Seketaris DPM : Perpres 80/2019, Landasan Prioritas Percepatan Pembangunan Jawa Timur

  • Whatsapp

SURABAYA, beritalimacom | Lahirnya Perpres Nomor 80 Tahun 2019 yang diteken Presiden Joko Widodo dimaksudkan sebagai landasan prioritas Percepatan Pembangunan Ekonomi Jawa Timur (Jatim). Hal itu guna mewujudkan Pertumbuhan Jatim menuju era 4.0.

Diharapkan, dengan adanya Perpres tersebut bisa memberikan manfaat besar bagi masyarakat di Jatim dengan target Gerbang Kertasusila, kawasan lingkar Bromo Tengger Wilis, dan Lintas Selatan.

Munculnya Perpres 80/2019 itu tidak lepas dari kegigihan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Sesuai janji kampanye saat Pilkada Jatim 2018 lalu, Gubernur Khofifah ingin mewujudkan Percepatan Pembanguan Infrastruktur Jatim.
Karena itu, Ketum Muslimat NU yang juga mantan Menteri Pemberdayaan Peranan Wanita era Presiden Abdurrahman Wahid dan mantan Menteri Sosial dalam kabinet Presiden Jokowi periode pertama itu berjuang keras untuk mendapatkan Perpres itu.

Adalah Sekretaris Dewan Pembangunan Madura (DPM) Drs. Harun Al Rasyid, MSc yang sejak awal gagasan pembangunan Jembatan Suramadu bersama mantan Gubernur Jatim H. Moh. Noer. Hal ini diungkapkannya saat ditemui Beritalima.com.

Konsep pembangunan Madura yang disampaikan oleh Harun Al Rasyid sejalan dengan tujuan Gubernur Khofiah. Sebab, Madura adalah iconnya Indonesia kelak dalam kancah bisnis antar benua, bukan hanya secara nasional.

“Madura ini adalah lintasan strategis antar benua, pelabuhan di Klampis Madura akan menjadi pelabuhan Internasional, di Tanjungpiring Socah untuk peti kemas, karena kini di tempat penampung peti kemas di pelabuhan Tanjung Perak sudah overloud,” ungkapnya.

Tidak hanya itu. Menurutnya berdasarkan Keppres Nomor 55 Tahun 1990 yang ditandatangani Presiden Soeharto, pembangunan Jembatan Suramadu dikukuhkan sebagai Proyek Nasional. Sehingga di sini pula sedianya akan dibangun Bandara Internasional juga.

“Pak Harto menginginkan Bandara Internasional Juanda akan difungsikan kembali sebagai basis pertahanan TNI. Tapi saat itu masih ada yang tidak setuju, saya dan Pak Noer mantan Gubernur Jatim saat itu, berontak karena konsep Madura dialihkan,” papar Harun Al Rasyid.

Karena, dari hasil Preliminary study on Pra Studi Kelayakan Jembatan Suramadu Surabaya-Madura Bridging Project oleh JIF dan BPPT atas biaya dari pihak Jepang, Maret-Oktober 1990, diperoleh rekomendasi penting. Bahwa dengan kondisi Kota Surabaya sebagai pelabuhan terbesar kedua setelah Jakarta, serta industri ekspor sistem padat karya, maka pengembangan pulau Madura menjadi kunci pokok dalam perluasan kota metropolitan Surabaya.
Setelah melihat potensi pengembangan yang tinggi, maka pembangunan Jembatan Suramadu menjadi penting. Rekomendasi ini kemudian menjadi titik penguat untuk melakukan studi teknis dan studi pendukung lainnya.

“Studi ini berlangsung tahun 1990 hingga 1995. BPPT pun menyiapkan biaya dari anggaran Daftar Isian Proyek (DIP),” ungkap Harun Al Rasyid.

Akhirnya, pada 14 Desember 1990 Proyek Pembangunan Jembatan Surabaya-Madura dan Pengembangan Kawasan dikukuhkan sebagai proyek nasional melalui penerbitan Keppres Nomor 55 Tahun 1990 tentang Proyek Pembangunan Jembatan Suramadu.
Melalui Surat Gubernur Jatim Nomor: 602/1746/201/200, pada 11 Oktober 2001 dan Nomor: 602/2332/201.3/2001, pada 26 November 2001, Pemerintah Jatim mengajukan Permohonan Inisiasi Pelaksanaan Pembangunan Jembatan Suramadu dan Pencabutan Keppres 55/1990.

Selain itu, pada 14 Januari 2002 dilakukan sosialisasi pembangunan Jembatan Suramadu oleh Gubernur Imam Utomo di depan alim ulama dan tokoh masyarakat Madura di Pamekasan. Rencana melanjutkan kembali pembangunan Jembatan Suramadu ini direspon dan sambutan yang sangat baik dari masyarakat Madura. Mereka juga mengharap kesungguhan pemerintah pusat dalam rencana pembangunan Jembatan Suramadu.

Selain itu Bupati/DPRD diharapkan mengantisipasi selesainya pembangunan jembatan ini dengan tata ruang, perencanaan ekonomi, serta rencana induk pembangunan Pulau Madura dengan tepat.
Langkah Pemprov Jatim ini dijawab oleh Pemerintah Pusat melalui Surat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT kepada Presiden RI, No: 07/M/I/2002, pada 23 Januari 2002, perihal Inisiasi Pelaksanaan Pembangunan Jembatan Suramadu, yang menyatakan dukungan penuh atas langkah nyata yang diambil oleh Pemprov Jatim.

Melalui surat tersebut juga dinyatakan perlunya diterbitkan Keppres baru untuk menyatakan bahwa proyek Jembatan Suramadu adalah termasuk proyek prioritas dan sekaligus mencabut Keppres 55/1990.
Seiring membaiknya situasi perekonomian, maka keluarlah Keppres Nomor 79 Tahun 2003 pada 27 Oktober 2003 tentang pembangunan Jembatan Suramadu yang menyatakan bahwa pembangunan Jembatan Suramadu dapat dilanjutkan kembali.

“Keppres Nomor 79 Tahun 2003 merupakan titian awal dimulainya kembali pembangunan Jembatan Suramadu,” lanjut Harun Al Rasyid.

Dalam Keppres tersebut juga dinyatakan pembangunan Jembatan Suramadu dilaksanakan sebagai bagian dari pembangunan kawasan industri, perumahan dan sektor lainnya dalam wilayah kedua sisi ujung jembatan.

Pelaksanaan pembangunan Jembatan Suramadu juga harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jatim dan Rencana Tata Ruang Kawasan (RTRK) Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan (Gerbang Kertosusila) serta Pamekasan, Sampang dan Sumenep.

Dengan Jembatan Suramadu, yang menghubungkan Surabaya dengan Madura melalui jalan darat, diharapkan ketimpangan sosial bisa segera direduksi. Arus transportasi yang cepat dan efektif akan membuat perkembangan Madura segera melejit, bersaing dengan daerah lain.

Sampai saat ini Harun Al Rasyid masih memikirkan tentang Pembangunan Madura. Dengan adanya Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) dan Perpres Nomor 80 Tahun 2019 diibaratkan sebuah property dari Presiden Joko Widodo ke Gubenur Khofifah. Karena, ia dinilai mampu menjaga amanah Presiden di Jatim.

“Feeling saya, Perpres No. 80 Tahun 2019 adalah Anugrah Jatim dalam Pemerintahan Ibu Khofifah bagi masyarakat Jatim yang perlu disyukuri.” terangnya.

Khusus Madura, bagaimana sinergi pemerintah daerah dengan Gubenur dalam membangun infrastruktur di Madura, BPWS juga berperan penting sebagai babak pemanasan, khususnya Indonesian Islamic Science Park -IISP yg pembangunannya di pintu gerbang Masuk Madura. Yaitu di Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJSM) atau Bangkalan Selatan (Bangsel), di mana wilayah ini adalah Citra Madura, sesuai dengan keinginan Gubernur Khofifah, dengan luasan 101 ha di KKJSM.
Ini juga perlu didukung oleh tokoh-tokoh sentral yang tahu Madura dalam arti adat Madura.

“Ini faktor terpenting bagi pemimpin definitif yang tahu Madura. Bukan orang yang pinter, rasanya orang Madura juga pinter-pinter,” kata Harun Al Rasyid.

Ia meminta belajarlah pada saat pembebasan Kaki Jembatan Suramadu, mengapa Pak Harto memilih Pak Noer? “Karena, Pak Noer paham karakter orang Madura. Beliau itu asli Putra Madura, dan itu bukan karena Madura menutup diri dari orang di luar Madura, tentu tidak juga, jangan sampai anggaran bolak-balik ke pusat, karena penyerapan sangat minim, ini kan masalahnya tadi itu,” lanjut Harun Al Rasyid.

Menurutnya, konsep infrastruktur mulai saat ini harus dirancang bagi setiap Bupati di Madura dan Walikota Surabaya, agar nantinya tidak ada Sisa Anggaran yang tidak terserap.

“Ini akan membuat suatu pukulan berat bagi Gubenur,” ujar Harun Al Rasyid.

SDM masing-masing sudah saatnya move on agar bisa membantu kinerja Gubenur di daerah. Daerah harus mulai menyiapkan Perda/Perwali dan tata ruang agar saat pembangunan sudah berjalan tidak menciptakan masalah baru.

“Ini awal yang perlu dilakukan,” tandasnya. [red]

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait