Oleh :
Rudi S Kamri
Bagaimana perasaan Anda saat kita lagi seru- serunya menyaksikan pertandingan sepakbola tetapi mendapatkan informasi bahwa ternyata pertandingan itu sudah diatur skornya oleh orang-orang tertentu yang kita sebut saja mafia sepakbola ? Siapa yang bakal menang dan siapa yang kalah bahkan dengan skor berapa semua sudah diatur oleh para mafia ? Rasanya pingin ngamuk, bukan ? Kita merasa ditipu dan dibohongi oleh penjahat sepakbola tersebut. Ini ternyata telah terjadi selama puluhan tahun dalam dunia sepakbola kita. The Godfather mafia sepakbola Indonesia dan para kroconya seenak sendiri mengatur merah hitamnya persepakbolaan Indonesia untuk kepentingan pribadi mereka.
Untuk kepentingan apa mafia tersebut melakukan “match fixing” atau manipulasi pertandingan sepakbola ? Tentu saja untuk kepentingan judi bola yang ternyata melibatkan uang yang luar biasa besar. Dan sudah bisa kita duga bahwa virus yang sengaja disuntikkan oleh mafia sepakbola tersebut merusak motivasi para pemain kita untuk berprestasi maksimal.
Sasaran “match fixing” bukan hanya penyuapan terhadap pemain tetapi juga bisa dilakukan penyuapan terhadap wasit. “Match Fixing” bukan hanya merupakan pengkhianatan terhadap sportifitas yang menjadi roh utama dalam suatu pertandingan olahraga tapi juga merupakan kejahatan terhadap dunia olahraga.
Ini mungkin bisa menjawab pertanyaan dari kita semua selama ini mengapa sampai sekarang sepakbola Indonesia tidak kunjung punya prestasi yang membanggakan. Dengan modal SDM Indonesia 260 juta, kita tidak akan mampu membentuk “The Dream Team” selama mafia sepakbola dibiarkan merajalela di Indonesia.
Bagaimana peran federasi sepakbola PSSI ? Jawabannya sederhana, bagaimana kita bisa membersihkan lantai rumah kita dengan menggunakan sapu kotor ? Bukan menjadi bersih tapi justru semakin kotor. Cerita kebusukan para pengurus PSSI sudah merupakan cerita lama. Mereka tidak menjadi pemecah masalah, yang terjadi mereka ternyata justru merupakan bagian dari masalah yang harus dibersihkan. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya Plt Ketua Umum PSSI Djoko Driyono dan beberapa orang Komite Eksekutif PSSI menjadi tersangka “match fixing”.
Tragedi “match fixing” juga kita alami saat pertandingan final piala AFF pada tahun 2010 dimana saat itu Timnas Indonesia “diatur” dipaksa harus mengalah terhadap tuan rumah Malaysia. Terjadinya campur tangan mafia bola dalam pertandingan tersebut diungkapkan oleh manajer Timnas Andi Darussalam Tabusalla beberapa waktu kemudian. Kejadian tersebut benar-benar merupakan penghinaan terhadap kehormatan bangsa dan negara.
Mengapa mafia sepakbola Indonesia sulit sekali dihapuskan ? Menurut penuturan *Suhendra Hadikuntana* Ketua KPSN (Komite Pembaharuan Sepakbola Nasional) karena melibatkan beberapa “tokoh besar” yang “Untouchable” yang dilindungi oleh tokoh besar yang dekat dengan kekuasaan. Penjelasan Suhendra Hadikuntana ini diamini oleh tokoh suporter nasional *KP Norman Hadinegoro* dan beberapa pemerhati sepakbola Indonesia. Dan hal ini yang menyebabkan usaha keras dari Presiden Jokowi untuk membersihkan sepakbola kita seolah membentur tembok. Karena kemungkinan besar Presiden sengaja dibuta-tulikan oleh pembantunya yang merupakan kaki tangan The Godfather mafia sepakbola Indonesia.
Ini PR besar bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana kita bisa mengembalikan marwah sepakbola Indonesia menjadi pertandingan yang penuh sportifitas dan orientasi pada prestasi. Usaha keras dari KPSN yang tanpa pamrih harus kita dukung keras untuk membongkar habis mafia sepakbola Indonesia. Ini pasti bukan tugas yang gampang karena pengurus PSSI saat ini terlihat tidak mau “cooperative”. Pengurus PSSI selama ini berlindung dibalik statuta PSSI dan statuta FIFA yang tidak menginginkan campur tangan pemerintah dan pihak luar PSSI.
Dan juga menjadi pertanyaan besar saya mengapa masa kerja Satgas Mafia Sepakbola Polri yang sedang “on fire” memberangus mafia sepakbola kita hanya dibatasi hanya 6 bulan saja. Mengapa tidak dilanjutkan masa kerjanya sampai tuntas memberantas kecoak-kecoak mafia sepakbola di Indonesia ? Hanya Kapolri yang bisa menjawab pertanyaan saya.
Tapi apapun terjadi kita sebagai masyarakat Indonesia harus tetap berhak bersuara keras. Disamping kita berharap tugas mulia KPSN tetap terus berjalan tanpa mengenal putus harapan, langkah yang paling strategis adalah membersihkan Pengurus PSSI dari oknum- oknum korup yang merusak persepakbolaan Indonesia. Dan kita berharap dalam KLB PSSI yang akan datang dapat memilih “orang gila yang waras” yang berani membersihkan internal PSSI dan berani melawan The Godfather mafia sepakbola. Jangan lagi PSSI dipimpin oleh oleh yang menggunakan PSSI untuk kepentingan pribadi dan politik seperti Ketua Umum PSSI sebelum.
Saya tidak tahu siapa “orang gila yang waras” yang bisa menjadi Ketua Umum PSSI, tetapi saya pribadi berharap sosok berani, tegas, bersih dan keras seperti Komjen M. Iriawan atau yang akrab dipanggil Iwan Bule mau turun tangan menjadi Ketua Umum PSSI dan berani memimpin pasukan untuk menyikat habis mafia sepakbola di Indonesia. Dengan dibantu dengan KPSN dan aparat kepolisian yang “steril” dari iming-iming uang, mudah-mudahan sepakbola Indonesia kembali bersih dari virus pengaturan skor dan pada ujungnya ada prestasi yang bisa dibanggakan.
Mampukah KPSN dan sosok seperti Iwan Bule melepaskan sepakbola Indonesia dari cengkraman mafia sepakbola ? Kita hanya bisa berharap. Tapi kalau mereka didukung penuh oleh Presiden Jokowi, saya optimis tugas mulia mereka akan akan tertuntaskan.
Dibutuhkan orang nekat, berani dan bersih untuk menyikat habis mafia sepakbola. Kalau tidak, kita akan terus disuguhi pertandingan dagelan yang tidak lucu……
*Salam SATU Indonesia*
07072019