Hal tersebut disampaikan Kiswan (26) salah satu wartawan media online Maluku kepada media ini. Kamis (29/09/2016).
“Kamong itu biking barang kataruan kataruang, datang kamari bawa masalah,” tandasnya mengulang bahasa Sekda.
Dalam penjelasannya, Dirinya hendak wawancarai terkait tarik kabar angin permasalahan gunung botak, dimana Sekda telah menjani kontrak dengan investor untuk memproduksi Rupiah di tambang rakyat yang telah ditutup tersebut.
“Namun dengan niatan untuk mengonfirmasi narasumber, saya dicela dengan cibiran yang saya sendiri terpukul dengan lontaran bahasa dari Pak Sekda,” tandasnya menceritakan kronologis.
Dirinya melanjutkan, mestinya jika Sekda Buru dalam hal keberatan terhadap suatu pemberitaan media, sudah ada mekanismenya, yaitu dengan menggunakan hak jawab, sebagaimana tertuang dalam undang-undang pokok pers no.40 tahun 1999.
“Silahkan jawab saja di media yang bersangkutan, jika keberatan terhadap suatu pemberitaan. Kan sudah diatur dalam undang-undang pers. Bukan dengan melakukan tindakan yang mengarah kepada kekerasan,” ujarnya.
Seperti yang pernah dirilis oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers di Jakarta, 47 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama tahun 2015, Baik itu secara fisik dan non-fisik. Data tersebut dirilis dalam media online Antaranews tertanggal 22 Desember 2015.
Dalam catatan LBH Pers, aktor yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis didominasi oleh aparat polisi dan pejabat.
Hal ini karena polisi memiliki banyak persinggungan dengan awak jurnalis, terutama terkait dengan tugasnya yang berada di tengah masyarakat. Begitupun pejabat yang notabenenya adah seorang public figur.
Menutup penjelasannya, Kiswan berharap ada perhatian serius dari teman-teman jurnalis lainnya menyikapi hal tersebut. (FAR)