KUPANG, beritalima.com – Sepanjang tahun 2024, LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menangani sebanyak 78 kasus.
Dengan demikian, LBH APIK NTT telah menangani 1.313 kesus, sejak LBH APIK HTT berdiri pada Juli 2011. Jumlah ini tidak termasuk dengan jumlah kasus yang ditangani oleh Paralegal dan data penanganan kasus bagi orang miskin, sebagaimana amanat UU no 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Dari data yang ada, nampak bahwa kasus yang ditangani oleh LBH APIK NTT bersifat fluktuatif. Walau demikian, dapat ditarik rata-rata, setiap tahun, LBH APIK NTT menangani 93.8 kasus, atau LBH APIK NTT menangani 2 kasus dalam satu minggu.
Demikian disampaikan Direktur LBH APIK NTT, Ansy Damaris Rihi Dara, SH saat kegiatan Launching Catatan Akhir Tahun 2024 LBH APIK NTT, Kamis (23/1/2024).
Dalam acara tersebut, hadir Koordinator Divisi Pelayanan Hukim, Ester Ahaswasty Day, SH, Koordinator Divisi Perubahan Hukum, Charisal D. S. Manu, S.Th, Mir Mil Staf Divisi Perubahan Hukum, Adelaide Ratukore, SH, Staf Divisi Perubahan Hukum, Joan P. W. S. Riwu Kaho, Florina Lito Kelore, Koordinator Keuangan dan Administrasi, Emiliana Djehalut, staff magang, serta wartawan media cetak, elektronik dan media daring.
Dikatakan Ansi Rihi Dara, dari 78 kasus yang ditangani di tahun 2924, kasus yang paling dominan adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebesar 18 persen, kemudian kasus pemerkosaan/pencabulan anak 22 persen. Kemudian juga ada kasus perceraian, serta kasus kekerasan berbasis gender online 5 persen.
Dari kasus kekerasan seksual ini, kata Ansy Rihi Dara, anak masih merupakan kasus yang dominan. “Ini memang fenomena dari dari tahun ke tahun perlu menjadi catatan bagi NTT. Biasanya perceraian itu backgroundnya KDRT dan kasus kekerasan lainnya. Jadi dia tidak berdiri sendiri”, kata Ansy Rihi Dara menjelaskan.
“Kemudian juga ada kasus lainnya, yaitu kasus pembunuhan yang berlatar belakangnya kasus KDRT juga kita kenal kasus femisida. Dan LBH APIK NTT sudah menangani satu kasus femisida”, tambah Ansy.
Dia mengatakan, femisida ini masih belum terlalu banyak diliput atau dibicarakan terutama media. “Sehingga ini juga menjadi catatan kami bahwa media memang perlu melihat setiap kasus pembunuhan bagroundnya macam-macam, tapi kebanyakan termasuk KDRT didalamnya berujung pada femisida. Jadi femisida itu puncak kekerasan terekstrem dari kekerasan berbasis gender itu adalah sampai si perempuan itu meninggal”, kata Ansy.
Dalam riset media, lanjut Ansy, kasus KDRT dan kekerasan seksual sebagai menjadi bagian tiga besar, sejalan dengan importnya LBH APIK yang mendominasi di NTT. Dan data LBH APIK NTT hampir sama yang diliput oleh media.
“Ini tentu memberikan gambaran yang lebih terang bahwa di NTT masih rawan untuk kasus KDRT dan Kekerasan Seksual. Dan, pada kekerasan seksual khususnya anak itu masih menjadi kelompok yang sangat rentan. Ini juga nampak pada riset media yang menempatkan kekerasan seksual terhadap anak menempati urutan kedua. Jadi masih dominan 22 persen yang dilaporkan ke LBH APIK NTT”, ujarnya.
Terkait kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), kata Ansy, masih banyak ditangani oleh teman-teman jaringan yang memang fokus pada korban TPPO seperti Rumah Harapan, dan teman-teman lainnya. Dan, hal ini juga menyebabkan tidak ada permintaan pendampingan di tahun 2024, kecuali di awal Januari 2025, sudah ada beberapa korban TPPO yang datang ke LBH APIK NTT untuk meminta pendampingan. (L. Ng. Mbuhang)