SUMENEP, beritalima.com| Salt is super power over water, bukanlah ungkapan yang berlebihan. Garam yang selalu tersedia di atas meja makan kita adalah salah satu kunci pembuka sejarah planet dan kosmos. Maka sepanjang sejarah peradaban manusia takkan terlepas dari garam.
Garam merupakan komoditas strategis dunia. Sekitar abad 12, pedagang dari kerajaan Mali di Afrika menghargai garam sangat tinggi, disamakan dengan harga emas. Dalam perjalanan waktu, garam telah memainkan peran penting dalam menentukan kekuatan dan lokasi kota besar di dunia, seperti Liverpool di Inggris dan Munich di Jerman.
Demikian disampaikan A. Hamzah Fansuri Bashar selaku Ketua sekaligus penggagas Kegiatan Festival Garam – Sumenep Salt Festival 2019 yang akan digelar pada 16-17 Agustus 2019 di Kota Tua Kalianget dan Desa Karanganyar Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
“Begitu pula yang terjadi di Madura. Sejak pergantian abad ke-19, pemerintah kolonial membuat pusat indstri garam Madura, di Kalianget, Sumenep. Seolah-olah tak akan pernah meninggalkan negeri jajahannya, mereka membangun semua fasilitas industri dan sarana penunjang lainnya untuk memicu industri garam Madura,” kata Hamzah Fansuri dalam pernyataan resmi yang diterima, Kamis (15/8/2019).
Ia menerangkan, di tahun 1901, sebuah perusahaan swasta membuka membuka jalur kereta api yang terbentang dari Kalianget, pusat kawasan penghasil garam, ke Kamal. Pada 1912 perusahaan ini membuka firma pelayarannya sendiri. Sepanjang dekade awal abad ke-20, Bandar Kalianget menjadi kota besar yang ramai. Pabrik-pabrik, kantor-kantor, rumah-rumah untuk para pegawai Eropa dibangun.
“Dari Bandar baru ini, kapal-kapal bermuatan garam berlayar ke seantero Nusantara. Kalianget kini menjadi simbol kejayaan industri garam Madura,” paparnya.
Kalianget, lanjut Alumnus Unesa ini, merupakan muara dari industri garam di Madura.
Garam-garam itu dipasok dari berbagai daerah yang ada di Madura, yaitu Sumenep, Pamekasan dan Sampang. Di Sumenep, garam dipasok dari para petani yang ada di sekitaran Kecamatan Kalianget yaitu Desa Pinggirpapas, Karanganyar dan Gresikputih.
Memasuki wilayah ini, sejauh mata memandang adalah hamparan tambak garam. Lahan-lahan ini seolah ingin menunjukkan betapa kuatnya ketahan garam di Madura. Daerah-daerah inilah yang menjadi hilir dari garam-garam Sumenep, yang terus mengalir menyuplai industri garam di Kalianget.
“Petani-petani garam di wilayah ini mengolah garam secara tradisional. Mereka mewarisi keterampilan itu dari leluhurnya. Tokoh Syekh Anggosuto adalah sosok yang diyakini sebagai leluhur mereka yang berkaitan erat dengan pengolahan garam di Madura, khususnya di wilayah Desa Pinggirpapas dan sekitarnya.
Mereka percaya bahwa tradisi pengolahan garam telah diajarkan dan diwariskan secara turun-temurun. Bukan saja menjadi kultus garam, Syekh Anggosuto juga diyakini sebagai orang yang telah berhasil mengislamkan masyarakat Desa Pinggirpapas dan sekitarnya. Petilasannya terletak di Desa Kebundadap. Di sinilah hulu dari kejayaan garam Madura, khususnya Sumenep, yang membangun kota tua Kalianget dengan megah,” urai Lulusan Pascasarja UGM itu.
Hal ini, sambungnya, menunjukkan bahwa garam bagi masyarakat Madura, khususnya di Sumenep, tidak sekadar bisa dibaca dengan perspektif sosio-ekonomi semata. Garam mesti dibaca dengan perspektif spiritual dan sosio-kultural pula. Dalam perspektif ini, maka menjadi petani garam bukan motif ekonomi semata, tetapi juga berarti turut menjaga warisan leluhur. Pemangku kebijakan mesti memahami bahwa industri garam tidak bisa diperlakukan dengan perspektif ekonomi saja, tetapi juga mesti disikapi dengan pendekatan sosio-kultural.
“Festival Garam digagas dan dirancang sebagai sebuah upaya membangun wacana dan isu garam Madura, sehingga romantisme kejayaan kota tua Kalianget dan Pulau Garam kembali terangkat ke permukaan. Dalam kurun waktu yang panjang, secara berangsur, diharapkan dapat membangun iklim industri garam yang dinamis. Festival ini mengusung konsep berbasis kemasyarakatan, dengan melibatkan peran aktif para pelaku insdustri garam,” jelas Hamzah Fansuri.
Ditambahkannya, kegiatan akan dimulai dengan parade onthel di wilayah Kecamatan Kalianget memasuki area pameran foto dan industri Kalianget Tempo Doeloe. Dilanjutkan dengan Pagelaran Seni dari masyarakat Kalianget dan Orkes keroncong, juga sarasehan Garam dalam Sejarah.
Pada hari kedua, perjalanan dari kota tua Kalianget menuju Desa Karanganyar, akan dikemas dengan acara Garam dalam Lensa. Sebuah kegiatan fotografi dan wisata visual untuk menunjukkan potensi kota tua Kalianget dan kekuatan industri garam di Sumenep.
Di lokasi kedua yaitu Desa Karanganyar, akan ada Parade Garam dimana ibu-ibu akan berlomba dalam menghias jajanan tradisional dan bapak-bapak akan berlomba mengangkut garam. Penutupan akan disemarakkan dengan arak-arakan dan kesenian rakyat.
“Semoga Festival Garam dapat menjadi isu dan wacana yang baik di tingkat lokal maupun nasional. Indonesia tanpa Madura, ibarat sayur tanpa garam. Begitu pula, Festival Garam tanpa kehadiran kalian,” harap Hamzah Fansuri.