Setelah TPRH, Ada (Tim) Apa Lagi?

  • Whatsapp

Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD membentuk Tim Percepatan Reformasi Hukum (TPRH). Untuk memenuhi legalitasnya, diterbitkanlah Surat Keputusan Menko Polhukam Nomor 63 Tahun 2023 tentang Tim Percepatan Reformasi Hukum. Di hadapan para ‘kuli tinta’ menteri yang juga guru besar hukum tata negara ini, menjelaskan, bahwa tim yang dibentuk ini berpretensi menyelesaikan kasus hukum yang sedang berlangsung saat ini. Meskipun demikian menurut menteri yang juga mantan Ketua MK itu, penyelesaian kasus hukum tetap menjadi tangung jawab aparat penegak hukum dan birokrasi yang menaganinya.
Berdasarkan SK Menko Polhukam Nomor 63 Tahun 2023 yang ditetapkan pada 23 Mei 2023, tim punya tugas untuk menetapkan strategi dan agenda prioritas, mengoordinasikan kementerian/lembaga, serta mengevaluasi agenda prioritas. Ada empat agenda prioritas yang dimaksud, yakni reformasi lembaga peradilan dan penegakan hukum; reformasi hukum sektor agraria dan sumber daya alam; pencegahan dan pemberantasan korupsi; serta reformasi sektor peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, secara konkret TPRH–yang mempunyai masa kerja hingga 31 Desember 2023 dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan–ini nantinya akan merumuskan naskah akademik dan rancangan kebijakan hukum yang akan diserahkan kepada pemerintah baru hasil Pemilu 2024 untuk dipertimbangkan pemberlakuannya.

Telepas dari sejumlah alasan pemerintah, sebagai orang awam tentu bertanya-tanya, mengapa TPRH perlu dibentuk? Ada apa dengan dunia hukum kita? Bukankah reformasi hukum sudah menjadi salah satu agenda reformasi? Lalu apakah selama 25 tahun pascareformasi dengan 4 presiden, salah satu amanat penting reformasi ini belum terjamah? Dan, sejumlah pertanyaan lain tentu masih bisa kita ajukan.
Sebagaimana kita ketahui TPRH ‘serta merta’ lahir setelah ada beberapa peristiwa memilukan yang menerpa dunia hukum. Terjadi sangat mencolok dan tentu sangat memalukan ketika ada beberapa oknum di pusaran lembaga tinggi dunia penegakan hukum, dalam hal ini Mahkamah Agung RI, tertangkap KPK. Yang lebih membuat kita pilu, di antara mereka ada 2 oknum Hakim Agung. Kasusnya pun tidak main-main: “jual beli perkara”, suatu hal yang selama ini sangat dibenci masyarakat sekaligus telah menjadi concern Ketua MA pada setiap pembinaan di mana-mana. Secara singkat orang berkesimpulan jika di pucuk kekekuasaan dunia peradilan dan sangat dekat dengan pusat kekuasaan negara sudah demikian, lalu bagaimana halnya dengan institusi peradilan di daerah yang jauh dari akses kekuasaan pusat. Jika institusi yang yang selama ini bertugas membina dan mengawasi badan peradilan di bawahnya kini justru ikut menjadi sumber masalah. Peristiwa itu pun seolah sebagai klimaks atas ketidakpercayaan publik pada dunia penegakan hukum, khususnya terhadap dunia peradilan selama ini.

Sebelum kasus di MA, di kepolisian juga tidak kalah serunya. Seorang jenderal bintang 2 juga terlibat kasus di luar nalar akal sehat, yaitu pembunuhan berencana atas anak buahnya. Dan, atas perbuatannya yang bersangkutan telah divonis hukuman mati. Masih belum kering luka yang diderita, luka korp Bhayangkara itu harus tergores lagi dengan diadilinya perwira tinggi bintang 2 yang terlibat kasus ‘jual beli’ narkoba. Seolah tidak mau ketinggalan baru-baru saja seorang jaksa juga telah diduga terlibat pemerasan terhadap masyarakat yang terlibat kasus narkoba. Beberapa tahun yang lalu, malah terjadi di satu daerah (Jawa Timur) pemerintahannya nyaris lumpuh karena pimpinan daerah dan anggota DPR-nya nyaris tak tersisa karena terlibat korupsi secara berjamaah.

Maraknya, kasus-kasus besar yang terjadi selama ini jelas ironis. Sebab, pada saat yang sama KPK juga telah dengan gencar dan demonstratif menjalankan tupoksinya, antara lain, melakukan penindakan. Bahkan, tindakanya seperti surah menjadi ciri utama lembaga anti rasuah ini, yaitu melakukan “operasi tangkap tangan” kepada sejumlah pejabat dan selalu mendapat liputan luas. Dengan tangan terborgol dan rompi orange dan disorot kamera dengan liputan luas media, seolah belum cukup ampuh mencegah terjadinya korupsi. Terakhir kita tentu nyaris tidak percaya, seorang menteri dari kader partai yang diharapkan menjadi pelopor anti korupsi sebagaimana yang digembar-gemborkan ketua umumnya, juga menjadi tersangka korupsi. Potensi kerugian negara pun tidak tanggung-tanggung. Total kerugian negara sebesar 8,032 triliun rupiah dalam proyek BTS 4 G di kementriannya, berdasarkan perhitungan BPKP, sebagaimana dimuat laman ICW, tentu tidak boleh dibilang sedikit. Persoalan rasuah yang melanda partai ini, juga membuktikan tidak satu pun parpol di negeri ini yang (kadernya) steril dari kasus korupsi.
Pungutan liar, pemerasan, pengelapan keuangan negara, oleh aparat negara tidak terkecuali oleh oknum penegak hukum selama ini banyak dikeluhkan oleh masyarakat karena hampir terjadi di semua lini. Yang juga menggelikan, bagaimana bisa bebarapa tahun lalu seorang Penasihat Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) Prof. Dr. Imam Prasodjo juga pernah menjadi sasaran pungli saat memagari lahan miliknya. Ia dmintai uang pungutan oleh otoritas setempat, sebut saja: RW. (Republika.co.id. 25/09/2021).
Berbagai kasus di atas tentu telah cukup memberikan ilustrasi, bahwa korupsi kini hampir terjadi di semua lini, dari strata birokrasi paling rendah sampai pusat. Hampir semua orang merasakan, tetapi jarang orang berani mengusiknya. Sebab, jika tidak beruntung justru akan menjadi bomerang. Maksud hati memerangi kebatilan, tetapi justru berpotensi berbalik menjadi senjata makan tuan. Sehingga, orang sering mengatakan, bahwa semua perilaku koruptif itu seperti bau kentut. Jelas aromanya, tetapi sulit dibuktikan. Karena tidak berdaya, masyarakat pun seperti sudah abai melihat karut-marut yang terjadi di sekelilingnya. Fenomena demikian tampaknya juga sudah membuat Tuhan sangat murka. Dengan cara-Nya Tuhan mengungkap kebobrokan ini satu demi satu, meskipun harus ada yang menjadi martirnya. Dalam konteks ini, jangan-jangan Brigadir J dan David Ozora memang menjadi contoh manusia yang sengaja dipilih Tuhan untuk menjadi martir tersebut, sebagai tangga untuk mengungkap semua, meminjam istilah salah satu lagu Rhoma Irama, “tabir kepalsuan”.
Peristiwa-pwristiwa tersebut sekalipun dengan motif berbeda-beda tetapi ujungnya membuat kita pada kesumpulan yang sama, tampaknya terdapat persoalan yang belum selesai dengan dunia hukum kita. Dan, persoalan itu justru dipicu oleh institusi-institusi yang secara konstitusional berkompeten melakukan penegakan hukum. Yang terjadi justru yang seharusnya menangkap ditangkap, yang harus menuntut jstru harus dituntut, dan yang harus mengadili justru harus diadili.
Jika kita yakin dengan teori, bahwa baiknya hukum dan penegakanya menjadi pangkal utama kemajuan sebuah negara, maka karut-marut yang terjadi tentu juga akibat dari karut marutnya dunia hukum kita dan penegakannya. Capaian tinggi pembangunan infra struktur dan sektor-sektor lain tentu akan tidak ada artinya jika tidak dibarengi dengan dunia penegakan hukum yang konsisten. Oleh sebab itu, sangat wajar jika Presiden Joko Widodo geram menyaksikan fenomena tersebut dan kemudian segera memerintahkan kepada Mahfud MD, sebagai menteri yang paling berkompeten, untuk merumuskan reformasi hukum dan pengadilan. Presiden juga meminta dirinya untuk mencari reformasi hukum pertanahan mengingat maraknya mafia tanah.
Akhirnya, semoga TPRH ini dapat menyelesaikan tugas secara tepat waktu dan yang lebih penting keberadaannya benar-benar tidak hanya mampu memenuhi ekspektasi presiden atau pemerintah jangka pendek, tetapi juga ekspektasi jangka panjang bagi seluruh rakyat, yang selama ini, baik secara langsung atau tidak langsung, harus menanggung nestapa akibat karut-marut hukum ini. Sebagai sebuah langkah yang substansinya bermuara kepada upaya perbaikan, kelahiran TPRH ini tentu perlu kita sambut dengan suka cita. Kita pun tidak perlu bosan-bosan menunggu lembaga-lembaga serupa, sambil bertanya dengan penuh harap: “Setelah TPRH, Ada ( Tim) Apa lagi?”

BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama, IV/e
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang
Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait