BANDA ACEH,Beritalima.com- Jarak pilkada masih belum terlihat oleh mata, biarpun waktu berpahat batu, masih ada akhir senja hingga pagi belum terjadi, tapi mereka sudah tidak sabar diri hingga ada yang mabuk biarpun hanya meneguk air tebu. Ada yang bilang ait tebu mulai hambar seperti rasa asap berkira aroma tak lagi biasa, padahal lupa tadi diseduh dalam gelas tempat abu pembunuh yang sempurna. Stop merokok wahai politisi bangsa.
Pilkada 2017 adalah penentuan jadi, hingga politisi gemetar sambil berdiri, air liur jatuh menahan mau, terbayang rumah putih anggun depan Blang Padang dan sebuah mobil berseri BL 1 A dengan para pengawal. Dulu malah ada calon yang sudah masuk pekarangan rumah putih bersiap menduduki, berkira hasrat sudah jadi nyata, akibat riya bercampur nafsu, masih untung kala kalah telak tidak sampai jatuh tersungkur. Kala itu ada yang menangis bukan karena sakit tapi sedih harta dikuras seperti khanduri masal, dan yang bikin ngilu ketika penghitungan suara, hanya ada suara dari para saksi.
Bunda, kukirim kata melalui sejawat di Kutaraja, aku orang kampung ber-warga sebelah gunung, tinggal di Lampoh Saban. Bunda tahu dimana Lampoh Saban? Ku yakin bunda tidak pernah dengar apalagi tiba, kumaklumi karena Bunda adalah wali di Banda. Jangankan bunda, bupatiku pun tidak tahu.
Bunda kadang kami rindu sosokmu ada disini, anggun dalam hijab dan santun dalam kata. Bunda kudengar gerakanmu membuat orang sujud dipagi buta seramai orang kampungku shalat jumat. Kami harus bersabar memilikimu srikandi pemberani kota madani, seperti kata wali negeri Langsa ‘untuk apa lelaki berkumis kalau tidak berani’. Upss bunda, bupati kami berkumis juga.
Bunda, maju terus pantang mundur, kita buat baik tentu ada rintangan apalagi berdakwah. Bunda kusuka darimu, kau sulap kota dalam bangunan dan jembatan melayang, tapi akhlak dan moral warga tiada henti kau juangkan. Engkau sadar bunda, kisah tragis Andalusia di Spanyol. Silap raja mengejar fisik, lupa jiwa makin kering hingga Ratu Isabela dengan leluasa memasuki. Ah bunda, kaum ratu Isabela tidak pernah berhenti memusuhi kita, termasuk disini.
Bunda, satu hal buatku bangga. Engkau benar-benar walikota, kalau ibarat bus engkau supir antar kota antar provinsi, tidak peduli orang daerah mana dan naik dimana tetap kau turunkan ditujuan yang sama, beda dengan beberapa bupati, ibarat supir labi-labi antar desa dalam kecamatan. Duhh jadi bupati kok seperti wali kecamatan.
Bunda, andai bisa kupinjam, maukah engkau jadi bupatiku, kami lelah yang berkumis yang cuma jual janji-janji kosong sebatang rokok, lupa kami hidup makin sekarat. Sibuk dengan bendera, padahal kami butuh sepatu dan baju baru. Mereka bergaya dengan dunia, padahal kami rindu sentuhan akhirat.
Bunda, kudoakan dikau jaya dan tegar, jangan goyang biarkan ombak makin besar, ingat bunda pelaut ulung selalu lahir dari gelombang laut yang besar, Kalau bukanmu bunda, saat ini, siapalagi perempuan Aceh perkasa yang kami punya,’’ (**)