Jakarta, beritalima.com| – Senator sekaligus Angota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) Daerah Pemilihan Jawa Barat (Jabar) Agita Nurfianti menyatakan, permasalahan rehabilitasi korban perlu strategi putus rantai untuk pergaulan yang sifatnya negatif. Agita menyampaikan hal tersebut dalam Rapat Kerja Komite III DPD RI dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Balai Besar Rehabilitasi Narkotika BNN di Jakarta (10/9).
Rapat kerja ini merupakan bagian dari inventarisasi materi pengawasan Komite III DPD RI atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sekaligus upaya mendorong penguatan layanan rehabilitasi medis dan sosial sebagai program prioritas nasional dalam mendukung visi Indonesia Emas 2045.
Agita mengungkapkan, meskipun sudah ada berbagai upaya rehabilitasi, banyak kasus menunjukkan bahwa anak yang telah ditarik dari lingkungannya untuk menjalani pemulihan justru kembali lagi ke lingkungan lama yang mendorongnya pada penyalahgunaan narkoba.
“Rantai pergaulan negatif anak korban narkoba harus diputus. Mereka buruh lingkungan baru yang aman, nyaman Dan benar-benar mendukung pemilihan sampai mereka bisa kembali ke masyarakat,” ujar Agita.
Menurutnya, perlu ada strategi komprehensif agar korban, khususnya anak-anak, dapat merasa aman dan nyaman di lingkungan baru. Hal itu tidak hanya menyangkut aspek medis, tetapi juga dukungan sosial, psikologis, serta keterlibatan keluarga dan masyarakat.
“Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana membuat anak-anak ini terbuka, mau bercerita, dan mendapat lingkungan yang benar-benar mendukung. Jangan sampai mereka hanya dipulihkan secara sementara, tetapi tidak ada jaminan keberlanjutan setelahnya,” bahasnya.
Agita menekankan, penyalahgunaan narkotika di kalangan generasi muda harus ditangani secara serius melalui rehabilitasi yang lebih terintegrasi dengan pendidikan, pendampingan sosial, hingga program reintegrasi. Ia mendorong BNN memastikan adanya kolaborasi dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, aparat hukum, serta pemerintah daerah agar layanan rehabilitasi benar-benar efektif.
Sedangkan Kepala BNN Suyudi Ario Seto mengakui, pihaknya menemui berbagai kendala dalam penyelengaraan rehabilitasi. Kendala tersebut meliputi anggaran layanan rehabilitasi masih kurang optimal; ketersediaan SDM (kuantitas dan kualitas) yang belum terpenuhi; serta Pemerintah Daerah belum seluruhnya mengalokasikan APBD untuk pembiayaan layanan rehabilitasi.
Kendala lainnya adalah terkait BPJS Kesehatan yang belum menanggung pembiayaan layanan rehabilitasi; penerapan standar layanan rehabilitasi belum dipedomani secara nasional; serta belum ada keseragaman pola tarif, terutama pada layanan rehabilitasi yang dilaksanakan oleh komponen masyarakat.
Meski ada kendala, pihaknya telah melakukan beberapa inovasi rehabilitasi, seperti Mobile Rehabilitasi – Rehabilitasi Keliling (Re-Link) yang tersebar di 10 provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, JawaTimur, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan. Inovasi lainnya, Tele Rehabilitasi Narkoba (Tren) tersebar di 6 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Rehabilitasi BNN.
Jurnalis: rendy/abri






