Semua Bisa Jadi Korban Kekerasan Seksual

  • Whatsapp

SURABAYA, Beritalima.com |
Baru-baru ini, kekerasan seksual menimpa pria berinisial MS yang diketahui merupakan salah satu pegawai Kantor KPI Pusat. Dalam tangkapan layar yang sempat viral di twitter pada Rabu (1/9/2021) tertulis bahwa MS dirundung dan dilecehkan di kantor KPI Pusat, bahkan ia menuliskan bahwa dirinya menderita post traumatic stress disorder akibat alat kelaminnya dicoret spidol oleh para pelaku pada 2015 silam.

Pakar Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Universitas Airlangga, Margaretha, S.Psi., P.G.Dip.Psych., M.Sc., mengutarakan korban kekerasan seksual, baik di Indonesia ataupun seluruh dunia didominasi oleh perempuan dewasa, perempuan usia anak-anak, anak laki-laki, dan laki-laki dewasa.

Jadi sebenarnya semua bisa menjadi korban (red: kekerasan seksual), tandas Margaretha, Rabu (8/9/2021).

Margaretha menambahkan korban kekerasan seksual tidak hanya didominasi oleh kalangan perempuan dewasa dan anak-anak saja. Tetapi juga dari kalangan laki-laki dewasa dan anak laki-laki bisa menjadi korban kekerasan seksual.

“Perbedaannya kita lebih sering nggak tau korban laki-laki. Hal ini dikarenakan korban laki-laki dibanding korban perempuan jauh lebih menutupi persoalan kekerasan seksual atau pelecehan seksual yang dialami dibanding perempuan. Walaupun perempuan sendiri yang melapor paling cuma seujung gunung es,” terang Master Riset di Universiteit Utrect, Belanda itu.

Korban kekerasan seksual baik laki-laki ataupun perempuan sama-sama merasa malu akibat kekerasan seksual itu, takut distigma dan didiskriminasi karena pelecehan itu. Namun, korban laki-laki lebih parah lagi terutama di masyarakat patriarkis, seperti di Indonesia.

“Mereka juga dibelenggu oleh cara pandang bahwa laki-laki harusnya itu kuat, jadi nggak mungkin kena kekerasan seksual atau jadi objek pelecehan seksual, kayak bukan laki-laki,” sambung dosen psikologi UNAIR itu.

Margaretha mengatakan korban (laki-laki), selain kesulitan menerima mengapa mereka menjadi korban pelecehan seksual. Mereka juga lebih sulit lagi memahami kenapa bisa menjadi korban karena seharusnya mereka bisa mempertahankan diri.

“Ditambah lagi masyarakat juga memiliki stigma dan label untuk melihat laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual. Mereka kadang-kadang bukannya bantu malah memperburuk laki-laki yang jadi korban kekerasan seksual nggak jantan, berarti ini bukan laki,” lanjutnya.

Oleh karena itu, para korban (laki-laki) kekerasan seksual lebih banyak menutupi persoalannya, kecuali sudah terlalu parah sehingga ia tidak mampu mengelolanya dan baru ia mengakuinya.

“Jadi kalau laporan kasus kekerasan seksual pada perempuan cuma seujung gunung es, maka laporan kasus kekerasan seksual pada laki-laki malah lebih kecil lagi karena sangat difilter oleh si korbannya,” ujar Margaretha.

Perihal itu, Margaretha memberikan penjelasan mengapa para korban kekerasan seksual (laki-laki) sangat hati-hati dalam menyampaikan informasinya.

“Karena laki-laki mampu memposisikan dirinya saat tertekan jadi kapan dia bisa melapor atau kapan dia bisa meminta bantuan,” pungkasnya (yul).

(CAPTION FOTO B) Pakar Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Universitas Airlangga, Margaretha, S.Psi., P.G.Dip.Psych., M.Sc.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait