Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Seorang pendakwah perempuan kondang pernah menjadi pembicaraan seorang pendakwah lainnya, gegara memberikan penjelasan seputar hukum radha’ah. Pasalnya, pendapat yang disampaikan di TV nasional swasta itu tidak lazim dengan yang selama ini dikenal masyarakat. Mengetahui polemik demikian, walaupun hanya sekelumit penulis merasa perlu ikut urun rembuk agar masyarakat bisa mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya.
Dalam kajian fikih menyusui anak masuk dibahas dalam bab al-radha’ah. Pembicaraannya biasa juga dikaitakan dengan pembicaraan mengenai orang-orang yang yang haram dinikahi (mahram) atau larangan menikah (Mawani’ al-Nikah), dalam hal ini selain karena hubungan nasab dan hubungan semenda juga karena hubungan radha’ah (sesusuan).
Pada zaman awal-awal Islam praktik radha’ah memang sering terjadi. Bahkan dalam Tarikh Islam jelas-jelas ditulis bahwa sewaktu masih bayi rasulullah SAW juga pernah disusui oleh beberapa ibu susuan. Hal tersebut tentu bukan hanya berlaku bagi rasulullah sebab bangsa Arab di masa lalu pada umumnya memang memiliki kebiasaan menyusukan anak kepada perempuan lain. Terutama bagi orang Arab yang berdomisili di kota. Dengan alasan dan tujuan tertentu, mereka sering menitipkan anak untuk disusui oleh penduduk kampung. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan anak dari pengaruh kehidupan kota, menguatkan fisik, dan menjaga kemurnian serta kefasihan berbahasa. Demikian pula Muhammad kecil, tidak hanya disusui oleh satu perempuan.
Selama ini yang populer dikenal hanya ada dua orang yang bertindak sebagai ibu susuan Mumammad saw, yaitu Tsuwaibah Al-Aslamiyah dan Halimah As-Sa’diyah. Padahal, sebenarnya bukan hanya mereka berdua yang menjadi ibu susuan Muhammad saw. Tercatat dalam sejarah bahwa Muhammad ketika masih bayi pernah disusukan kepada beberapa ibu susuan. Syekh Al-Burhan, dalam kitab Syarh ‘ala Al-Mawahib Al-Laduniyyah, Az-Zarqani menjelaskan, sebagaiamana dikutip oleh Ustadz Muhammad Masruhan dalam NUonline, ada 10 wanita yang pernah menyusui Mumammad saw sewaktu kecil.
1. Pengertian radh’ah terkait mahram
Yang dimaksud susuan yang berakibat hukum timbulnya hubungan mahram sebagaimana dikemukakan Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah ialah apabila seorang perempuan yang mengeluarkan air susunya dari puting payudaranya, baik ia sudah dewasa ataupun belum, masih mengalami had atau sudah menopause, memiliki suami atau tidak, serta sedang hamil ataupun tidak. ( Sayyid Sabiq, 2008:301).
Dengan demikian tidak ternasuk pembahasan radhaah apabila apabila perempuan yang melakukan susuan tersebut tidak mempunyai air susu yang dapat diminum.
2. Radha’ah dan Mahram
Akibat hukum radhaah antara yang menyusui dengan yang disusui mempunyai hubungan mahram. Akan tetapi akibat hukum mahram itu tidak hanya sebatas dengan antara yang menyusi dengan yang disusui tetapi juga dengan seluruh kerabat yang menyusui. Hubungan mahram akibat susuan ini sebagai ditegaskan oleh rasulullah SAW dalam haditsnya: “Yang diharamkan susuan sebagaimana diharamkan karena (adanya hubungan) nasab”. Berdasarkan hadits ini, para ulama fikih, mengidentifikasi siapa saja orang yang diharamkan karena hubungan susuan, dalam hal ini ada 7 orang, yaitu:
– Ibu susuan (perempuan yang menyusui) karena posisi dia sebagai ibu bagi anak yang disusuinya.
– Ibu dari ibu susuan, karena statusnya sebagai nenek bagi anak yang disusui.
– Ibu dari suami ibu susuan (mertua ibu susu) karena dia juga sebagai nenek bagi anakyang disusui
– Saudara perempuan ibu susu, karena ia menjadi bibi baginya;
– Saudara perempuan dari suami ibu susuan;
– Anak keturunan ibu susuan, baik dari pihak anak laki-laki maupun perempuan (cucu, dan seterusnya) karena mereka adalah saudara satu susuan, begitu juga dengan anak-anak mereka.
– Saudara perempuan satu susuan, baik dari pihak ayah dan ibu susuan maupun salah satunya. (Ibid,297).
Menurut Kompilasi Hukum Islam, Pasal 39 ayat (3), ada 5 wanita yang diharamkan dinikahi, karena susuan, yaitu:
a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garus lurus ke bawah;
c. Dengan seorang wanita saudara sesuan dan kemenakan sesuan ke bawah;
d. Dengan seorang wanita bibi sesuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. Dengan anak yang disusui oleh istrnya dan keturunannya;
Dengan maksud yang sama, redaksi rumusan dalam KHI tampaknya berbeda dan terlihat lebih ringkas.
3. Menyusui anak yang sudah besar
Wacana menganai hukum radha’ah ini biasanya mengenai penyususan terhadap anak yang masih bayi dan/ atau atau belum berumur 2 tahun. Lantas bagaimana, jika terjadi susuan tersebut dilakukan terhadap anak yang sudah besar atau dewasa? Apakah juga menimbulkan terjadinya mahram? Wacana inilah menjadi kontraversi dalam kasus pendakwah di atas.
Mengenai hal tersebut, Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah mengemukakan 2 macam pandangan fukaha. Menurutnya, mayoritas fikaha berpendapat bahwa menyusui anak yang sudah besar atau dewasa tidak mengharamkan pernikahan baginya (dengan perempuan yang menyusuinya). Dasarnya ialah Surat al-Baqarah ayat 233: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun penuh, yaitu bagi orang-orang yang ingin menyempunakan penyusuan”. Terhadap firman Allah tersebut Ibnu Abbas berkata: “Tidak ada persusuan kecuali (sebelum) usia 2 tahun”.
Akan tetapi sebagaimana dikemukakan Sayid Sabiq, ada pandangan berbeda, dalam hal ini ulama salaf dan masa sekarang, yang berpendapat bahwa menyusui anak yang sudah besar tersebut dapat mengharamkan pernikahan walaupun hal itu dilakukan oleh laki-laki yang sudah berusia lanjut sekalipun.
Dengan demikian tidak ada bedanya antara akibat hukum menyusui anak yang masih kecil dengan menyusui anak laki-laki yang sudah besar atau dewasa. Pendapat ini bermula dari pendapat Aisyah dan ternyata juga ada sejumlah sahabat yang mengikutinya, seperti Ali bin Abi Talib, Urwah bin Zubair dan Atha’ bin Rabah. Sebagai dasar dari pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Ibnu Syihab, yaitu ketika ditanya tentang seorang perempuan yang menyusui orang dewasa, dia menjawab, bahwa Urwah bin Zubair ra memberi tahuku bahwa rasulullah SAW menyuruh Sahlah binti Suhail untuk menyusui Salim. Sahlah binti Suhail lantas kemudian melaksanakan perintah itu dan kemudian menganggap Salim sebagai anaknya. (Ibid, 303)
Pendapat terakhir dalam konteks zaman sekarang, tentu sangat kontroversial. Tampaknya pendapat itu yang memicu terjadinya ‘polemik’ antar pendakwah di atas. Dan, alangkah lebih bijak jika pendapat demikian tidak perlu disampaikan dalam ceramah di media yang hanya dengan durasi sangat terbatas. Akan tetapi sebagai kajian ilmiah pendapat tersebut tentu tatap dapat dipandang sebagai khazanah keilmuan yang terus dapat menjadi objek penelitian ilmiah. Sebagai Fikih Indonesia, Kompilasi Hukum Islam ke depan perlu memberikan muatan masalah radhah ini–bersama lembaga-lembaga hukum lain, seperti nusyuz, syiqaq, li’an, dan lainnya—secara lebih luas. Langkah ini diperlukan sebelum euphoria penjadian KHI sebagai hukum materiil Peradilan Agama benar-benar direalisasikan.
Sumber:
1. Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, alih bahasa oleh Abdurrahim dan Masrukhin, Jilid 3, Cetakan pertama, Jakarta, Cakrawala Publishing.
2. Kompilasi Hukum Islam.
3. https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/mengenal-10-ibu-susuan-nabi-muhammad-yfT27