Senjata Makan Tuan

  • Whatsapp

(Menyingkap Satu Dari Sejuta Alasan Perceraian)

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)

Sebagaimana ditulis Kompas TV.com (15 Februari 2022) Indonesia memang memiliki kekayaan literasi peribahasa yang sangat kaya. Salah satunya adalah peribahasa “senjata makan tuan”. Namun, seiring kemajuan zaman penggunaan peribahasa memang semakin jarang didengar atau digunakan, dan membuat banyak orang mulai meninggalkan peribahasa. Namun beberapa media daring masih kerap menggunakan peribahasa dalam sebuah artikel untuk judul sebuah berita. Tujuan penggunaannya tentu untuk kembali mengenalkan peribahasa dan untuk menarik perhatian pembaca. Apakah anda masih sering menggunakan peribahasa tersebut atau bahkan telah melupakannya?
Kemunculan peribahasa pada mulanya biasanya digunakan untuk memberikan nasihat bijak kepada seseorang. Dengan peribahasa ini sebuah nasihat, tidak saja akan terasa enak didengar tetapi juga akan mudah dikenang sehingga substansi nasihat juga akan lebih melekat pada ingatan seseorang. Menurut KBBI peribahasa “senjata makan tuan” berarti sesuatu yg direncanakan untuk mencelakakan orang lain, tetapi berbalik mengenai diri sendiri.

Akan tetapi, apakah nasib tragis yang menimpa perempuan paruh baya berikut ada hubungannya dengan peribahasa di atas? Begini kisahnya:
Ely (bukan nama sebenarnya) telah lama merintis beberapa usaha. Beberapa usaha yang dirintis itu rupanya belum membuahkan hasil yang diharapkan. Bahasa kerennya, “belum sesuai ekspektasi”. Suaminya yang cukup ganteng rupanya juga tidak seganteng rizkinya. Akan tetapi, demi menopang ekonomi keluarga, Ely pun seperti tidak bosan berpindah dari usaha yang satu ke usaha lain. Sampai akhirnya ia menemukan usaha membuka salon yang menurutnya cocok dan pas. Tidak memerlukan waktu lama usaha yang sebagian besar berelasi kaum hawa itu telah maju pesat. Langganan yang datang tidak saja datang dari kampung setempat tetapi beberapa di antaranya berkat dukungan sosmed juga sudah meluas ke luar kampung. Suaminya pun tampaknya sangat mendukung usaha baru yang dikomandoinya itu. Dalam ke seharian dia sering terlihat aktif ‘membantu’ istrinya ‘melayani’ langganan, meskipun tidak secara langsung.

Dari sekian banyak orang langganan Ely, rupanya ada seorang yang rajin datang ke salonnya secara berkala, sebut saja Ernik (bukan nama sebenarnya) Saking seringnya Ely pun sudah menganggapnya sebagai pelanggan spesial yang karenanya harus memperolah servis spesial pula. Ely sendiri tampaknya juga sudah tahu make up dan model rambut yang dikehendaki Ernik. Dari sikapnya yang tidak pernah protes dengan hasil karyanya, menandakan bahwa Ernik si pelanggan itu juga memang puas dengan pelayanan Ely. Kedekatan hubungan pelanggan itu rupanya juga seperti telah mempunyai kedekatan khusus tidak hanya kepada Ely tetapi juga suaminya yang sesekali ikut nimbrung pembicaraaan saat Ely saling bercengkerma dengan sang pelanggan centil yang sesekli genit itu.

Dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu. Siapa pula tahu hati sang suami yang ketika Ely sibuk melayani pasien, lebih banyak mengurus logistik dalam rumah. Ketika para pelangan antri suaminya hanya terlihat sekilas dan sesekali terlibat pembicaraan kecil baik dengan istrinya atau para pelanggan. Tanpa menimbulkan kecurigaan sedikit pun istrinya, rupanya perilaku Ernik, diam-diam menyita perhatiannyasi. Seperti gayung bersambut, oknum pelanggan itu rupanya juga membalas tatapan khusus suami Ely kepadanya. Alah biasa karena biasa. Kebiasaan bertatap muka secara rahasia itu lama-lama menjadikan benih-benih cinta dalam hati. Pameo “dari mana datangnya cinta dari mata turun ke hati” pun mendapat membenanran kisah saling tatap pandang suami Ely dengan salah seorang pelangan salonnya itu. Pertemuan di lokasi yang ‘legal’ itu seperti menjadi perpaduan hati dari hari ke hari. Dan, satu hal yang penting, tak sedikitpun yang demikian menibulkan kecurigaan apalagi diketahui Ely, istrinya.

Kisah hubungan illegal di tempat legal suami dan pelanggan salon itu, pada akhirnya harus berujung tidak baik bagi Ely. Dua insan lain jenis yang sebelumnya menjalin cinta terlarang secara diam-diam itu akhirnya tidak bisa menyembunyikan perilakunya selama ini. Mereka merasa sudah sampai pada kesimpulan, bahwa dorongan saling cinta itu tampaknya harus segera dieksekusi menjadi hubungan asmara terbuka. Melihat kenyataan demikian, hati Ely pun hancur. Dia harus menanggung risiko menghadapi realitas kehilangan suami yang hatinya tertambat dengan salah seorang pelanggannya sendiri. Suami yang selama ini dipercaya, ternyata tidak saja telah mengkhianati cintanya tetapi berpotensi menghancurkan usaha yang salama ini dirintis dengan susah payah. Uang penghasilannya yang selama dipercayakan kepada suami ternyata tidak pernah terkumpul secara nyata karena untuk ‘main belakang’ dengan salah seorang pelanggan salonnya itu. Tidak kuasa merasakan beban batin karena perilaku suami yang menyebalkan itu, Ely pun akhirnya mengajukan gugat cerai ke Pengadilan Agama.

“Kisah nyata” yang diilhami dari sebuah kasus perceraian itu, hanya salah satu dari sejuta alasan mengapa sebuah perkawinan bisa berujung ke perceraian. Yang demikian tentu harus menjadi peringatan setiap pasangan yang berkomitmen menjaga ikatan perkawinan sampai akhir hayat. Janji suci saat ijab kabul yang menyusul segera akan kisah cinta sebelumnya, tidak menjamin bahwa ikatan perkawinan bisa langgeng tanpa kesediaan saling mewaspadai potensi gangguan sekecil apa pun yang datangnya sering tidak terduga. Dan, sikap demikian harus menjadi komitmen tidak hanya oleh istri tetapi juga suami sebagai kepala rumah tangga secara bersama-sama. Saling asah, saling asuh merupakan sebagian upaya tersebut. Untuk bisa demikian, kedua belah pihak di samping harus bersedia untuk saling mengingatkan, yang lebih penting, juga harus dapat saling membuka hati untuk bisa saling menerima kritik dari pasangannya. Yang demikian memang mudah diucapkan tetapi tidak semua pasangan bisa melakukan. Egosentris dan prestise diri sering menjadi mampetnya komunikasi suami istri. Perceraian yang terjadi dengan tidak memandang strata sosial, sering disebabkan oleh kegagalan berkomunikasi mengenai hal-hal demikian. Tetapi yang tidak kalah bahayanya ialah karena hilagnya kejujuran. Salah satunya adalah kejujuran untuk tidak menyimpan “yang lain” dalam hati. Yang terakhir ini ibarat penyakit kronis, yang apabila tidak segera diobati akan berubah menjadi penyakit akut yang dapat berujung terjadinya malapetaka rumah tangga secara tiba-tiba.

Apakah peribahasa “Senjata Makan Tuan” tepat untuk menggambarkan kisah rumah tangga Ely?. Jawabnya, tergantung dari mana kita memandang. Dari segi profesi sebagai pekerja salon, bisa saja benar. Sebab, profesi salon sering diidentikkan dengan dunia kecantikan. Kalau suami tidak ‘kuat iman’ memang bisa menjadi lahan godaan suami. Tetapi peribahasa di atas tentu terlalu kejam jika dilihat dari sisi perasaan Ely. Ketulusan hati untuk menopang ekonomi rumah tangga rupanya harus dibalas dengan kepahitan hidup akibat perilaku suaminya. Dalam konteks demikian, peribahasa yang cocok untuk Ely ialah “air susu dibalas dengan air tuba”. Save our family!

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait