Oleh: Dr.H. ahmad Zaenal Fanani***
Kaget luar biasa ketika membuka grup WA keluarga Bani Hidayat ada kabar bahwa KH. Munawar Hidayat telah wafat. Seketika mulut terdiam, bibir tidak bergerak dan tidak terasa air mata mengalir. Tidak mengira karena baru minggu kemarin saya silaturahim menjenguk kerumah beliau.
KH. Munawar Hidayat, adalah pendiri dan pengasuh PP Al Maarij. Pondok yang fokus di bidang tahfidz Al Quran, di Kwaron, berdampingan PP Al Aqabah 1 dan tidak jauh dr PP Tebuireng.
Anak-anak saya memanggilnya dengan panggilan akrab Mbah Mun. Karena beliau adik kandung ibu saya atau anak ke 4 dari KH Muh Hidayat, kiai kampung di Bojonegoro.
Mbah Mun kiai yang mengabdikan hidupnya dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk Al Quran.
Sejak lulus MI, Mbah Mun sudah menghafal dan mendalami Al Quran di Madrasatul Quran (MQ), Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, sampai lulus kuliah. Bahkan sesudah menikah pun beliau tetap mengabdikan diri di MQ Tebuireng. Berkah MQ, beliau menjadi hafidz atau hafal alquran dengan qiraah sab’ahnya.
Bagi saya, Mbah Mun kiai ahli Al Quran yang unik dan langka. Beliau bukan type kiai yang suka ceramah atau memberi mauidzoh dengan mengulas ayat ayat Al Quran. Kalau pun toh pernah ceramah, itu jarang sekali. Beliau bukan kiai panggung. Oleh karena itu, Mbah Mun tidak populer dan terkenal, walau sangat menguasai Al Quran.
Keunikannya, adalah lisan beliau. Setahu saya, selalu istiqamah nderes Al Quran dimanapun dan kapanpun. Lisannya tidak berhenti atau lebih banyak dihabiskan untuk ngaji Al Quran. Menyimak santri yang ‘setor’ hafalan Al Quran. Kalau tidak menerima ‘setoran’ ya nderes sendiri. Bahkan ketika menyetir mobil pun, lisan beliau selalu nderes Al Quran.
Sering beliau cerita, khatam baca Al Quran sambil nyetir mobil setiap perjalanan dari Jombang ke Bojonegoro, atau perjalanan Jombang ke Madiun atau perjalanan silaturahim lainnya.
Beliau suka membawa mobil sendiri tanpa sopir. Bahkan jika sudah sampai di tempat tujuan kok belum khatam, maka beliau nyetirnya dipelankan sambil muter-muter dulu. Kalau sudah khatam baru menuju tempat tujuan. Seolah Mbah Mun ingin berbagi berokah khatmil Quran dengan setiap orang yang dikunjungi.
Saking cintanya pada Al Quran, Mbah Mun dalam satu hari bisa beberapa kali khatam Al Quran. Dalam sholat tahajud, beliau setiap rakaatnya mampu membaca beberapa juz Al Quran.
Bahkan beliau pernah cerita ke saya, ketika ziarah di Maqbarah Mbah Hasyim Tebuireng, Mbah Mun mengkhatamkan Al Quran dalam sekali duduk, tidak berdiri atau tanpa bergeser dr duduknya sampai khatam bacaannya. Maqbarah Tebuireng dan makam Wali Songo memang menjadi tempat favorit beliau untuk kontemplasi dan nderes Al Quran.
Ini menunjukkan beliau sudah masuk level meresapi nikmatnya nderes Al Quran, sehingga waktu dan lelah tidak terasa. Beliau tidak mahir ceramah tapi sangat istiqamah nderes membaca Al Quran.
Istiqomah selalu melahirkan karomah. Diantara karomah beliau adalah beliau diusia yg relatif muda mampu mendirikan pondok Tahfid Al Quran “PP al Maarij” yang perkembangan cukup pesat dan jumlah santrinya selalu meningkat. Tidak hanya itu, beliau juga sudah banyak melahirkan santri-santri yang hafidz Al Quran.
Beliau bukan dzurriyah Tebuireng, beliau hanya santri dan anak kiai kampung, tapi berkah istiqomah “ngopeni” Al Quran bisa mendirikan Ponpes di sekitar Tebuireng.
Bagi alumni Tebuireng, tentu sangat paham bahwa bukan hal mudah atau sangat berat dan hanya orang yang mempuyai kekhususan yang bisa mendirikan pondok di sekitar Tebuireng. Apalagi pondok itu bisa bertahan hidup dan berkembang pesat.
Karomah Mbah Mun itu pula yang membuat saya ketika menghadapi urusan yang rumit, ruwet atau “mentok” atau ada hajat penting, disamping kepada orang tua, saya juga meminta Mbah Mun untuk mendoakan.
Tidak hanya saya, keluarga, teman bahkan beberapa pejabat dan calon pejabat juga minta doa. Dengan senang hati, beliau selalu doakan.
Beliau juga humoris seperti umumnya kiai NU. Beliau termasuk yang rajin silaturahim menjalin persaudaraan, tidak hanya dengan saudara keluarga, tapi juga dengan wali santri dan teman-teman alumni.
Beliau juga peduli wong cilik. Ketika sowan lebaran kemarin, kebetulan sudah pandemi covid, saya melihat di depan pondoknya banyak pedagang keliling atau kaki lima yang berjualan. Lalu saya bertannya, “Kok boleh berjualan didepan pondok? Apa tidak bahaya untuk santri ini pandemi mbah?”
Mbah Mun menjawab dengan ringan “Mereka itu biasanya jualan di pondok Tebuireng, makam Gus Dur, sekarang sepi tidak boleh jualan. Kalau mereka dimana-mana tidak jualan, mau makan apa keluarganya. Biar disini jualan nanti santri Maarij biar beli,” jawabnya. Tentu kebolehan itu dengan memperhatikan protokol kesehatan.
Jawaban diatas, bagi saya sangat mengagetkan. Beliau bukan pejabat yang digaji negara, tapi sangat peduli ikut memikirkan isi perut wong cilik dan dapur pedagang kaki lima agar tetap mengepul.
Mbah Mun, umurmu memang pendek cuma 48 tahun, tapi yakinlah amal jariyah, jejak kebaikan dan kesan positif tentang pajenengan (anda), saya yakin terkenang sepanjang masa di banyak sanubari santri, keluarga dan umat yang mengenalmu. Setiap jiwa pasti akan meninggalkan dunia fana ini. Selamat jalan Mbah Mun, surga menantimu. Amin
***Alumni PP Tebuireng yang juga Wakil Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Madiun, kelas IB.
Dr. Ahmad Zaenal Fanani (kanan), KH. Munawar Hidayat (alm), kiri.