Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Penggemar olah raga, khususnya dunia sepak bola, pastilah sangat kecewa. Rasa dongkol, jengkel, geram bahkan marah berkecamuk menjadi satu ketika FIFA (Federation Internasionale de Fooball Association) membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah perhelatan akbar dunia sepak bola U-20. Siapa tidak jengkel, banyak pihak marah, sebab dari awal terlihat adem ayem, setidaknya sampai akhir 2022. Akan tetapi, begitu menjelang hari H, tiba-tiba gelombang potes masif menolak salah satu kesebelasan bermain di Indonesia. Ibarat sudah mengundang satu grup musik, ketika tamu tersebut hampir tiba tuan rumah tuan rumah tiba-tiba menolak salah seorang pemusiknya, katakanlah pemain basnya. Tidak pernah ada gejolak tidak pernah ada protes bahkan semua pihak terkesan ikut bangga ketika Indonesia ditetapkan sebagai tuan rumah even dunia tersebut.
Melalui perjuangan dan diplomasi rumit, organisasi sepak bola dunia yang berkantor pusat di Zurich (Swiss) itu menunjuk Indonesia, menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 pada 2019 silam setelah mengalahkan Brasil dan Peru pada saat pencalonan. Penantian kita setelah ditetapkannya sebagai pemenang ini, di samping sulit dan melelahkan juga cukup panjang. Setelah kita mememangkan pencalonan saja harus menunggu sekitar 2 tahun lebih. Sebagaiamana kita ketahui Piala Dunia U-20 Indonesia rencana akan digelar pada tahun 2021 lalu. Namun karena adanya pandemi, ajang tersebut harus mundur hingga tahun 2023. Keberhasilan kita mengalahkan negara pesaing yang paling utama ialah adanya garansi bahwa kita sanggup memenuhi infra struktur yang diperlukan. Untuk keperluan ini sejumlah stadion terutama Gelora Bung Karno telah dipermolek. Yang lebih penting kita menang karena kita berhasil meyakinkan FIFA bahwa kita dapat menjadi tuan rumah yang pada intinya dapat memberi rasa aman bagi seluruh peserta dari manapun asal negaranya. Dan, untuk kepentingan itu tentu sejumlah dokumen telah diteken oleh para pemegang otoritas di tanah air.
Akan tetapi apa yang terjadi, beberapa bulan akhir ini tiba-tiba suasana berubah. Entah makhluq halus apa secara massif tiba-tiba berhembus kencang penolakan timnas Israel bermain di Indonesia. Penolakan timnas Israel bertanding dalam Piala Dunia U-20 di Indonesia dengan mudah terus meluas. Ormas keagamaan, pejabat, dan masyarakat terang-terangan menolak kedatangan timnas Israel di tanah air. Alasannya, kedatangan timnas Israel ke Indonesia bertetangan dengan UUD 1945 mengenai kemerdekaan adalah hak setiap bangsa. Israel sendiri diketahui menduduki wilayah Palestina sebagai negara berdaulat. Menurut catatan media ada 11 pihak yang secara terang-terangan menolak, termasuk dua gubernur (Jawa Tengah dan Bali). Luar biasa bukan?
Bumbu politik dan sentimentil agama membuat rencana kedatangan timnas Israel ke Indonesia semakin riuh dan terus digoreng. Menteri BUMN Erick Thohir yang juga sekaligus Ketua PSSI harus kalang kabut dan berusaha mati-matian dan nyaris tidak bisa tidur, berfikir mencari formulasi kalimat meyakinkan guna melobi FIFA agar tak membatalkan drawing yang sedianya akan dilakukan di Bali. Usahanya sia-sia dan menjadi ratapan bangsa ketika di kalangan para pejabat Indonesia sendiri kemudian rupanya tidak kompak. Sebelas kelompok termasuk dua pejabat negara tersebut oleh FIFA tentu dianggap telah merepresentasikan seluruh bangsa Indonesia. Sekikas sebuah ironi juga terjadi, PDI Perjuangan dan komunitas Islam (garis keras) yang selama ini berada dalam kutub berbeda secara politik, dalam kasus ini bisa kompak bersikap sama. Pada saat yang sama tidak ada upaya langkah-langkah kontra yang dapat meyakinkan FIFA seperti yang ‘diikrarkan’ saat ditetapkan sebagai pemenang. Melihat fenomena demikian, FIFA pasti tidak mau mengambil risiko. Bagi FIFA keamanan para peserta siapa pun dan dari mana pun asal negaranya adalah segala-galanya.
Israel memang dikenal sebagai negara Yahudi. Tapi, mungkin banyak yang tidak tahu kalau di Israel sendiri tumbuh beberapa agama besar selain Yahudi yakni Islam dan Kristen. Di negara ini juga ada birokarasi yang mengatur urusan umat Islam. Apabila kita menyaksikan perang antara Palestina dan Israel di televisi, di pihak Palestina sebenarnya juga ada yang non muslim seperti tentara Israel ternyata juga ada yang muslim. Kalau begitu permusuhan antara Israel dan Palestina sejatinya bukan murni perang agama. Negara-negara Arab lainnya yang menjadi ‘korban Israel’ telah lama memilih cara damai. Setelah Mesir menandatangani perjanjian Camp David—pada tanggal 17 September 1978 oleh Anwar Sadad (Mesir) dan Menachem Wolfovich Begin (Israel) di Gedung Putih AS, saat Presiden Jimmy Carter–beberapa negara Arab lainnya, tampaknya ikut menyusul langkah Mesir, seperti Yordania. Yang paling gres Saudi Arabia secara diam-diam juga telah ‘bermain mata’ dengan Israel. Mereka tampaknya mulai menyadari perang fisik melawan Israel tidak akan pernah efektif. Jalur diplomatik tempak lebih efektif dan efisien. Sebelumnya, mengambil jalur peperangan justru membuat wilayah Israel semakin bertambah.
Alasan penolakan Ganjar dan partai induknya (PDI P) karena konsisten mengikuti garis perjuangan Bung Karno. Akan tetapi, melihat perkembangan dunia saat ini, yang dahulu tegas dengan tidak mau sedikit pun berkompromi dengan Israel– jangan-jangan Bung Karno juga berubah pikiran. Sebaliknya, dengan jiwa besar dan patriotnya, jangan-jangan justru akan senang menjadi tuan rumah even besar seperti perhelatan sepak bola berskala dunia ini, “tanpa embel-embel apa pun”. Dan, yang pasti saat ini olah raga memang telah berhasil mambangun dunianya sendiri. Dunia yang menjujung sportivitas ini, sepertinya tidak bisa diintervensi oleh persoalan-persoalan SARA seperti dalam dunia politik. Dari mana pun negara, suku, atau agamanya, asal mampu, mendapat kebebasan ikut berkompetisi dalam cabang oleh raga apa pun. Siapa pun yang mencoba memasukkan isu-isu lain dalam dunia olah raga pasti akan dikecam dan mendapat perlawanan keras. Itulah sebabnya kita bisa menyaksikan para olah ragawan muslim kini bisa ‘manggung’ di negeri yang kita stigma sebagai negeri kafir. Kita mengenal Frank Riberi dan Mesut Ozil (Jerman), Zenadine Zidan dan Karim Benzema (Perancis), Muhammed Salah (Mesir), dan sejumlah pemain muslim lainnya berlaga di klub-klub elit Eropa. Israel pun punya sejumlah nama pemain bola muslim yang berlaga di Eropa, seperti Moanes Dabbur yang berlaga di Bundes Liga dan Dia Mohammad Saba. Karier Saba terbilang mentereng di kancah internasional, karena tercatat pernah membela beberapa klub besar di Turki (Sivasspor), Uni Emirat Arab (Al Nassr) dan China (Guangzhou City). Bahkan pada tim U-20 milik Israel ini, pemain handalnya, dalam hal ini, Ahmad Salman yang asli berkewarganegaraan Israel ini memiliki skill bermain bola yang mumpuni. Ahmad Salman yang bergabung dengan timnas sejak 2021 ini diketahui berhasil menjadi penyerang terbaik untuk Timnas Israel U-20. Posisi Ahmad Salman sebagai striker ini juga mengantarkan Timnas Israel U-20 ke Piala Dunia U-20.
Di samping tidak mengenal sekat-sekat primordial sepak bola juga seperti telah menjadi negara tersendiri. Dunia sepak bola sepertinya telah membuang jauh-jauh sekat-sekat politik kenegaraan. Itulah sebabnya, pada piala dunia, FIFA tidak pernah menolak kesebelasan negara mana pun sejauh telah memenuhi ketentuannya. Kolumbia sebagai negara narkoba, kesebelasannya juga tidak pernah dilarang bermain di World Cup.
Dengan ilustrasi di atas, kita hendak mengatakan negara mana pun yang punya kesebelasan sepak bola dan ingin berkancah secara internasional harus tunduk dan patuh terhadap aturan baku yang berkaku, tidak terkecuali Indonesia. FIFA sebagai ‘pnguasa’ tunggalnya telah mempunyai aturan baku sedemikian rupa yang dijalankan secara konsisten. FIFA lah yang berjasa menjadikan ratusan pemain muslim berkiprah di dunia internasional sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada mereka. Negara mana pun yang ditegarahi rasis atau megintervensi aturan FIFA akan mendapat sanksi.
Tentang betapa independennya sepak bola, kita masih ingat ketika UEFA (Union of European Football Associations) menjatuhkan sanksi kepada seluruh klub Inggris. Akibat tragedi Heysel Belgia 1985, yang menyebabkan ratusan orang terluka dan 39 orang meninggal dunia, asosiasi sepak bola Eropa itu menjatuhkan sanksi keras berupa larangan bagi seluruh klub sepakbola Inggris untuk mengikuti kompetisi di level Eropa. Adanya sanksi keras tersebut membuat para suporter kembali berbenah dan memperbaiki diri. Padahal, penyebab kerusuhan hanyalah akibat ulah para suporter. Atas tragedi Kanjuruan, sebebanrnya Indonesia telah berhasil melalui masa-masa sulit dengan tidak mendapat sanksi FIFA. Padahal, insiden itu lebih mengerikan disbanding tragedi Heysel.
Tidak ada yang membantah, mayoritas kita adalah penggemar sepak bola. Berbagai klub bertaburan di Indonesia. Dengan dukungan negara dan masyarakat, sepak bola kita pun kini juga sudah dapat berbicara lagi di dunia internasional. Pada saat yang sama ternyata sebagian masyarakat kita, bahkan sejumlah elite masih belum menjamin independensinya. Pertanayaan kita, untuk apa dan siapa kita mempunyai membangun stadion megah, membayar pelatih dengan bayaran selangit? Bukankah, di samping sebagai olah raga dan hiburan, akibat sepak bola juga banyak masyarakat yang mendapat keuntungan secara ekonomi? Memang benar pesan Bung Karno, “Jangan Melupakan Sejarah”. Tetapi sejarah ditulis bukan hanya untuk menjadi cerita melainkan untuk bercermin demi kemajuan masa depan. Para pahlawan pasti akan bangga melihat generasi penerus bisa membawa negara yang didirikan menjadi maju dan sejahtera. Kalaupun penolakan itu atas nama konstitusi, bukankah konstitusi hanya ‘melarang penjajahan’ dan pembelaan bangsa yang terjajah, pada masa di era modern ini, tidak harus melalui konfrontasi buta seperti sekarang. Yang lebih penting, pembelaan kepada bangsa lain, mestinya jangan sampai sedikit pun merugikan kepentingan nasional dan rakyat kita sendiri. Dan, yang pasti sepak bola kita adalah milik seluruh bangsa Indonesia, bukan hanya milik kelompok para pendemo tim Israel. Recpect our feelings, please!