Palembang, beritalima.com| – Indonesia saat ini sedang berada pada persimpangan penting dalam menentukan arah pembangunan sumber daya manusia. Salah satu tantangan besar yang dihadapi adalah tingginya angka stunting dan permasalahan kesehatan gizi pada anak-anak.
Data dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan pada 2022, prevalensi stunting di Indonesia masih berada pada angka 21,6%, meskipun pemerintah menargetkan penurunan hingga 14% di 2024. Stunting tak hanya berhubungan dengan tinggi badan yang kurang, tapi berdampak langsung pada perkembangan otak, kemampuan belajar, dan produktivitas di masa depan.
Dalam konteks menuju Generasi Emas 2045, yaitu momen ketika Indonesia diprediksi mendapatkan bonus demografi dan menjadi negara berdaya saing tinggi, kualitas gizi anak menjadi salah satu fondasi utama. Tanpa asupan makanan bergizi yang cukup, mustahil mencetak generasi sehat, cerdas, dan berdaya saing.
Oleh karena itu, pemerintah meluncurkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) ditujukan untuk peserta didik di sekolah serta kelompok rentan lainnya. Program ini diharapkan tidak hanya menekan angka stunting, tetapi juga membuka peluang pemerataan kualitas pendidikan dan kesehatan.
Program MBG hadir sebagai strategi intervensi gizi skala nasional. Konsepnya sederhana: menyediakan makanan bergizi seimbang bagi anak-anak usia sekolah serta kelompok prioritas lain. Namun, dampaknya besar. Anak-anak yang mendapatkan asupan gizi baik akan memiliki konsentrasi lebih tinggi saat belajar, daya tahan tubuh yang lebih kuat, serta tumbuh kembang yang optimal.
Selain itu, program ini juga memiliki dimensi ekonomi. Melibatkan petani lokal, peternak, hingga usaha mikro kecil dalam penyediaan bahan pangan akan menciptakan rantai pasok yang berkelanjutan. Dengan begitu, program ini tidak sekadar konsumtif, tetapi juga produktif dalam memberdayakan masyarakat.
MBG yang dirancang pemerintah menekankan pada pola isi piringku: karbohidrat, protein hewani, protein nabati, sayur, buah, serta susu atau sumber kalsium lainnya. Kita ketahui kandungan tersebut memiliki manfaat besar, seperti Karbohidrat (nasi, jagung, umbi) sebagai sumber energi, Protein hewani (ikan, telur, daging ayam) penting untuk pertumbuhan otot dan perkembangan otak, Protein nabati (tempe, tahu, kacang-kacangan) untuk melengkapi kebutuhan gizi, Sayuran dan buah kaya vitamin serta serat untuk daya tahan tubuh serta Susu sebagai pelengkap untuk kebutuhan kalsium dan pertumbuhan tulang.
Dengan komposisi ini, anak tak hanya kenyang, tapi juga mendapatkan asupan sesuai kebutuhan tumbuh kembangnya. Program MBG diharapkan membawa dampak berlapis, seperti: Peningkatan prestasi belajar karena anak-anak lebih fokus dan berenergi, Penurunan angka stunting sehingga kualitas kesehatan generasi muda lebih baik, Pemerataan gizi yang mengurangi kesenjangan antara anak dari keluarga mampu dan tidak mampu, Penguatan ekonomi lokal melalui keterlibatan petani, nelayan, dan UMKM serta Pembentukan budaya sehat sejak dini, karena anak-anak terbiasa mengonsumsi makanan seimbang.
Meski potensial, program ini bukan tanpa hambatan. Tantangan yang mungkin muncul antara lain, Ketersediaan anggaran dan pengelolaan yang transparan. Distribusi logistik di daerah terpencil, Standarisasi menu agar tetap bergizi dan sesuai kebutuhan local dan Pengawasan agar program tidak berhenti di tataran wacana, tetapi benar-benar dirasakan peserta didik.
Jika tantangan ini dapat diatasi, maka program makan bergizi gratis akan menjadi salah satu game changer dalam perjalanan Indonesia menuju Generasi Emas.
MBG merupakan langkah nyata pemerintah dalam menyiapkan pondasi sumber daya manusia berkualitas. Sepiring makanan bergizi bukan sekadar santapan, melainkan simbol harapan bagi masa depan Indonesia. Anak-anak yang sehat, cerdas, dan kuat akan tumbuh menjadi generasi penerus bangsa yang mampu menghadapi persaingan global.
Melalui program ini, Indonesia bukan hanya bisa menekan angka stunting, tapi juga membangun ekosistem keberlanjutan menghubungkan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Keberhasilan program ini tidak hanya bergantung pada pemerintah, melainkan juga pada dukungan masyarakat, sekolah, dan keluarga.
Jika seluruh elemen bangsa bersinergi, maka Sepiring Harapan benar-benar dapat menjadi jalan menuju Generasi Emas Indonesia 2045 yang kita impikan bersama.
(Penulis: Silviana Herawati, Esti Susiloningsih dan Dwi Cahaya Nurani mahasiswa Universitas Sriwijaya (Unsri), Sumatera Selatan, Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar).






