“Screening” Aparat Peradilan, Perlukah?

  • Whatsapp

Oleh: Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.

(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)

Pembinaan empat lingkungan badan peradilan oleh Mahkamah Agung beberapa waktu lalu, setidaknya ada 2 ‘persoalan penting’ yang membuat Ketua MA RI ‘marah besar’.

Pertama, adanya oknum hakim PN Surabaya yang terkena OTT oleh KPK. Tindakan oknum hakim dari pengadilan negeri ibu kota provinsi terbesar kedua di tanah air ini, membuat pimpinan tertinggi lembaga peradilan itu tentu sangat geram, karena tampaknya si oknum ini, seperti tidak mendengar pembinaan dan seruan yang selama ini digalakkan secara berkala oleh Mahkamah Agung. Oknum Hakim tersebut sepertinya sangat nekat layaknya seorang pencuri yang mengambil barang di rumah orang pada siang bolong saat orang-orang sedang terjaga. Tindakannya seolah hendak dengan sengaja merusak lembaga saat memperolah berbagai capaian kemajuan. Apalagi, dilakukan saat berbagai satker di lingkungan Mahkamah Agung menyematkan lencana WBK.(wilayah bebas korupsi) sebagai pengakuan negara secara resmi, bahwa satker tersebut sudah bebas dari tindakan korupsi. Memang pelakunya hanya seorang hakim. Akan tetapi, “jangan sampai gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga”, begitu kata ketua yang memperoleh gelar profesor dari Universitas Islam Indonesia ini, perguruan tinggi almamaternya.

Kedua, adanya surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi Nomor R/138/M.SM.00.01/2021 tanggal 28 Dsember 2021. Surat yang ditujukan langsung kepada orang nomor satu di lembaga pengadil tertinggi ini pada pokoknya ‘melaporkan’ adanya oknum ASN di lingkungan Mahkamah Agung yang melakukan pelanggaran disiplin terkait tindakan radikalisme. Menurut surat tersebut dari hasil profiling dan analisis yang dilakukan oleh satgas penanganan radikalisme, bahwa oknum ASN tersebut diduga kuat terpapar paham radikal dan aktif membagikan konten anti pemerintah serta memfollow akun intoleran.

Yang pertama terkait dengan moral sedangkan yang kedua terkait dengan ideologi politik. Yang terkait dengan moral muaranya sudah jelas. Oknum hakim tersebut hampir dapat dipastikan, berdasarkan pengalaman sebelumnya, selain akan mendapat ganjaran hukuman, juga akan diberhentikan dengan tidak hormat oleh lembaga. Sedangkan persoalan, yang kedua tampaknya merupakan persoalan baru yang memang baru terjadi di era pascareformasi. Kemajuan demokrasi yang dicapai pascareformasi ini membuat siapa saja bebas berbicara apa saja, baik lewat medsos atau media lain. Sebelumnya, dalam kurun waktu lebih tiga dasa warsa, di era orde baru, masyarakat memang terbungkam. Ketika memperoleh ruang pascareformasi wajah asli masyarakat termasuk ASN seolah terlihat satu persatu. Masyarakat bisa mengenalinya lewat ucapan, tulisan, dan sikap keseharian. Khusus bagi ASN tampaknya lupa, bahwa ada tuntutan bahwa eksistensinya sebagai ASN harus loyal dengan pemerintah yang sah, baik suka atau tidak suka.

Zaman orde baru jangan harap orang yang berbeda visi dengan rezim bisa menjadi pegawai negeri. Terutama mantan anggota organisasi terlarang, PKI. Terkait dengan PKI ini, orde baru memuat klasifikasi menjadi tiga golongan. Pertama, golongan A, yaitu anggota PKI yang sudah dinyatakan bersalah melalui putusan pengadilan. Kedua, golongan B, yaitu anggota PKI atau simpatisannya yang keterlibatannya dalam G 30 S/PKI belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Sebagian besar golongan B ini ialah yang diasingkan di pulau Buru. Tokoh sastra Indonesia berkaliber internasional, Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu pesakitan politik yang pernah menjadi penghuni pulau tersebut. Ketiga, golongan C, yaitu, mereka yang dianggap ikut-ikutan menjadi anggota PKI.

Tidak hanya sebatas itu, kartu tanda penduduk (KTP) yang mereka miliki pun diberi tanda OT (organisasi terlarang) atau ET (eks tahanan politik). Dalam rangka memperkokoh stabilitas PNS pemerintah orda baru juga mengadakan kebijakan “bersih lingkungan”. Apalagi yang mempunyai KTP bertanda OT dan ET, yang terbukti tidak bersih lingkungan pun jangan berharap bisa menjadi Anggota DPR, PNS atau ABRI (tentara dan polisi). Celakanya, bersih lingkungan itu dalam penerapan sangat keterlaluan. Tidak hanya untuk keturunan garis lurus, tetapi juga berlaku satu tingkat ke samping.(Kompasiana,01/10/2017). Dengan demikian sekalipun ayah ibu bukan anggota PKI tatapi jika terbukti ada salah seorang paman/bibi yang terlibat PKI, juga jangan berharap menjadi DPR, PNS, atau ABRI. Bagi yang sudah terlanjur, lalu jati dirinya diketahui kemudian, pasti akan dipecat.

Euforia demokrasi memang membuat banyak orang kebablasan. Ironisnya, para ASN juga terlibat euphoria tersebut. Padahal, mereka terikat oleh rambu-rambu dari berbagai aturan yang telah dibuat oleh yang berwenang. Bagaimana mungkin terjadi seorang ASN yang terikat dengan sumpah kesetiaan kepada Pancasila bisa terpapar ideologi yang kontra Pancasila tersebut. Bahkan, ada yang sampai tidak mau menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dan menghormat bendera merah putih ketika apel. Bagaimana mungkin masjid-masjid kampus-kamus negeri yang nota bene dibangun oleh negara bisa berlangganan mengundang khatib atau penceramah yang memusuhi negara atau pemerintah yang sah. Saat ini, jagat medsos sebagiannya juga dimeriahkan oleh ASN yang sangat benci dengan pemerintah ini. Dalam konteks ini, kasus suntik vaksin kosong yang dilakukan oleh oknum dokter di Medan, layak dicurigai. Jangan-jangan oknum tersebut salah satu orang dari deretan panjang ASN yang memang tidak setia kepada negara dan pemerintah yang sah.
Adalah sangat ironis jika mentalitas para oknum ASN tersebut juga diikuti oleh para hakim. Peringatan keras para pimpinan Mahkamah Agung di atas, sebenarnya merupakan pengakuan formal, atas fenomena yang ada selama ini. Artinya, selama ini sebenarnya secara informal, banyak aparat peradilan yang berperilaku seperti surat menpan tersebut. Melihat perilaku di jagat medsos selama ini, seorang mantan Hakim Agung Kamar Agama, Mukhtar Zamzami, setidaknya pernah menyayangkan sekaligus mengkawatirkan hal demikian. Melihat fenomena banyaknya hakim agama menulis di medsos yang berisi ujaran kebencian dan keberpihakan kepada ideologi khilafah serta secara vulgar mendukung tokoh yang anti pemerintah yang sah, beliau pun pernah mengkhawatirkan jangan-jangan suatu saat ada hakim agama yang berurusan dengan kepolisian. Terkait dengan maraknya hoax yang dipercaya dan/atau disebar begitu saja oleh oknum hakim, beliau juga prihatin. Menurut beliau, seorang hakim yang terbiasa bekerja dengan menjujung tinggi pembuktian, mestinya tidak mudah percaya begitu saja setiap berita yang diterima. Apalagi menyebarkannya, sebelum melakukan penelitian mendalam. Pandangan beliau yang sering ditulis sebagai status di akun face book miliknya itu, penting untuk mendapat respon. Sebab, dari sisi efek, dengan hoax yang sama, tentu dampaknya berbeda jika yang menyebarkan orang awam. Ketika berita hoax disebarkan oleh seorang hakim diterima oleh orang awam, pasti mempunyai nilai menjurumuskan lebih parah, dibanding jika penyebar hoax tersebut orang biasa. Dengan kapasitas predikat ‘Yang Mulia’, hoax yang disebarkan oleh hakim jangan-jangan dianggap berita mulia pula oleh orang awam. Orang awam beranggapan “kata-kata hakim adalah hakimnya kata-kata”.

Dengan wacana di atas, kita pun perlu mengajukan pertanyaan. Jika memang banyak aparat peradilan menerima profiling negatif sebagaimana surat menpan di atas dan Mahkamah Agung telah menindak lanjuti dengan pembinaan, perlukah tindakan Mahkamah Agung ditingkatkan dengan tindakan ‘mengaudit’ ulang aparatnya, termasuk hakim. Audit dimaksud ialah audit ideologi dan kenegarawanan aparat peradilan. Hal ini penting dilakukan untuk memperoleh aparat peradilan, khsusnya hakim, yang benar-benar istikomah dalam profesi “penegak keadilan” yang tidak mudah tertarik-tarik ke kanan atau ke kiri oleh euphoria politik dan ideologi yang ada. Dan, yang lebih penting secara kelembagaan, juga upaya ini juga dalam rangka agar lembaga lebih mudah mewujudkan visi Mahkamah Agung, yaitu “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia Yang Agung”. Semoga.
Wallahu A’lam.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait