Sidak Proyek Pasar dan Cuci Kendaraan di Pondok Maritim, Komisi B: Harus Dibongkar karena di Zona Hijau

  • Whatsapp

SURABAYA, Beritalima.com-
Polemik pembangunan pasar swasta dan cuci kendaraan di sekitar permukiman warga Pondok Maritim, Jalan Klumprik Selatan, Kelurahan Balas Klumprik, memasuki babak baru.

Penolakan warga yang semakin masif membuat Komisi B DPRD Surabaya melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke lokasi proyek pada Kamis 9 Januari 2025

Komisi B DPRD Surabaya sidak ke lokasi proyek pembangunan pasar swasta dan cuci kendaraan di sekitar permukiman warga Pondok Maritim, Jalan Klumprik Selatan, Kelurahan Balas Klumprik.

Kedatangan wakil rakyat disambut antusias warga yang menanti. Dengan suara kompak, mereka menuntut pembongkaran pasar yang pembangunannya mencapai 50 persen.

Kekecewaan warga semakin memuncak karena pembangunan pasar tersebut dianggap mengabaikan kepentingan umum dan melanggar aturan.

Selain dilontarkan secara lisan, penolakan warga juga tertuang pada spanduk bertuliskan ‘WARGA MENOLAK PEMBANGUNAN PASAR/TAMAN BELANJA’. Dalam spanduk itu warga juga menandatangani menegaskan bahwa mereka menolak pembangunan tersebut.

Ketua Komisi B DPRD Surabaya Muhammad Faridz Afif dalam keterangannya mengungkapkan hasil temuan mengejutkan dari sidak tersebut.

“Setelah sebelumnya kita lakukan rapat bersama dan kita kaji bersama, dan sidak hari ini ternyata terungkap bahwa tanah yang digunakan untuk pembangunan pasar ini merupakan aset milik Pemkot Surabaya. Pembangunan dilakukan tanpa adanya izin dari pemerintah kota dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). Ini jelas merupakan pelanggaran yang serius,” tegas Afif di sela-sela sidak.

Lebih lanjut, Afif menjelaskan bahwa tanah tersebut sebenarnya merupakan ruang terbuka hijau (RTH).

“Sesuai peruntukannya, tanah ini harus dikembalikan fungsinya sebagai RTH. Pembangunan pasar di atas tanah aset milik pemerintah kota adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Maka mau tidak mau harus dilakukan pembongkaran,” imbuhnya.

Sementara Mochamad Machmud, Wakil Ketua Komisi B menjelaskan, keluhan masyarakat terkait penolakan pendirian pasar liar akhirnya menemukan titik terang.

“Setelah melalui mediasi intensif, pengembang akhirnya menyetujui untuk membongkar sendiri bangunan mereka paling lambat akhir Februari mendatang, sehingga kita minta Maret sudah bersih,” kata Machmud.

Machmud menegaskan bahwa penggunaan lahan hijau untuk aktivitas komersial merupakan pelanggaran tegas.

“Ini merupakan aset pemkot yang pengelolaannya ada di DLH, karena memang lokasi ini masuk dalam zona terbuka hijau atau RTH,” ujarnya.

Machmud juga mengingatkan pentingnya menjaga kondusifitas wilayah, terutama setelah adanya kesepakatan bersama.

“Kita patut bersyukur bahwa permasalahan pasar ini akhirnya menemukan titik temu. Kami mengimbau warga setempat untuk tetap menjaga ketertiban dan kerukunan,” imbuhnya.

Keputusan ini disambut baik berbagai pihak, mengingat pentingnya menjaga kelestarian ruang terbuka hijau bagi kota Surabaya. Selain jajaran legislatif di lokasi juga turut hadir camat, lurah dan Kepala DLH Dedik Irianto.

Dalam kesempatan ini Dedik memastikan bahwa betul lahan yang dibangun pasar tersebut merupakan aset pemkot.

“Karena masuk dalam ruang terbuka hijau, pengelolaan ada di kami DLH,” sebut Dedik.

Sementara perwakilan warga, Eko yang juga Ketua RT 12/RW 06 menyampaikan apresiasi terhadap DPRD yang telah menindaklanjuti aspirasi warga.

“Yang paling penting adalah dari sidak ini menemukan titik temu yakni pembongkaran,” tandasnya.

Menurut Eko ada beberapa dasar warganya menolak pembangunan pasar tersebut. Salah satu yang diungkapkan adalah kekhawatiran mereka akan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh proyek tersebut.

Selain masalah kemacetan dan sampah, warga juga khawatir akan meningkatnya aktivitas kriminalitas di sekitar pasar. Mereka merasa bahwa keberadaan pasar akan mengubah karakteristik lingkungan perumahan mereka yang selama ini aman dan nyaman.

“Kami ingin hidup tenang dan damai di sini. Pembangunan pasar ini dikhawatirkan akan merusak lingkungan hidup kami. Apalagi pasar ini diketahui tidak memiliki izin dan berdiri di lahan RTH,” ujarnya.

Dari total 12 RT di RW 6, lanjut Eko semua pengurus RT dan warga sepakat mendukung penolakan pembangunan pasar tersebut.

“Intinya semua warga tidak mendukung dengan keberadaan pasar dan cuci kendaraan tersebut,” tegasnya.

Sedangkan Diving, pengembang dari PT Prima Citra Buana menyatakan kekecewaan atas keputusan tersebut. Meski demikian dia akan tetap melaksanakan pembongkaran pasar ini karena ada keputusan.

“Sebenarnya kalau keputusan ini sangat kami sayangkan, karena peruntukan pasar ini untuk hajat orang banyak. Tapi ketika ada kunjungan ini sepakat dibongkar, ya kami tidak bisa berbuat banyak tetap kita laksanakan,” tandasnya.

Diving menegaskan bahwa awalnya proyek ini diharapkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat.

“Pondok Maritim ini luasnya hampir 35 hektare di mana yang namanya kawasan komersial seperti pasar itu di wilayah ini belum punya, adapun pasarnya tapi kecil kecil,” ungkapnya.

Proyek yang sudah berjalan 50 persen dengan anggaran mencapai Rp 350 juta ini akhirnya sia-sia. Ini merupakan kerugian finansial yang cukup besar.

“Pembangunannya menelan Rp 350 juta, termasuk biaya pengurukan tanah dan lain-lain. Pembangunan pasar sudah mencapai sudah 50 persen,” tandanya.

Diving tidak menampik jika proyek ini dimulai tanpa memiliki izin yang lengkap, tapi mengandalkan persetujuan lisan dari pejabat pemerintah.

“Karena sebelumnya ada pak wakil wali kota ke sini ada warga minta dibangunkan pasar dan disetujui. Sehingga prosedur pembangunannya langsung,” pungkasnya.(Yul)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait