidat lain. Mengapa positioning Clinton yang paling berhasil? 
Itu karena recovery ekonomi dianggap sebagai isu paling penting saat itu. Dan Clinton paling dipercaya mampu mengatasinya.
Survei  Majalah Time dari 25 hingga 30 Agustus 1992. Lebih  40% pemilih Amerika berpendapat kondisi ekonomi Amerika sangat buruk.  
Survei yang dilakukan oleh USA Today pada 4 November 1992, menunjukkan  50% percaya bahwa Clinton dapat memperbaiki ekonomi. Sekitar 47% berpendapat Perot juga mampu mengatasi ekonomi. Sebaliknya Bush selaku Incumbent hanya mendapatkan 20%  saja.
Ketepatan strategi positioning membuat Clinton memenangkan pemilu presiden AS 1992, mengalahkan incumbent George Bush.
-000-
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara membuat positioning? Secara umum, langkah dalam melakukan positioning bisa dibagi ke dalam dua tahap.
Pertama: mengidentifikasi dan menginventarisir kekuatan dan kelemahan kandidat.
 Ini bisa dilakukan lewat riset. Misalnya dengan survei, menanyakan kepada pemilih apa yang disukai dan tidak disukai soal  kandidat. itu juga bisa dilakukan melalui kelompok diskusi terbatas (Focus Group Discussion / FGD). 
Kekuatan kandidat secara umum bisa dibagi ke dalam dua bagian: Isu personal dan Isu politik. 
Kekuatan personal itu aneka kelebihan personal yang dimiliki kandidat. Misalnya, Ia sangat  berpengalaman dalam pemerintahan. Atau Ia memiliki track record masa lalu yang bersih. Atau kepribadiannya yang hangat, atau kewibawaan karena prestasi keberhasilan. Dan sebagainya. 
Sementara kekuatan politik itu momentum politik yang menguntungkan kandidat. Misalnya, publik saat itu tidak puas dengan pemerintahan yang ada (incumbent). Ini kekuatan politik bagi kandidat yang bukan orang pemerintahan. Yaitu  kandidat outsider: yang tak ikut pemerintahan saat itu.
Atau publik saat ini menginginkan orang baru. Ini menjadi kekuatan politik bagi kandidat yang kebetulan berusia muda dan fresh.
Kedua: Inventarisir Kekuatan dan Kelemahan Lawan (Kompetitor)
Sama dengan identifikasi kekuatan kandidat. Kekuatan dan kelemahan kompetitor bisa berupa personal. Bisa pula kelemahan itu dari sisi momentum politik. 
Riset dan penelitian ilmiah (misalnya lewat survei atau Focus Group Discussion) bisa membantu kita mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan kompetitor dengan lebih objektif.   
Langkah paling penting dalam penyusunan  brand politik adalah membuat perbandingan (contrasting) antara kandidat (klien) dengan kompetitor. Ini bisa dilakukan dengan membandingkan kekuatan / kelemahan kandidat dengan kekuatan / kelemahan kompetitor.  
Pesan kampanye yang berhasil umumnya ditandai dengan keberhasilan dalam menunjukkan kekuatan kandidat. Tapi sekaligus juga pesan itu menunjukkan titik lemah  kompetitor. 
Misalnya, kandidat A adalah orang yang bersih dan tidak korup. Sementara lawannya (kebetulan) tersangkut dengan kasus korupsi. Pesan kampanye akan berhasil jika menampilkan A sebagai sosok yang bersih. Satu pesan itu sekaligus mengatakan, lawannya, B, pemimpin korup.
Cara termudah menyusun kekuatan kandidat dan kelemahan kompetitor dilakukan dengan membuat kotak pesan.
Imajinasikan. Bayangakn apa yang ingin kandidat katakan tentang dirinya sendiri. Apa yang ingin kandidat katakan tentang kompetitor. Sebalilknya apa yang (mungkin) dikatakan oleh kompetitor tentang dirinya sendiri dan kandidat.
IApa yang ingin saya katakan mengenai diri saya?
IIApa yang ingin saya katakan mengenai lawan saya
IIIApa yang akan dikatakan lawan saya tentang dirinya sendiri?
IVApa yang mungkin dikatakan lawan saya pada diri saya?
Teknik ini efektif dalam memeriksa kekuatan sekaligus kelemahan kandidat. Termasuk memperhitungkan apakah ada kemungkinan kelemahan kandidat menjadi senjata yang akan dipergunakan oleh kompetitor. 
Jangan membuat pesan kampanye hanya dengan memperhitungkan kekuatan kandidat dan kelemahan lawan. Tetapi juga harus memperhitungkan kelemahan kandidat yang mungkin suatu saat bisa dipakai untuk menyerang kandidat. 
Kedua hal ini perlu diperhitungkan sebelum menyusun pesan kampanye. 
-000-
Ada era governing. Ada era campaigining. Ada era memerintah. Ada era berkampanye.
Untuk sukses memerintah, pemimpin tentu saja harus membuat program multi dimensi. Aneka isu mulai dari ekonomi, hukum, sosial budaya hingga keamanan, perlu diperhatikan.
Tapi untuk sukses dalam kampanye, untuk memenangkan kampanye, cukup kadang hanya satu isu besar saja. Cukup hanya satu slogan kuat.
Di Amerika Serikat misalnya, slogan itu: Make America Great Again. Atau Putting People First. Di Indonesia:  Satu Putaran Saja (2009). Perubahan (2004). Terpercaya dan Pengalaman (2014).
Untuk memiliki political legacy, ketika nanti pemimpin itu berkuasa, lalu selesai jabatan, diingat sejarah, positioning juga dibutuhkan. 
Seorang presiden yang kuat, misalnya, akan dikenang, berbeda dengan presiden lainnya.
Positioning Bung Karno, ia dikenang sebagai proklamator. Bapak Nasionalisme. Suharto sebagai bapak pembangunan. Habibie meletakkan dasar politik reformasi.
Setiap pemimpin yang kini aktif saatnya merenung.  Bagaimana kelak ia dikenang oleh sejarah? ***

Juli 2020(Bersambung)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait