Catatan: Yousri Nur Raja Agam
50 Tahun lalu, tanggal 15 Januari 1974, terjadi suatu peristiwa, yang disebut “MALARI”. Singkatan dari “Malapetaka 15 Januari” 1974.
Sejarah Malari, setengah abad silam itu, merupakan peristiwa aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta. Waktunya bersamaan dengan kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka kepada Presiden Soeharto. Peristiwa ini kemudian berkembang menjadi kerusuhan sosial di ibukota.
Saat itu, Presiden Soeharto dijadwalkan menerima kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta, sejak 14 hingga 17 Januari 1974. Tanaka tiba di Bandara Halim Perdanakusuma tanggal 14 Januari 1974, pukul 19.45 WIB dengan pesawat Super DC-8 JAL.
Kedatangan Tanaka itu, disambut secara sederhana. Hanya dengan pengalungan bunga melati, saat turun dari pesawat.
Secara resmi, Presiden Soeharto menerima kehadiran Tanaka dan rombongan di Istana Negara, 15 Januari 1974, pagi hari. Namun kedatangan Tanaka itu, disambut mahasiswa dengan aksi demo menolak kehadiran Tanaka.
Kendati ada unjuk rasa besar-besaran, di jalan raya, pertemuan Presiden Soeharto dengan rombongan Tanaka tetap berlangsung. Namun penjagaan super ketat. Pasukan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), TNI dan Polri secara mencolok berada di mana-mana.
Puluhan ribu mahasiswa dan pelajar SMA melakukan aksi turun ke jalan. Mereja membawa poster dan spanduk bernada protes atas kedatangan Tanaka. Sebab, kehadiran Tanaka di Indonesia dianggap sebagai simbol maraknya penanaman modal asing di Indonesia waktu itu.
Demo mahasiwa dan pelajar bergerak dari Kampus Universitas Indonesia, Jalan Salemba menuju Univeritas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat.
Barisan aksi itu juga diikuti massa pendukung lainnya. Ada tiga tuntutan yang disampaikan, mengatasnamakan rakyat.
Tuntutannya adalah:
Pertama: Pemberantasan korupsi.
Kedua: Perubahan kebijakan ekonomi mengenai penanaman modal asing.
Ketiga: Pembubaran lembaga Aspri (Asisten Pribadi) Presiden.
Ada empat Aspri Presiden Soeharto yang tugas dan kewenangannya melebihi para menteri.
Ke empat menteri itu adalah para Jenderal TNI Angkatan Darat, yakni:
1. Aspri Urusan Khusus: Mayjen Ali Moertopo.
2. Aspri Urusan Perekonomian: Mayjen Soedjono Hoemardani.
3. Aspri Urusan Keuangan: Letjen Soerjo Wirjohadipoetro.
4. Aspri Urusan Pengamanan Presiden: Mayjen Tjokropranolo.
Aksi massa mahasiswa dan pelajar ini, ternyata disusupi massa yang bertindak anarkis, sehingga terjadi kerusuhan. Sebab, menurut Hariman Siregar, ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM UI) yang juga sebagai kordinator lapangan (korlap) menyatakan aksi massa, unjuk rasa mahasiswa sudah selesai pukul 14.30 WIB.
Kerusuhan itu terjadi setelah aksi masa mahasiswa usai. Sudah sore, kisah Hariman, mengenang masa lalu itu kepada saya, suatu saat berada di Surabaya.
Kemudian diketahui, massa yang brutal itu berasal dari kalangan buruh. Mereka memulai aksi di Pasar Senen, Blok M, dan kawasan Glodok. Setelah itu merembet ke wilayah lain. Massa buruh itu juga disusupi preman yang menjarah dan membakar mobil buatan Jepang dan toko-toko. Suasana di Jakarta benar-benar rusuh dan mencekam. Aparat keamanan kewalahan, bahkan ikut juga jadi sasaran amuk massa yang melempari dengan batu.
Ada Pangkopkamtib
Situasi di ibukota tak terkendali. Sehingga Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) Jenderal Soemitro, ikut turun ke jalan. Ia berusaha mengendalikan keadaan. Bahkan ikut pidato memberi pengarahan kepada massa demonstran.
Awalnya pasukan keamanan berusaha menghadang massa yang bergerak ke arah Istana Presiden di Sarinah, Jakarta Pusat. Tetapi, setelah terjadi huru-hara di sore hari hingga malam, pola pengamanan berubah.
Aksi demo, masih berlanjut, tanggal 16 Januari 1974. Tetapi suasana makin kacau, karena aksi demo pelajar dan mahasiswa itu sudah ditunggangi massa liar. Upaya berdamai dengan mahasiswa berhasil diredam. Tetapi aksi di berbagai fasilitas umum tidak bisa dikendalikan.
Pada saat akhir kerusuhan dan tanggal 17 Januari1974, Tanaka sudah kembali ke Jepang. Dari Istana Negara Tanaka didampingi Presiden Soeharto naik helikopter ke Bandara Halim.
Hari itu di berbagai tempat api dan asap masih ada. Di halaman gedung dan pinggir jalan sebanyak 807 mobil dan sepeda motor buatan Jepang hangus terbakar. Kecuali itu, ada 145 gedung dan bangunan rusak dan lima di antaranya terbakar. Juga dilaporkan sekitar 160 kilogram emas dan perhiasan dijarah di toko-toko perhiasan. Sebelas orang meninggal dunia dan lebih 400 orang luka-luka berat dan ringan.
Hariman Siregar Ditahan.
Aparat keamanan bertindak cepat, melakukan penangkapan dan penahanan terhadap massa aksi. Terutama terhadap para penjarah dan yang melakukan perusakan. Begitu pula kepada massa yang berada di sekitar mobil dan sepeda motor yang dibakar.
Yang cukup menarik, usai aksi massa itu, terjadi penangkapan dan penahanan sebanyak lebih 750 orang. Di antaranya beberapa tokoh mahasiswa dan tokoh masyarakat yang dianggap sebagai “dalang” di belakang peristiwa Malari ini.
Tokoh utama, sebagai “kambing hitam” adalah Hariman Siregar. Ketua DM UI ini dianggap paling bertanggungjawab selaku pemimpin aksi demonstrasi. Selain Hariman, juga ditangkap dan ditahan beberapa tokoh masyarakat lainnya.
Mereka dituding sebagai pemicu demonstrasi itu. Mereka dicurigai berlatar belakang pernah aktif di Partai Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia), serta pendukung rezim Sukarno di zaman Orde Lama (Orla).
Tetapi banyak dari mereka bebas karena kurang bukti. Contohnya: Pengacara Yap Thiam Hien dan wartawan senior Pemimpin Harian Indonesia Raya, Mochtar Lubis. Mereka dilepas setelah setahun ditahan. Pengacara Adnan Buyung Nasution dibebaskan pada Oktober 1975 bersama sebelas mahasiswa, di antaranya: Judilherry Justam, Theo Sambuaga, Bambang Sulistomo, Eko Jatmiko, Yessy Moninca, dan Remy Leimena.
Malari Masih Misteri
Dari sekian banyak yang ditahan, hanya Hariman dan Sjahrir dari Universitas Indonesia serta Aini Chalid dari Universitas Gadjah Mada yang disidangkan ke pengadilan.
Ke tiga tokoh mahasiswa ini dituduh melakukan perbuatan subversi dan makar. Jaksa penuntut umum menggunakan pernyataan Hariman dan Sjahrir dalam beberapa kali pertemuan, sebagai koordinator lapangan dan otak peristiwa itu.
Dalam persidangan, sejumlah saksi menarik keterangannya di berita acara pemeriksaan. Ada yang mengaku tak sadar dan merasa terancam saat memberikan kesaksian di depan petugas pemeriksa.
Walaupun tidak cukup bukti menggerakkan kerusuhan Malari 1974 itu, Hariman Siregar tetap dijatuhi dijatuhi hukuman enam setengah tahun penjara pada 21 Desember 1974. Hakim menganggap “kelalaiannya telah berujung pada aksi pembakaran dan perusakan”.
Pada tanggal 12 Juni 1975, majelis hakim yang dipimpin Anton Abdurrahman Putera juga menjatuhkan hukuman enam tahun enam bulan penjara krpada Sjahrir. Sedangkan Aini Chalid, divonis dua tahun dua bulan.
Mereka yang ditahan itu, dikenakan Undang-Undang Antisubversi. Sebagian dibebaskan setahun setelah dipenjara sebab terbukti tidak terlibat.
Kendati peristiwa ini berdampak cukup besar, sesungguhnya hingga kini persoalan kerusuhan itu tidak pernah terungkap.
Sjahrir mengatakan, pengadilan tidak mampu membuktikan mahasiswa ada yang menjadi dalang di balik aksi pembakaran mobil dan penjarahan itu.
Boleh dikatakan latar belakang kerusuhan dan kekacauan, yang terjadi usai Demo Mahasiswa 15 Januari 1974 itu, masih mengandung misteri.
Ada berbagai tulisan dan artikel para analis menyatakan “Kasus Malari 1974” juga dilatabelakangi persaingan “peran” antara dua jenderal. Yaitu: Jenderal Sumitro dengan Mayjen Ali Murtopo.
Sumitro waktu itu sebagai Pangkopkamtib, sedangkan Ali Murtopo sebagai Aspri Urusan Khusus. (**)