SURABAYA, beritalima.com – Sidang lanjutan perkara dugaan kekerasan seksual dengan terdakwa Liem Tjie Sen alias Sentosa Liem (45) kembali digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (10/11/2025). Dalam sidang tersebut, pihak terdakwa melalui kuasa hukumnya, Dr. Johan Widjaja, S.H., M.H, mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Tanjung Perak, Renanda Kusumastuti.
Dalam eksepsi yang dibacakan di hadapan majelis hakim, Johan Widjaja menyebut bahwa dakwaan JPU terhadap kliennya prematur dan tidak memenuhi unsur hukum yang sah. Menurutnya, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan adanya tindakan kekerasan fisik maupun psikis terhadap korban berinisial EP (45).
“Klien kami sejak lama menjalani pengobatan di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya dan masih mengonsumsi obat dari dokter hingga Februari 2025. Dengan kondisi tersebut, ia tidak dalam keadaan psikis yang normal,” ujar Johan Widjaja usai sidang.
Sebagai pembela, Johan Widjaya juga mengajukan bukti berupa hasil pemeriksaan psikologi forensik dari Rumah Sakit Bhayangkara H.S. Samsoeri Mertoerjoso, Surabaya, tertanggal 20 Juni 2025, yang menyebutkan bahwa Liem mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan dan menganalisis situasi secara wajar.
Johan Widjaja menilai bahwa kondisi medis tersebut menyebabkan kliennya mudah salah menangkap informasi dan salah memahami komunikasi, termasuk saat berinteraksi dengan korban. Ia juga menambahkan bahwa terdakwa memiliki tendensi bertindak tanpa berpikir panjang, yang menurutnya merupakan efek jangka panjang dari penggunaan obat psikotropika.
“Gangguan fungsi otak membuat daya ingat dan kemampuan berpikirnya menurun. Oleh karena itu, perbuatannya tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP,” jelas Johan Widjaja.
Selain aspek medis, tim kuasa hukum juga mengajukan dua hasil visum et repertum terhadap korban EP, masing-masing Nomor VER/404/VIII/KES.3/2024 dan VER/609/IX/KES.3/2024. Dari hasil visum yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit Bhayangkara, disebutkan tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban.
Atas dasar itu, Johan Widjaja menegaskan bahwa hubungan antara terdakwa dan korban terjadi atas dasar suka sama suka, bukan kekerasan atau paksaan sebagaimana didakwakan.
Dalam eksepsinya, tim kuasa hukum meminta majelis hakim untuk, menyatakan surat dakwaan JPU tidak sah dan tidak dapat diterima. Menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana kekerasan seksual. Memerintahkan agar terdakwa dibebaskan dari tahanan. Memulihkan nama baik dan hak-hak terdakwa.
Kasus ini sendiri bermula dari perkenalan Liem dan EP melalui aplikasi pencarian jodoh, 19 Februari 2024 lalu. Hubungan keduanya berlanjut menjadi asmara yang cukup intens antara Februari hingga Juni 2024. Namun, dari kisah cinta itu, muncul dugaan bahwa Liem melakukan tindakan kekerasan seksual di beberapa lokasi—mulai dari Pantai Ria Kenjeran, sebuah hotel di kawasan Kenjeran, hingga area parkir RS Mitra Keluarga Sidoarjo.
Jaksa menilai, perbuatan Liem bukanlah sekadar hubungan suka sama suka, melainkan persetubuhan disertai ancaman. Ia pun didakwa melanggar Pasal 6 huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Namun, dari hasil visum forensik yang dilakukan oleh dr. Ma’rifatul Ula, Sp.F.M., ditemukan luka robekan lama akibat kekerasan tumpul yang mengindikasikan adanya penetrasi. Bukti itu menjadi pegangan jaksa untuk menegaskan bahwa tindak kekerasan memang terjadi. (Han)








