Pernyataan tersebut disampaikan oleh Gubernur Aceh, Zaini Adullah, dalam sambutan singkatnya saat meresmikan pengoperasian Harbour Mobile Crane atau HMC dan penyambutan kapal petikemas perdana, yang dipusatkan di Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya, Jum’at -5-8-2016.
Untuk diketahui bersama, sejak kemarin, kapal peti kemas milik PT Pelayaran Tempuran Emas Tbk, telah sandar di Pelabuhan Malahayati.Beberapa hari kedepan, kapal peti kemas milik PT Kanaka Lines juga akan sandar.
Bersama 24 pelabuhan lainnya, Pelabuhan Malahayati telah ditetapkan sebagai bagian dari program tol laut yang digagas oleh Presiden RI, Ir Joko Widodo. Dengan dibukanya pelayaran peti kemas hari ini, maka Aceh telah terkoneksi dengan jaringan tol laut, yaitu mulai dari Pelauhan Malahayati, Aceh hingga ke Pelabuhan Sorong, di Provinsi Papua Barat.
Gubernur mengungkapkan, masyarakat Aceh telah lama menginginkan hadirnya pelayaran peti kemas yang menghubungkan Aceh dengan kota-kota besar di Indonesia. Pelayaran peti kemas menjadi harapan, sebab memiliki kapasitas angkut lebih besar ketimbang angkutan darat yang selama ini menjadi andalan untuk membawa berbagai produk dari dan ke luar Aceh.
“Kondisi berdampak pada tingginya harga barang dan jasa serta menurunnya aktivitas ekonomi masyarakat karena pasar kian sulit terjangkau. Oleh karena itu, selain sejalan dengan program Tol Laut yang sedang dikembangkan pemerintah, pengembangan transportasi laut adalah solusi terbaik untuk mengatasi masalah angkutan barang,” sambung Gubernur.
Zaini menambahkan, sebagai daerah yang memiliki kawasan perairan laut yang sangat luas,Aceh berpeluang besar mengembangkan program tol laut ini. Bahkan, Aceh berada pada posisi sangat strategis, yatu dalam jalur pelayaran internasional.
“Seharusnya kita dapat berperan karena Aceh merupakan pintu gerbang Indonesia Wilayah Barat.Jangan hanya jadi penonton, kita harus mengambil peran, apalagi setelah peresmian HMC ini dan dimulainya pelayaran peti kemas. Mari kita beraksi dan jangan hanya menjadi penonton,” kata Zaini.
Gubernur Aceh juga optimis dan meyakini, dengan dimulainya pelayaran peti kemas secara reguler, maka konsep pengembangan pelabuhan peti kemas yang dirancang akan berjalan dengan baik. Sehingga dapat berimbas langsung bagi pengembangan sektor ekonomi masyarakat Aceh.
”Kehadiran pelayaran peti kemas dari Aceh ke Jakarta pulang-pergi akan menjadi penggerak utama untuk membangkitkan sektor-sektor ekonomi rakyat. Oleh karena itu, saya menghimbau agar peluang ini dimanfaatkan oleh semua pihak agar keberadaan Pelabuhan Malahayati sebagai pelabuhan penghubung di wilayah Indonesia dapat kita optimalkan,” tambah Zaini.
Zaini menambahkan, infrastruktur dan fasilitas di Pelabuhan Malahayati akan terus ditingkatkan. Mengingat lebih murahnya biaya operasional angkutan via laut.Untuk itu, Pemerintah Aceh siap mendukung langkah PT Pelindo I,untuk meningkatkan potensi dan keberadaan Pelabuhan Malahayati.
Gubernur juga berharap agar PT Pelindo I, dapat mendukung dan mengembangkan rencana Pemerintah Aceh untuk membangun Pelabuhan Curah cair di Kuala Langsa dan pantai barat selatan. Sebagaimana diketahui, di wilayah-wilayah tersebut merupakan daerah yang memproduksi minyak kelapa sawit yang paling besar di Aceh.
“Demikian pula dengan pengembangan pelabuhan Calang, Aceh Jaya. Ini perlu mendapat dukungan agar jalur distribusi logistik ke pantai Barat Selatan dapat dipersingkat,” pungkas Gubernur Aceh.
Sebelumnya, Alfred Natsir, selaku Komisaris PT Tempuran Emas Tbk, dalam sambutan singkatnya menjelaskan, bahwa angkutan laut akan memangkas biaya operasional. Menurut Alfred, hal ini akan meningkatkan efisiensi dan daya saing ekonomi.
“Ada empat alternatif angkutan peti kemas dari Jakarta menuju Aceh. Pertama, angkutan darat dengan truck, dari Jakarta-Banda Aceh via Merak-Bakauheni, memakan waktu 4-5 hari, biaya angkut Rp 17,5 juta. Kedua, pelayaran dari Jakarta-Belawan, selanjutnya dari Belawan menuju Aceh via jalur darat dengan truck, membutuhkan waktu 4-5 hari dan biaya angkut Rp13,5 juta.”
Alternatif ketiga, pelayaran dari Jakarta langsung ke Malahayati, hanya membutuhkan biaya angkut sebesar Rp7,5 juta dan memakan waktu sekitar 4 hari. Terakhir, pelayaran dari Jakarta ke Belawan, selanjutnya, di Belawan ganti kapal menuju Malahayati juga membutuhkan biaya angkut sebesar Rp7,5 juta dengan waktuh tempuh selama 4-5 hari.
“Ini berarti dengan pelayaran angkutan petikemas ke Malahayati dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing ekonomi masyarakat. Selain itu, efisiensi sistem angkutan laut diharapkan akan mengundang investor baru ke Aceh,” kata Alfred.
Selain efisiensi, sambung Alfred, pelayaran angkutan petikemas juga menghasilkan pengheatan penggunaan bahan bakar minyak. Alfred memberikan perbandingan, angkutan langsung petikemas 500 box/teus dengan 500 truk via Merak-Bakauheni dari Jakarta banda Aceh membutuhkan BBM sebanyak 360 ton.
“Sedangkan angkutan petikemas dengan jumlah 500 box/teus dengan satu kapal, dari Jakarta ke Malahayati hanya membutuhkan 60 ton BBM. Dalam satu trayek kita akan menghemat konsumsi BBM sebesar 300 ton, bisa dihitung berapa besar penghematan BBM yang bisa kita tekan dalam setahun. Ini merupakan penghematan nasional.
Alfred juga mengungkapkan, bahwa Aceh memiliki potensi besar untuk mengembangkan pelabuhan bertaraf internasional, karena Aceh berada di Selat malaka, yang merupakan jalur tersibuk di dunia.
“Setiap tahunnya, petikemas yang singgah di pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di Selat malaka mencapai 65 juta box/teus, dengan perincian, 35 juta di Pelabuhan Singapura, 16 juta di Port Klang, 11,5 juta di Tanjug Pelepas, 1 juta di Penang Port, 1 juta di Belawan dan 0’5 juta di Batam,” lanjut Alfred,’’(**)