Selamat Datang Politik Yang Berorientasi Pasar Dan Dimanakah Tempat Ideologi?

  • Whatsapp

EPILOG
SELAMAT DATANG POLITIK YANG BERORIENTASI PASARDAN DIMANAKAH TEMPAT IDEOLOGI?
– Serial 10 P Untuk Marketing Politik
Denny JA


“Saya tak peduli warna kucing itu hitam atau putih. Yang penting kucing itu dapat menangkap tikus.”
Demikianlah Deng Xioping menandai datangnya  zaman pragmatisme.  Ia memimpin Cina di tahun 1982-1987. Ia pun mereformasi ekonomi Cina. Ia membuka Cina untuk dunia luar. Ia meletakkan fondasi datangnya entrepreneurship dan kapitalisme ke jantung komunisme.
Deng Xioping membuka era datangnya Ali Baba. Dalam Top 10 Perusahaan Terbesar di dunia, kini sebagian berasal dari Cina. Seperti  Industrial and Commersial of China (ICBC) senilai USD 215.6 milyar. China Construction Bank, senilai USD 174.4. Petro China, senilai USD 202 milyar.


Perusahaan China itu bersaing dengan perusahaan terbesar negara rajanya kapitalisme: JP Morgan Chase, senilai USD 229.7 milyar. General Electric senilai USD 259.6 milyar. Dan ExxonMobile, senilai USD 422.3 milyar. (1)
Dua puluh tahun sebelumnya, di dunia barat, Daniel Bell, menyatakan serupa. Ideologi sudah mati. The end of Ideology. Ia tidak menyatakan ideologi benar benar akan musnah dari muka bumi.
Tapi, zaman memang sudah berubah. Masyarakat semakin berorientasi pada problem solving. Ini bukan lagi era pembangunan disekat-sekat dengan perspektif ideologi yang kaku. Ini era segala hal dituntaskan kasus per kasus, dengan modifikasi praktis yang tak lagi dituntun oleh grand design ideologi.


Kitapun memasuki tahun digital 2020. Ini zaman 40 tahun setelah Deng Xioping. ini era 60 tahun setelah Daniel Bell menyatakan the end of ideology.
Pertarungan politik terutama di dunia barat, diandaikan hanya terjadi seperti persaingan Coco Cola versus Pepsi Cola. Semua politisi yang bertarung percaya pada demokrasi. Mereka sama sama meyakini prinsp Hak Asasi Manusia. Mereka pun sama sama menyetujui Kapitalisme.
Tak ada pertarungan grand design ideologi lagi di sana yang membelah. Yang ada hanyalah perbedaan nuansa dan perbedaan posisi atas isu. Misalnya perbedaan sikap soal menaikkan atau menurunkan pajak untuk segmen populasi tertentu. Atau modifikasi atas isu Welfare Program, Imigran, aborsi, dan LGBT.
Kita tiba pada masyarakat yang sangat cepat berubah. Ideologi model lama: kapitalisme, sosialisme, fasisme, feminisme, liberalisme, konservatisme, negara agama, akan tetap hadir sebagai wacana.
Namun di dunia demokrasi, public policy semakin dituntun oleh hasil riset. Persepsi pemilih, harapan publik luas, kemarahan voters menjadi orientasi utama kebijakan.


Masuk ke dunia demokrasi, karpet merah kini digelar. Selamat datang ke negeri, dimana politik semakin berorientasi pada pasar. Pemilih semakin beragam.  Publik semakin kurang ideologis.
-000-
Marketing politik di era 2020 sangat terkait dengan orientasi pasar. Bahkan sering disebut, inti dari marketing politik zaman baru itu sendiri pada dasarnya adalah politik yang berorientasi pasar. 
Partai atau kandidat dipaksa zaman menerima kehendak pasar sebagai hal yang utama. Strategi politik pun didasarkan pada dinamika pasar (pemilih). 
Jika tidak berorientasi pada pasar (pemilih), taruhannya sangat besar.  Mereka akan dikalahkan dalam pemilu !
Bagaimana dunia akademik membicarakan dunia yang semakin tidak ideologis? Dunia yang semakin berorientasi pada pasar (pemilih)?
Guru besar pemasaran Aaarhus University, Denmark, bernama Robert P. Ormrod. Menurutnya, orientasi pada pasar (pemilih) dalam politik itu sebuah keniscayaan. Yang tersisa hanyalah gradasi, tingkat kedalaman pada orientasi pasar itu.


Omrod pun membangun sebuah model. Ia menguji seberapa dalam partai atau kandidat menempatkan pasar (market) sebagai hal utama dalam strategi mereka. Model ini diberi nama Orientasi Pasar Politik Political Market orientation / PMO).
Partai atau kandidat disebut menerapkan market orientation jika orientasi pasar ini menjadi “nyawa” dalam semua bagian strategi. Menempatkan pasar sebagai hal utama, berarti partai atau kandidat memperhatikan apa yang dibutuhkan oleh pasar. Produk politik kemudian disusun sesuai dengan kebutuhan pasar.
Ormrod membedakan secara tegas antara orientasi pemasaran (marketing orientation) dengan orientasi pasar (market orientation). 
Pada orientasi pemasaran, fokus ada pada penjualan (marketing). Dilakukan berbagai upaya agar produk bisa dijual. Misalnya dengan melakukan aktivitas promosi, kampanye dan sebagainya. 


Dalam bidang politik, orientasi pemasaran ini dilakukan dengan melakukan kegiatan agar rakyat memilih partai atau kandidat lewat bujukan kampanye, persuasi dan sebagainya. 
Sementara orientasi pasar (market orientation), menempatkan kebutuhan pasar sebagai bagian utama dalam strategi. Dalam produk komersial, pasar tidak hanya dilihat sebagai sasaran penjualan. Ia menjadi inti dari strategi perusahaan.
Ini terbaca dari keseluruhan strategi. Mulai dari riset pasar, membuat produk hingga memasarkan produk tersebut, semua dikaitkan dengan perkembangan pasar.
Jika konsep ini diterapkan dalam politik, orientasi pasar menempatkan pemilih sebagai bagian integral dalam strategi. Pemilih tidak hanya didekati saat kampanye. Tetapi mereka ditempatkan sebagai bagian utama dalam setiap strategi partai dan kandidat.  
Ormrod menurunkan orientasi pasar politik ini lebih operasional dalam dua dimensi besar.


Dimensi pertama adalah sikap.  Dimensi ini diukur dari sejauh mana sikap atau kesadaran partai/ kandidat terhadap stakeholder penting dalam politik. 
Stake holder ini ke dalam 6 aspek: (a) Internal. Yang dimaksud stake holder internal itu anggota partai dan tim sukses. Sejauh mana kesadaran partai / kandidat terhadap opini yang berkembang di kalangan internal partai. 
Partai / kandidat disebut mempunyai orientasi pasar jika secara periodik berupaya untuk mengetahui suara anggota partai. Suara internal partai juga digunakan sebagai dasar untuk pembuatan kebijakan. 
(b) Pemilih. Partai / kandidat disebut mempunyai orientasi pasar jika suara pemilih (voters) dipandang penting dan menjadi bagian utama strategi. Partai / kandidat mempuyai mekanisme dan secara teratur melakukan penelitian untuk mengetahui sikap pemilih. 
c) Kompetitor.  Orientasi pasar juga meminta partai / kandidat untuk mengukur kekuatan dan kelemahan kompetitor. Lalu mereka membandingkannya dengan kekuatan dan kelemahan diri sendiri. 
Partai / kandidat perlu menyadari zaman terus bergerak. Ia harus terbuka dengan perubahan. Terutama, mereka perlu membuka diri atas apa yang sudah dilakukan oleh kompetitor.


Selain tiga stake hoder di atas, stakeholder lain yang penting adalah eksternal (masyarakat) baik mikro, meso ataupun makro. 
d) Masyarakat-mikro. Yang dimaksud dengan stake holder masyarakat-mikro adalah kelompok  yang ada dalam masyarakat. Seperti kelompok tani, pekerja (buruh), pegawai negeri dan sebagainya:
Produk politik  (misalnya program kerja) harus memperhatikan bagaimana kepentingan dari aneka kelompok tersebut. Apa suara mereka? Apakah pandangan mereka telah diperhatikan dalam penyusunan program? 
e) Masyarakat-meso. Kelompok meso ini umumnya penghubung antara masyarakat luas dan pengambil kebijakan. Misalnya kelompok kepentingan, organisasi masyarakat, organsiasi keagamaan, dan kelompok masyarakat sipil. 
Partai/ kandidat disebut mempunyai orientasi pasar jika mempunyai mekanisme untuk tahu pendapat dari kelompok kepetingan ini. Lalu menjadikan suara mereka bagian penting saat menyusun produk politik. 
(f) Masyarakat-makro. Kelompok ini mengacu pada media. Partai / kandidat selalu memonitor opini yang berkembang di media konvensional dan media sosial. Strategi ini menempatkan opini sebagai bagian integral dalam penyusunan produk politik.


-000-  Dimensi kedua dari orientasi pasar adalah perilaku. Dimensi ini berkaitan denga tahapan strategi. Ormrod membagi orientasi pasar ini ke dalam 4 tahap. 
Mulai dari tahap pencarian informasi. Tahap formulasi strategi. Tahap penyebaran informasi. Dan tahap Implementasi strategi.  Dalam empat tahap itu, prilaku yang melibatkan pasar sungguh dijalankan.
Dua dimensi ini (sikap dan perilaku), diintegrasikan dalam sebuah model bernama PMO (Political Market orientation).
PMO ini evolusi mutakhir dari marketing politik di zaman baru.  Kita dapat melihat evolusi marketing politik dalam tiga orientasi di bawah ini.
Pertama, partai yang berorientasi pada produk (Product Oriented Party/POP). Sesuai dengan namanya, partai menitikberatkan pada produk. 
Pemilih tidak menjadi fokus atau perhatian utama. Justru pemilih harus diubah atau dipersuasi agar menyukai partai atau kandidat. Partai yang menganut POP umumnya tidak mau mengubah produk partai (seperti ideologi, program, hingga citra). 
Fokus utama partai atau kandidat itu meyakinkan pemilih bahwa partai atau kandidat layak dipilih. Jika partai atau kandidat misalnya belum dipilih, ini bukan karena kesalahan partai atau kandidat. Tetapi itu kesalahan pemilih. 


Atau jika kesalahan ditempatkan di sisi partai atau kandidat, kesalahan terletak pada ketidakmapuan mereka dalam meyakinkan pemilih.
Ilustrasi yang sederhana, bayangkan Anda menjual produk laptop. Fokus POP adalah pada produk (laptop). Bagaimana membuat laptop sebaik mungkin? Tidak penting apa yang dipikirkan oleh konsumen.
Hal yang sama untuk dunia politik. Orientasi produk meyakini. Pada akhirnya pemilih bisa dipersuasi agar memilih produk yang baik. Produk dalam politik bisa berupa platform, orang, kandidat dan seterusnya. 
Pada model POP, produk politik (platform, hingga ideologi) tidak perlu diubah dan diotak-atik. Yang harus dilakukan adalah strategi persuasi kepada pemilih. 
Partai yang menganut orientasi produk percaya. Bahwa kandidat yang diusung adalah kandidat terbaik. Ia dilengkapi visi dan program kerja terbaik. Produk di sini tidak diotak-atik. Yang harus diyakinkan adalah pemilih.
Kedua, partai yang berorientasi pada penjualan (Sales Oriented Party/SOP). Partai yang menganut model ini menitikberatkan pada penjualan (sales).  Produk yang baik tidak akan berguna jika produk tersebut tidak bisa dijual. 


Pada produk komersial, orientasi ini diimplementasikan dengan cara memberi tekanan pada penjualan produk. Model SOP memfokuskan pada upaya membujuk pemilih. 
SOP mempertahankan ide, gagasan dan produk (program, ideologi) yang telah ditetapkan oleh partai / kandidat. Tetapi mereka sadar, produk politik tersebut agar bisa dijual harus disesuaikan dengan keinginan pemilih. 
Berbeda dengan model POP,  yang alergi dengan modifikasi produk politik, pada model SOP, partai atau kandidat terbuka terhadap perubahan. Ini dilakukan agar produk bisa diterima oleh pemilih.
Ilustrasi yang sederhana, bayangkan Anda menjual produk laptop. Anda ingin laptop tersebut mendapat angka penjualan yang baik. 
Berbeda dengan POP, model SOP terbuka terhadap keinginan pembeli. Keinginan ini bisa diimplementasikan dengan cara memodifikasi laptop agar sesuai dengan keinginan pembeli. 
Ketika Anda menjual laptop tersebut, Anda mendapat masukan dari pembeli. Misalnya baterai laptop tersebut cepat aus. Berdasarkan masukan itu, Anda bisa mengusulkan ke bagian produksi agar memperbaiki daya tahan baterai.


Model  SOP tidak mengubah produk secara total. Yang dilakukan penyesuaian ketika produk sudah berada di pasaran. Ilustrasi yang sama bisa dibuat untuk partai atau kandidat. 
Partai misalnya telah memilih seorang kandidat  dalam Pilkada. Pada perjalanannya, pemilih menganggap kandidat yang diusung oleh partai terlihat tidak merakyat. 
Berdasarkan masukan itu, partai bisa melakukan penyesuaian, lewat pencitraan. Misalnya dengan cara mengubah penampilan kandidat agar  terlihat merakyat.
Ketiga, partai yang berorientasi pada pasar (Market Oriented Party/MOP). Pada model MOP, fokus utama adalah pada pemilih, bukan pada produk atau penjualan. 
Karena pemilih menjadi tujuan utama, partai atau kandidat harus memperhatikan suara pemilih dari semua level atau tingkatan. 
Ilustrasi yang sederhana, ambil contoh penjualan laptop yang sama. Jika MOP yang dipakai, Anda pertama kali harus mendengarkan apa yang diinginkan oleh konsumen soal laptop.


Sebelum laptop diproduksi, pasar harus ditanya terlebih dahulu apa yang mereka sukai? Berdasar informasi tersebut, laptop kemudian diproduksi dengan memperhatikan apa yang diinginkan olpasar. 
Pada titik ini terdapat perbedaan yang mendasar antara MOP dengan SOP dan POP. Pada MOP, produk adalah hasil dari keinginan pasar.
Logika yang sama bisa ditujukan untuk politik. Partai yang berorientasi pada pasar (pemilih) harus menjadikan pemilih sebagai tujuan dan fokus utama. 
Produk politik (seperti platform, program, bahkan ideologi) adalah perwujudan dari keinginan  pemilih. Jika kita mengambil ilustrasi Pilkada di atas, partai yang menggunakan MOP tidak boleh mengusulkan kandidat terlebih dahulu. 
Partai yang menggunakan model MOP, pertama kali harus menanyakan kepada pemilih. Kandidat kepala daerah seperti apa yang mereka inginkan? Berdasarkan keinginan pemilih tersebut, partai kemudian mencari kandidat yang sesuai.
 -000- 
Orientasi partai atau kandidat pada pemilih, menentukan keberhasilan dalam Pemilu. Partai atau kandidat yang menggunakan MOP (menjadikan pemilih sebagai fokus utama) punya  peluang besar untuk menang. 
Kesimpulan ini didapat oleh Lees-Marshment  berdasar penelitian empiris Pemilu di Inggris. Peneliti ini mengamati apa yang dilakukan Partai Buruh pada Pemilu Inggris tahun 1983, 1987 dan 1997. 
Pada Pemilu 1983, Partai Buruh berorientasi pada produk (Product Oriented Party/POP). Elit partai percaya dengan kekuatan partai. Tidak ada hal yang diubah,  baik program ataupun kandidat presiden (pemimpin partai). 


Pada Pemilu 1983, Partai Buruh dikalahkan telak oleh Partai Konservatif. Perubahan terjadi pada Pemilu tahun 1987.  Mulai ada upaya partai buruh untuk memperhatikan keinginan pemilih. 
Partai  Buruh meminta bantuan lembaga pollster untuk mengetahui  keinginan pemilih. Partai berusaha agar persepsi pemilih itu diakomodasi dalam program partai. 
Meski mulai memperhatikan suara pemilih, Partai Buruh baru menjalankan SOP (Sales Oriented Party).
Perubahan besar-besaran baru terjadi pada Pemilu 1997. Pada Pemilu ini, Partai Buruh menerapkan MOP (Market Oriented Party). Suara pemilih justru menjadi fokus utama. 
Beberapa tahun sebelum Pemilu, elit partai aktif mengukur suara pemilih dan meminta pendapat mereka. Hasil dari suara pemilih itu kemudian digunakan sebagai dasar dalam merancang produk partai (seperti program partai.


Hasil dari penerapan MOP kemenangan diraih oleh Partai Buruh. Partai ini mendapat 419 kursi di parlemen, dan mendapat suara popular vote 43%. 
Termasuk ketua Partai (Tony Blair) terpilih sebagai Perdana Menteri Inggris. 
Apakah model ini juga cocok diterapkan di negara lain di dunia? Sebuah proyek besar dibuat oleh Lilleker dan Less-Marshment (2005). Mereka menghimpun puluhan studi di berbagai negara. 
Kesimpulan dari studi ini, model MOP berlaku di negara lain di luar Inggris. Studi di berbagai negara ini membuktikan model ini juga berlaku di banyak negara. Model ini juga mengantar kemenangan dalam pemilu.
-000-
Jika politik berorientasi pada pasar, dimanakah posisi ideologi dan sejarah kepartaian? 
Partai umumnya lahir dari ideologi tertentu. Itu yang membedakan politik dengan produk komersial. Partai juga telah berdiri puluhan bahkan ratusan tahun. Itu membuat partai mempunyai sejarah sendiri. Ia juga memiliki komunitas yang loyal. Dan komunitas itu diikat oleh kesamaan nilai sosial.
Apakah dengan berorientasi pada pasar, partai harus terus menerus mengalami perubahan? Termasuk perubahan ideologi dan sejarah kepartaian? 
Di sini ada titik kompromi. Ada penyesuaian antara keinginan pemilih (pasar) dengan ideologi partai di sisi lain. Tantangan terbesar partai adalah bagaimana membuat produk yang tidak bertentangan dengan ideologi partai. Apalagi ideologi partai itu sudah mengakar ratusan tahun lalu. 
Atau dengan kata lain, bagaimana menginterpretasikan ideologi partai agar tetap relevan dengan tantangan dan keinginan pemilih yang berubah.  
Zaman berubah. Persepsi berubah. Selera berubah. Nilai sosial berubah. Ideologi yang hidup justru menyesuaikan diri dan mengadopsi perubahan itu.


MOP, Market Oriented Party, atau PMO, Political Market Orientation, menjadi evolusi mutakhir dunia demokrasi. Ialah dunia yang semakin pragmatis. Dunia yang berorientasi pada problem solving. Dunia yang tak lagi bergerak dengan narasi besar, grand narative ideologi. 
Inilah dunia yang serba sinkretis. Dunia yang menuntaskan kasus per kasus dengan bimbingan riset berorientasi pada pasar (pemilih). 
 -000-
Selesai sudah buku ini. Formula 10 P untuk marketing politik. Dimana letak keistimewaan buku ini?
Pertama, buku ini meringkaskan secara populer prinsip marketing politik. Kekayaan informasi, sejarah, evolusi dan strategi marketing diringkaskan agar mudah diingat dalam formula 10 P. 
Mulai dari P 1 hingga P 10 mencakupi: Pro Innovation, Public Opinion, Polling, Profiling, Positioning, Product, Pull Marketing, Push Marketing, Post Election, hingga Political legacy.
Kedua, buku ini tak hanya berisi prinsip akademik marketing politik. Tapi juga buku ini selalu dimulai oleh contoh kasus. Ini buku marketing politik, teori dan praktek.
Ketiga, contoh kasus yang dieksplor melalui buku ini juga mengambil kasus besar. Tak hanya itu kasus dari Amerika Serikat dan Inggris. Juga disajikan kasus dari Indonesia.
Keempat, buku ini ditulis oleh pelaku konsultan politik. Ini semacam renungan 17 tahun pengalaman penulis di dunia konsultan politik Indonesia.
Penulis tak hanya dianggap the founding father profesi konsultan politik di Indonesia. Tapi penulis ikut meletakkan tradisi partai partai politik menggunakan survei opini publik dalam rekruitmen kandidat, sejak pertama kali di tahun 2005.
Penulis juga ikut memenangkan empat kali pilpres langsung di Indonesia berturut-turut, 33 gubernur, 90 walikota dan bupati. Aneka rekor bidang akurasi survei yang diiklankan, quick count paling kecil selisihnya dibanding hasil resmi, paling cepat, paling sering dipublikasi di headline halaman 1 koran nasional juga ikut penulis buat.
Buku ini tak hanya eksplorasi obyektif keilmuan. Tapi terasa pula girah seorang pelaku dan aktivis yang mengisahkan pengalamannya sendiri.
Apa yang baru dari pengalaman Indonesia? 
Berbeda dengan Amerika Serikat, Inggris atau dunia barat yang sudah matang, Indonesia masih bertransisi dalam demokrasi. 
Jika di negara Amerika Serikat, persaingan politik hanya terjadi soal nuansa seperti antara Coca Cola verus Pepsi Cola. Di Indonesia, pertarungan capres lebih ideologis. 
Dalam pilpres 2019 tempo hari, misalnya, peran agama di ruang publik ikut dipertandingkan. 
Politik yang berorientasi pada pasar di Indonesia harus dimainkan dengan hati- hati. Isu agama di ruang publik di Indonesia masih sangat populer. Sementara Demokrasi yang terkonsolidasi menghendaki pemisahan antara otoritas agama dan otoritas negara.
Memenangkan kandidat di Indonesia, yang masih sangat dipengaruhi oleh sentimen agama, tapi di sisi lain, kita ingin ikut menjaga tradisi demokrasi yang memisahkan otoritas negara dan otoritas agama, itu sebuah seni. 
Dan seni marketing politik di negara yang sedang bertransisi itu memang lebih seksi. Lebih eksotik.
Dan terhidanglah buku ini di atas meja. Terima kasih sudah mencicipinya.
Agustus 2020.

beritalima.com

Pos terkait