Sepucuk Surat di Bulan Ramadan

  • Whatsapp

beritaLima| Hadirmu adalah bahagiaku di bulan yang penuh suci ini. Tak apa jika kita tak jumpa di bulan ramadan tahun ini. Setidaknya kita akan bersua di hari kemenangan nanti, Ayah.

Ayah adalah pahlawan dalam sebuah keluarga. Mencari nafkah adalah kewajibannya yang harus ditunaikan demi lengkungan senyum sang buah hati. Namun, bagaimana jika di bulan ramadan, bulan yang ditunggu-tunggu untuk dijalani bersama, tidak dilengkapi oleh pahlawan keluarga karena tuntutan kerja?

Saat malam menjelma menjadi pagi buta dan saatnya menyantap hidangan untuk sahur, tersisa satu bangku kosong di ruang makan. Bangku yang biasa ayah tempati saat sebuah keluarga sedangg sahur bersama, kini hanya diisi oleh semilir angin pagi yang menyusup melalui jendela-jendela rumah.

Mentari meredupkan sinarnya dan itu adalah pertanda bahwa semua orang bersiap-siap untuk berbuka puasa. Lagi-lagi kursi di ruang makan tersisa satu bangku kosong. Rupanya memang Ayah belum kembali ke rumah untuk menjalani puasa bersama.

Perjuangan seorang ayah demi membahagiakan keluarganya tidaklah mudah. Tak cukup satu-dua tetes keringat yang dikeluarkannya, bahkan berjuta-juta kubik keringat mengalir deras dari keningnya yang sudah mulai mengkerut.

Tidak peduli dihantam rintik hujan, disapu teriknya sinar matahari, bahkan jauh dari anak dan istri. Semua itu demi mengisi perut sang buah hati yang menjadi harapannya di saat tua nanti.

Kebahagiaan sebuah keluarga yang jauh dengan pahlwannya ada di balik layar telepon genggam. Dengan satu sentuhan jari pada layar, senyum indah di antara dua tempat dengan jarak yang jauh pun terhubung dan saling mengucapkan, “Selamat berbuka puasa”. Baginya tak ada yang lebih indah dari saling membangunkan sahur lewat dering telepon.

Tak dapat dimungkiri bahwa ayah tak bersama keluarga di bulan ramadan bukan karena keinginannya, tetapi kebutuhannya. Pundak yang menopang segala beban harus tetap bertahan meski rasa rindu ingin menikmati sepiring tahu goreng buatan ibu bersama keluarga kecilnya.

Tak apa jika ayah tak pulang. Setidaknya pada hari kemenangan nanti, ayah dapat berkumpul kembali bersama. Tidak hanya sekadar saling memandang di layar telepon genggam, tetapi bertatap muka dengan rona wajah bahagia.

Dhita Rahfiani dari Politeknik Negeri Jakarta, Program Studi
Jurnalistik.

beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *