JAKARTA, Beritalima.com– Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 7,07 persen Triwulan II/2021 merupakan angka belum dapat dibanggakan. Pasalnya, perbandingan yang dilakukan dengan YoY dimana tahun lalu, Indonesia mengalami keterpurukan ekonomi pada tahun pertama menghadapi pandemi Covid-19.
“Kalau sektor pertanian kuat, itu nyata. Tangguh dalam mempertahankan negara kita terus tegak, memberi sumbangsih nyata kepada negara. Tapi untuk laporan pertumbuhan ekonomi 7,07 persen, itu semu belaka,” papar anggota Komisi IV DPR RI, Dr H Andi Akmal Pasluddin, Senin (9/8).
Secara data, metode dan penampilan memang sesuai fakta. Tetapi, kenapa tidak dapat dibanggakan, karena yang baseline yang dibandingkan pada kondisi serba buruk. Fakta di lapangan masih terjadi banyak pengangguran akibat lesunya berbagai aktivitas industri dan perdagangan.
“Intinya, negara kita saat ini masih dalam kondisi tidak baik-baik saja, sebagai bukti nyatanya, angka kemiskinan jika di ukur secara fair terjadi peningkatan yang cukup signifikan,” jelas wakil rakyat dari Dapil II Provinsi Sulaweesi Seelatan tersebut.
Legislator kelahiran Bone, Sulawesi Selatan ini menyarankan, pemerintah dalam menangkap dan menyerap informasi BPS, mesti merujuk kembali pada kondisi sebelum ada pandemi sehingga dalam menentukan target dan bekerja dalam perencanaannya, bukan mengambil baseline yang negatif.
“Saya mengingatkan, PPKM yang sudah berlangsung sejak 2 pekan lalu, telah melibas kembali daya beli masyarakat sekaligus merusak harapan para pedagang yang sulit berjualan di beberapa pasar modern maupun tradisional. Puluhan Juta orang mengalami short hour yang berarti menuju lesunya sektor industri,” ketus Andi Akmal.
Merujuk data BPS, Andi Akmal menerangkan, jumlah penduduk miskin 2021 berkisar 27,54 juta orang. disparitas jumlah penduduk miskin di kota dan di desa cukup tinggi, berkisar rentang sekitar 7 persen. Garis kemiskinan per maret 2021, Rp 472,525 per kapita per bulan.
Selama September 2020 hingga Maret 2021, garis kemiskinan naik 2,96 persen dari Rp 458.947 per kapita per bulan di September 2020. Sesuai penjelasan BPS, peran Komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan.
Pada maret 2021, komoditi makanan menyumbang sebesar 73,96 persen garis kemiskinan. “Kita mengetahui masyarakat pedesaan itu kalau bukan petani dan nelayan. Penduduk petani dan nelayan ini yang banyak miskin dan perlu menjadi perhatian Pemerintah,” kata dia.
Padahal, lanjut Andi Akmal, peran mereka dalam menyediakan pangan, sangat besar bagi negara ini, termasuk dalam kondisi pandemi. “Dengan bukti nyata sektor pertanian ini sangat kokoh, mestinya pemerintah membuat prioritas untuk menjadikan profesi petani dan nelayan sebagai masyarakat menengah atas,” demikian Dr H Andi Akmal Pasluddin. (akhir)