SDM Indonesia: Sampai Kapan Bisa Mempertahankan Keindonesiaan kita ?

  • Whatsapp

Oleh:
Rudi S Kamri

Melihat arah perjalanan bangsa Indonesia saat ini jujur saya galau maksimal. Perilaku intoleransi merebak dimana- mana. Diskriminasi kehidupan beragama terjadi di berbagai belahan Nusantara. Di sisi lain sikap pragmatis dan cuek juga telah menjadi “isme” hampir semua pemimpin negara dan elite politik. Mereka hanya sibuk mementingkan diri sendiri, kelompoknya dan hanya berpikir untuk kepentingan jangka pendek. Bagi mereka yang penting, bagaimana selama lima tahun program mereka berjalan dan bagaimana bisa berkuasa kembali lima tahun berikutnya.

Tahun 2045 kita memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-100. Pada saat itu diperkirakan jumlah penduduk Indonesia sekitar 325 juta orang. Diperkirakan sekitar 70% dari jumlah tersebut adalah usia produktif (15 – 64 tahun). Apakah saat nanti kita merayakan Indonesia Emas mereka akan menjadi bonus demografi atau sebaliknya menjadi beban demografi ? Saya tidak tahu. Yang saya tahu sampai saat ini saya tidak melihat ada konsep komprehensif lintas sektoral dan upaya sistematis dari negara untuk mempersiapkan generasi emas Indonesia yang produktif, tangguh, cerdas dan Pancasilais.

Perlu diketahui, Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Indonesia saat ini berkisar 1,39%. Artinya setiap tahun sekitar 4,8 juta bayi lahir di negeri ini. Di sisi lain, angka kelahiran menurut umur (Age Specific Fertility Rate = ASFR) Indonesia masih terbilang tinggi sekitar 36 – 46. Artinya dari 1000 kelahiran, 46 bayi diantaranya lahir dari ibu yang masih berusia muda (15 – 19 tahun). Mereka ini adalah penyumbang tingginya angka balita stunting, kematian ibu dan bayi di Indonesia.

Bayi-bayi yang saat ini berumur 0 – 5 tahun, 25 tahun yang akan datang merupakan tulang punggung tegaknya negara ini. Penanganan balita stunting, gizi buruk memang sudah dilakukan oleh Pemerintah. Tapi adakah konsep mencegah masalah hulu yaitu mencegah perkawinan usia muda telah dilakukan oleh Pemerintah ? Jujur saya belum melihat upaya ke arah sana.

Di sisi lain kita menyaksikan fenomena “Kadrunisasi” yang berbau “Arabisasi” sedang menggejala liar di semua lini kehidupan masyarakat kita. Hal ini adalah tantangan “keindonesiaan” bagi negeri ini. Dalam perspektif saya, gejala “Kadrunisasi” bin “Arabisasi” bukan membuat masyarakat Indonesia menjadi semakin meningkat kadar spiritualitasnya, tapi justru berpotensi akan memberangus budaya Nusantara kita dan berpotensi besar menjadi sarana pemecah belah keindonesiaan kita.

Dan yang mengenaskan, Pemerintah seolah tidak berbuat apapun untuk membendung laju kaum Kadruniyah ini. Upaya sistematis dan komprehensif dari negara untuk menguatkan keindonesiaan kita sama sekali tidak terlihat. Yang ada hanyalah upaya sendiri-sendiri dari para kaum nasionalis untuk berperang gigih melawan kaum Kadruniyah ini di tataran grassroot maupun di media sosial.

Konsep revolusi mental yang selama lima tahun lalu yang terbukti gagal, juga tidak terlihat segera direvisi dan diupdate. Padahal masukan tentang hal itu sudah lama ada di meja Presiden Jokowi. Kita tinggal menunggu niat baik Pemerintah untuk mengeksekusi masukan yang ada.

Seperti yang pernah saya sampaikan langsung kepada Presiden Jokowi, pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia tidak cukup hanya sekedar menjadikan manusia Indonesia menjadi pintar dan piawai menghadapi gempuran perkembangan teknologi (hardskill) namun harus juga menjadikan manusia Indonesia yang nasionalis dan punya karakter manusia yang Pancasilais (softskill). SDM Indonesia yang unggul dan Pancasilais akan membuat kita yakin dan optimis bisa mempertahankan keindonesiaan Indonesia.

Pendidikan agama penting tapi tidak harus membuat manusia Indonesia kehilangan keindonesiaannya. Menjadi Muslim yang baik tidak harus menjadikan manusia Indonesia berperilaku seperti orang Arab. Menjadi Kristen yang taat tidak harus menjadikan umat Kristiani Indonesia menjadi seperti orang Yahudi atau Barat. Menjadi penganut Khonghucu yang baik tidak harus menjadikan manusia Indonesia berperilaku seperti orang China. Demikian juga untuk penganut Hindu, Budha atau aliran kepercayaan.

Agama seyogyanya menjadikan manusia Indonesia semakin memperkuat jadi diri keindonesiaannya. Bukan memperlemah. Salah satu cara menjaga keindonesiaan kita adalah mempertahankan tradisi dan budaya Nusantara. Dan untuk menuju ke arah sana tidak cukup hanya dilakukan oleh orang per orang atau kelompok tertentu. Tapi negara harus hadir menjadi Panglima terdepan untuk memberi panduan dan men’direct’ rakyatnya. Karena negara mempunyai sumber daya dan koneksivitas yang memungkinkan untuk melakukan hal itu. Sekarang tinggal niat baik dari petingggi negara untuk melakukannya.

Pertanyaan untuk petingggi negara sangat sederhana, bukan mampu atau tidak mampu tapi MAU atau TIDAK MAU melakukannya. Kalau tidak mau, kita harus ikhlas menerima kenyataan bahwa beberapa tahun ke depan keindonesiaan kita hanya tinggal kenangan. Dan hal ini merupakan dosa besar yang telah secara sadar kita lakukan kepada “founding fathers” dan anak cucu kita.

Indonesia seperti apa 25 tahun lagi, tergantung apa yang kita lakukan hari ini.

Salam SATU Indonesia,
26012020

#Refleksi100HariKabinetIndonesiaMaju

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait