Beritalima.com ( Warga Gampong Lamkuta Blangmee dan Gampong Lamgeurehe Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, hampir terlibat bentrokan terkait sengketa tapal batas wilayah pada Minggu dini hari (8/9). Konflik tapal batas antara dua desa bertetangga ini sudah berlangsung sejak pasca tsunami.
Warga Lamkuta Blangmee mengklaim bahwa tapal batas wilayah mereka terletak di Jembatan Krueng Lam Ara, yang dianggap sebagai batas alam. Mereka merujuk pada peta kecamatan Lhoong yang dikeluarkan pada tahun 1973 berdasarkan pemetaan tahun 1971.
Tapal batas sekarang. berada di depan bekas gedung SMAN 1 Lhoong, yang berjarak sekitar 200 meter dari Jembatan Krueng Lam Ara. Warga Lamkuta Blangmee menyatakan bahwa tanah di sekitar area sengketa merupakan milik warga mereka.
Ketegangan memuncak ketika ratusan warga Lamkuta Blangmee berkumpul di Jembatan Krueng Lam Ara untuk membangun tugu tapal batas. Namun, aksi ini ditolak oleh warga Lamgeureheu sehingga hampir terjadi bentrokan.
Situasi cepat dikendalikan oleh pihak kepolisian dari Polsek Lhoong dengan bantuan puluhan personel Polres Aceh Besar yang segera melerai kedua belah pihak. Hingga pukul 08.00 WIB, puluhan personel kepolisian tetap bersiaga di sekitar lokasi untuk mengantisipasi kemungkinan konflik lanjutan, pihak kepolisian bersiaga di lokasi hingga jam 14.00 wib, setelah warga lamkuta Blangmee membubarkan diri dengan tertib,
” Saat itu juga Pertemuan diadakan antara pihak kepolisian, perwakilan Muspika, serta tokoh masyarakat dari kedua gampong. Pihak Lamkuta Blangmee diminta untuk menunda pembangunan tugu tapal batas hingga ada keputusan hukum dari Pemerintah Kabupaten Aceh Besar.
Sekretaris Camat Lhoong, Junaidi, SE, yang hadir dalam pertemuan tersebut, berjanji akan segera menggelar musyawarah penyelesaian sengketa ini dalam waktu dekat. Kasat Intel Polres Aceh Besar juga berjanji akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas.
Beberapa tokoh masyarakat Blangmee turut hadir dalam pertemuan, di antaranya Drs. Bukhari, MM, mantan Asisten III Setda Provinsi Aceh, serta tokoh lainnya. Mereka meminta agar muspika segera menyelesaikan permasalahan ini secara adil dan objektif.
Bukhari menekankan bahwa meskipun masalah tapal batas terlihat sepele, namun sangat sensitif. Ia mengingatkan bahwa penyelesaian sengketa tapal batas sering kali merujuk pada batas alam seperti sungai atau bukit yang tidak dapat diubah.
Keuchik Lamkuta Blangmee, Khusyairi, menyatakan bahwa pihaknya sepakat menunda pembangunan tugu tapal batas karena masih mempercayai muspika Lhoong untuk menyelesaikan masalah ini secara bijak.
Sementara itu, Imam Mukim Blang Mee, Irfandi SE, mengungkapkan bahwa perselisihan tapal batas tersebut muncul setelah Tsunami Aceh. Sebelum Tsunami, keadaan antara kedua desa berjalan aman tanpa adanya masalah terkait batas wilayah.
Menurut hemat saya, jika kita melihat peta yang ada, batas Desa Lamkuta Blang Mee sudah sesuai dengan yang diusulkan oleh warga Blang Mee. Lokasi yang ditandai sebagai batas tersebut memang benar adanya dan tidak bertentangan dengan data yang ada.
Namun, warga Desa Lamgerehe mengklaim bahwa batas wilayah mereka bukan di lokasi yang sama. Hal ini menimbulkan perbedaan pandangan mengenai letak sebenarnya batas desa. Konflik ini sebenarnya pernah terjadi pada tahun 2016, namun hingga saat ini masih belum ada penyelesaian yang tuntas.
Saya sebagai Imam Mukim mengimbau pihak berwenang agar segera turun tangan menyelesaikan perselisihan antara warga Desa Lamkuta Blang Mee dan Desa Lamgerehe terkait tapal batas.
Penyelesaian konflik ini penting dilakukan agar kedua belah pihak bisa kembali hidup berdampingan secara damai tanpa adanya ketegangan akibat masalah tapal batas. Masyarakat dari kedua desa perlu mendapatkan kejelasan hukum agar tidak ada lagi konflik di masa depan.”(**)