beritalima.com – Hujan deras disertai gemuruh kilat dan hembusan angin besar tidak mengurungkan niatnya untuk meminta pergi ke toko buku. Sambil menggulung kertas karton warna merah berukuran A3, Zaskia merengek agar segera dipenuhi permintaannya. Dengan rasa letih karena baru saja pulang kuliah, aku terpaksa mengeluarkan motor yang sebelumnya telah kumasukkan ke dalam rumah.
Zaskia yang lahir pada 11 Januari 2006 secara cesar ini merupakan adik keduaku. Wataknya sangat mirip dengan ibunya; penyayang, penurut, serta sedikit tomboy. Menurut bapak dan adik pertamaku, suara Zaskia begitu cempreng, tidak jauh berbeda dengan suara sepasang panci yang sailng diadu. Karena itu, Zaskia kami juluki dengan sebutan “rintihan panci”.
Kali ini, Zaskia berambisi ke teko buku demi seonggok eksemplar yang diharapkan bisa mengantarkannya ke gerbang sekolah menengah pertama impiannya. Ya, tidak lama lagi, dia akan menghadapi ujian bertaraf nasional untuk memperebutkan bangku sekolah menengah pertama negeri. Dia begitu berhasrat memasuki sekolah favorit dengan label “rintisan sekolah berstandar internasional”. Sesuatu yang tidak mampu kudapatkan dahulu.
Zaskia akan mengambil buku merah dengan tebal 527 halaman pada rak di sudut kanan toko buku. Karena tinggi badan yang kurang memadai, dia melompat-lompat untuk meraihnya. Tentunya sebagai seorang kakak, aku menawarkan bantuan dengan sukarela. Namun, dengan keangkuhannya yang menjengkelkan, dia menolaknya mentah-mentah karena katanya, dia tidak ingin dianggap pendek. Tetapi dari perbuatan itu, Zaskia mendapatkan ganjarannya; beberapa buku berjatuhan, tersenggol tangannya yang dipenuhi luka cakar akibat sering mengganggu kucing tetangga. Aku tertawa terbahak-bahak melihat raut wajahnya yang panik, “hahahaha”.
Kubantu dia membereskan buku-buku yang berjatuhan tadi setelah mulutku telah lelah tertawa. Akhirnya, kami menuju kasir dan membayarkan harga yang tertera pada label buku. Kebetulan, toko tersebut sedang menawarkan promo dengan potongan harga sebesar 50 persen. Jadi aku hanya membayar separuh harga.
Sesampainya di rumah, Zaskia langsung membuka pintu kamar dan kemudian tidur. Aku yang baru saja memasukkan motor ke dalam rumah, segera menaruh buku barunya di atas meja belajar di dalam kamarnya. Sekilas, kulihat Zaskia sangat pulas, tergambar dengan jelas rasa lelah yang menggantungi matanya yang terkatup. Di situ, aku memandang setiap detail wajahnya lagi lebih dalam.
Adikku sudah begitu besar. Tak terasa, dia akan memasuki masa pubertas dan pencarian jati diri. Ada setitik ketidakrelaan yang tertanam dalam benakku untuk melepas keceriaan masa-masa kecilnya dari penglihatanku. Bagaimana setelah dewasa nanti? Apa dia akan tetap menjadi adikku yang imut dan menggemaskan setelah kucubit pipinya berulangkali? Atau akan menjadi pribadi serius yang memantapkan tujuan hidup bersama jodohnya kelak? Dan kemudian senantiasa melupakan seluruh peristiwa lucu bersamaku?
Di samping semua kekurangan yang Zaskia miliki, aku selalu sangat menyayanginya. Setiap saat, aku selalu berpikir bagaimana perjalanan hidupnya nanti. Apakah akan berjalan bahagia, atau derai derita yang didapatnya. Aku tak kuasa jika melihat setetes saja air mata mengucur di gelombang pipi putihnya.
Aku teringat sebuah peristiwa ketika memasuki hari raya Idul Fitri. Zaskia selalu menjadi orang pertama yang meminta maaf kepadaku. Dia selalu menangis, aku selalu menangis, dipelukkannya. Seluruh ruang kosong di sela jemari kecil putihnya kuselingi dengan jemariku yang besar berwarna sawo matang. Kugenggam erat tangannya, sampai air mataku berhenti mengalir deras.
Terlepas dari semua implus yang melankolis, aku tersadar bahwa dukungan harus tetap berjalan seiringan dengannya, dariku. Setiap sujud dalam solatku, tak pernah lupa kusebut namanya dengan mata tertutup khusyu. Aku berharap, semoga Zaskia dapat mampu mengarungi setiap tantangan hidup, karena aku tahu, adikku ini sangat kuat.
Aku mengangkat tanganku yang tak kusadari menguasap dahi Zaskia si putri tidur. Aku kelihatnya beberapa detik, dan kemudian mendaratkan kecupan di dahi, pipi, dan hidungnya yang kecil.
Feature Oleh: Rifqi Aufal Sutisna (PNJ}