Kasus ini berawal dari Surat Edaran PT Prosam Plano No.124/S.Klr.Ktr/04/VI/11/DWS tertanggal 4 Juni 2011 perihal Pemberitahuan Proyek Pergantian Instalasi Listrik Tahap I, II, III dan V, Lantai 1 dan 2 Pasar Atum.
Surat yang ditandatangani R Woelyadi Simson, Direktur PT Prosam Plano itu, menurut 9 pemilik stand yang lapor ke polisi, sangat sepihak dan tidak sesuai perjanjian Akte Jual Beli antara pengelola Pasar Atum dengan pemilik stand.
Menurut mereka, mustinya mereka tidak dibebani biaya itu lagi, karena mereka tiap bulan telah dikenai biaya penggantian instalasi listrik oleh PT Prosam Plano. Dan lagi, pergantian intalasi listrik itu berada di luar stand mereka.
Biaya yang dibayarkan pemilik stand yang disebut service charge, sesuai Akte Jual Beli, adalah untuk penjagaan keamanan kompleks pusat perbelanjaan, pembersihan kompleks, pemeliharaan aliran listrik, tilpon, dan air minum ledeng serta saluran air.
Justru PT Prosam Plano yang seharusnya mengganti biaya instalasi kabel listrik di luar stand, sesuai bunyi pasal-pasal dalam Akte Notaris Jual Beli Tentang Perjanjian Mengenai Pemberian Hak Memakai Ruangan (Stand) Nomor 121 tanggal 23 Februari 1991 di Notaris Untung Darnosoewirjo SH.
”Setiap bulan kami para pemilik stand bayar service charge selama kami berdagang disini. Karena itu, mustinya sudah menjadi kewajiban pihak pengelola melakukan maintenance terhadap instalasi kabel listrik dengan yang baru tanpa membebani kami lagi,” kata Vincent Kenneth bersama 8 pemilik stand lainnya, Jumat (6/5/2016).
“Lha ini kok pedagang masih dimintai biaya. Untuk apa selama ini uang yang dikutip? Patut dipertanyakan pula, kemana pajak PPn service charge yang ditarik pengelola selama ini? Apakah dibayarkan?” tambahnya.
Mereka tidak habis pikir kenapa harus pemilik stand yang memperoleh beban mengganti instalasi kabel listrik itu, padahal selama puluhan tahun ini pihak PT Prosam Plano menerima service charge yang didalamnya termasuk pemeliharaan jaringan instalasi listrik.
Lebih dari itu, yang membuat mereka kaget serasa tercekik, adalah perhitungan biaya penggantian instalasi listrik yang dibebankan pada mereka nilainya sangat tidak wajar. Mereka harus bayar Rp 1,6 juta per meter persegi kali luas stand mereka masing-masing, bukan kali panjang stand.
Dan yang membuat mereka sesak nafas, karena bila tidak segera membayar biaya terhitung mulai 15 Juni 2011, beban mereka ditambah denda dan bunga yang terus berjalan.
Selain dianggap sepihak dan sangat tidak wajar, surat atau peraturan pengelola Pasar Atum tersebut juga dinilai janggal. Dalam surat itu disebutkan keputusan tersebut berdasarkan kesepakatan bersama PT Prosam Plano dengan Pengurus HIPPA (Himpunan Pedagang Pasar Atum) dan Ketua Paguyuban masyarakat Tionghoa Surabaya.
Padahal, para pemilik stand tidak pernah merasa diwakili oleh pengurus HIPPA, dan menganggap sangat tidak relevan bila hal ini melibatkan organisasi Tionghoa. Mereka menyatakan tidak pernah menyerahkan hak untuk diwakili oleh paguyuban Tionghoa.
Menurut mereka, tidak hanya itu kesewenang-wenangan pengelola Pasar Atum, masih banyak yang lain, di antaranya ancaman bayar denda bagi pemilik stand yang terlambat buka apalagi tidak buka stand.
Bahkan, seorang di antara mereka juga menyatakan kalau pihak pengelola Pasar Atum sangat tidak manusiawi, karena juga melarang mereka tutup walau sedang kesusahan atau keluarganya ada yang meninggal.
Mereka menuduh apa yang telah dijalankan PT Prosam Plano itu merupakan tindak pidana pemerasan. Karena itu, mereka melaporkan kasus ini ke Polda Jatim, 22 April 2015 lalu, dan mendapat bukti laporan Nomor LPB/661/IV/2015/UM/SPKT.
Namun, “Hingga sekarang laporan kami ke pihak kepolisian belum ada kejelasan, sehingga kami merasa kasus ini seakan dipetieskan,” ungkap Vincent Kenneth, Jumat (6/5/2016).
“Kami merasa seperti itu, karena sejak kami laporkan setahun lalu kasus ini tidak ada kemajuan sama sekali,” tandas Vincent dengan diamini Husein dan pelapor lain, Soenarwan, Bambang Soepriyanto, Lauw Tien Tjhay, Hadi Prayogo, Ida Herawati, dan Ardiansyah.
Menurut mereka, kasus yang mereka laporkan ini oleh Polda Jatim telah dilimpahkan ke Polrestabes Surabaya, dan oleh Polrestabes Surabaya juga terus dilimpahkan ke Polres Pelabuhan Tanjung Perak.
Karena itu, sekitar sepekan lalu, Husein menanyakan hal itu ke Penyidik Polres Pelabuhan Tanjung Perak. Menurutnya, petugas penyidik berdalih, penanganan kasus ini perlu saksi ahli, dan itu sedang diupayakan.
Manajemen PT Prosam Plano, menolak ditemui ditemui wartawan. Saat beritalima.com datang di kantornya, di Lantai 6 Pasar Atum, Senin (9/5/2016) siang, security bernama Winda menyatakan pimpinannya sedang berada di luar kantor.
Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak, dan Kasat Reskrim Polres Tanjung Perak, juga gagal ditemui. Menurut seorang petugas Polres setempat, Kapolres maupun Kasatreskrim sedang sibuk persiapan sertijab Kapolres. (Ganefo)