SLEMAN, beritalima.com | Di pinggiran Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, obyek wisata ini berada. Kampung Flory namanya.
Masuk tempat wisata di pinggir Kali Bedog yang cukup jernih airnya, disuport nuansa pedesaan yang alami, hati dan pikiran terasa sejuk dibuatnya.
Rasa pegal habis jalan-jalan dari Malioboro serasa hilang di area Kampung Flory yang terletak di Desa Wisata Tlogoadi, Mlati, Sleman ini.
Kampung asri seluas 3 hektar yang resmi dibuka sebagai tempat wisata sejak 2016 ini dari hari ke hari kian banyak dikunjungi wisatawan.
Puluhan insan media dari Jawa Timur, termasuk beritalima.com, mengunjungi desa wisata ini atas inisiasi Bank Indonesia Kantor Perwakilan (KPw) Jawa Timur.
Difi A.Djohansyah, Kepala KPw BI Jatim, mengaku kagum atas semangat para pemuda desa yang menjadikan desa wisata ini sebagai ajang membangun perekonomian.
Di lokasi ini ada sarana outbond, wahana bermain, kolam terapi ikan, gazebo, kedai kopi, track sepeda, sentra kuliner atau mainan air langsung di Kali Bedog.
Sudihartono, Pendiri Kampung Flory, menuturkan, tempat wisata ini memiliki dua pengelolaan, Taruna Tani dan Desa Wisata Flory.
Zona Taruna Tani merupakan area pertanian di Kampung Flory yang di dalamnya terdapat usaha tanaman hias, tanaman buah, dan sentra kuliner bernama Iwak Kalen.
Sedangkan zona Dewi Flory merupakan kawasan desa wisata yang menyajikan jasa penginapan (homestay), area outbond, dan sentra kuliner Bali Ndeso serta kedai kopi bernama Kopi Keceh.
Kampung Flory dibuat atas inisiatif kelompok pemuda desa dalam wadah bernama Taruna Tani tahun 2015, yang fokusnya pada kegiatan budidaya tanaman hias dan hortikultura.
Dalam perkembangannya muncul ide untuk menularkan ilmu budidaya itu dalam bentuk wadah baru yang berfokus pada edukasi bernama Dewi atau Desa Wisata Flory, sehingga lahirlah Kampung Flory yang diikuti dengan kemunculan sentra-sentra kuliner.
Dalam mengembangkan tempat wisata ini, Sudihartono berusaha melibatkan warga desa untuk ikut mengelola Kampung Flory. Usaha ini sengaja dibangun untuk turut meningkatkan perekonomian warga sekitar.
Sudihartono mengatakan, Kampung Flory dikelola oleh 150 Kepala Keluarga desa setempat, dengan omzet Rp 1 miliar per bulan, dan tahun ini ditargetkan naik menjadi Rp 1,2 miliar per bulan.
Salah satu bentuk pemberdayaan desa diwujudkan di Puri Mataram. Kendati tergabung ke dalam manajemen Kampung Flory, Puri Mataram didirikan sebagai Badan Usaha Milik Desa.
Dengan pengelolaan yang profesional, Sudihartono berharap Puri Mataram bisa ikut membantu meningkatkan kehidupan warga desa.
Namun, meski mulai mapan membawa Kampung Flory menjadi wisata alternatif di Yogyakarta, Sudihartono mengaku masih belum puas dan tetap berharap sentuhan pemerintah daerah serta swasta kempurnaan desa wisata ini.
“Kami ingin membawa Kampung Flory ini menjadi sarana penggerak perekonomian warga sekitar, kalau bisa jadi percontohan nasional, sehingga semua bisa ikut merasakan peningkatan kesejahteraan dari destinasi wisata ini,” ujar Sudihartono, Jumat (23/8/2019).
Menurut Difi A.Djohansyah, model pengembangan desa seperti Kampung Flory ini sebenarnya sudah ada di Jawa Timur, di Brenjonk, Mojokerto. Namun, lanjut Kepala KPw BI Jatim ini, sharing pengalaman tentu akan memberi ilmu baru bagi masyrakat desa yang ingin menjadikan wilayahnya sebagai penggerak perekonomian melalui wisata.
Difi mengatakan, para pemuda sekitar Kampung Flory memiliki kesadaran tinggi membangun sektor perekonomian dari potensi desanya. Mereka berkeyakinan bahwa untuk mencari uang tidak hanya dengan cara menjual produk pertanian, namun juga bisa lewat wisata pertanian.
“Menjual view pemandangan itu duitnya lebih banyak daripada jual produk pertanian. Karena, kebutuhan masyarakat untuk bisa outbond saat ini makin besar, anggarannya makin banyak. Ini yang ditangkap disini,” komen Difi.
“Oleh karena itu, BI masuk dan buat sinergi dengan mereka. Jadi intinya, kalau BI masuk itu bukan dari nol, tapi bibitnya sudah ada dan tinggal kita sinergikan,” ujar Difi. (Ganefo)