SURABAYA, beritalima.com – Sidang tertutup perkara dugaan kekerasan seksual dengan terdakwa Liem Tjie Sen alias Sentosa Liem kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu (10/12/2025).
Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Agus Cakra Nugraha itu menghadirkan saksi korban berinisial EP (45) untuk dimintai keterangan secara langsung.
Terdakwa Liem Tjie Sen didakwa melanggar Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) atas dugaan tindak kekerasan seksual yang terjadi sepanjang 2024.
Usai persidangan, kuasa hukum terdakwa, Dr. Johan Widjaja SH, MH, menilai keterangan saksi korban menunjukkan sejumlah ketidakonsistenan penting dibandingkan dengan penjelasan terdakwa.
“Dari keterangan tadi saya melihat ada ketidakonsistenan dan terdapat beberapa poin yang berbeda antara korban dan terdakwa,” ujar Dr. Johan.
Perbedaan utama muncul terkait waktu awal kejadian. Dalam BAP, korban menyebut kekerasan seksual dimulai awal Maret 2024, sementara terdakwa mengaku hubungan fisik baru berlangsung awal April 2024.
Tim pembela juga mempertanyakan bentuk kekerasan yang diklaim korban. Menurut Dr. Johan, saat dimintai penjelasan, korban menyebut bahwa ancaman untuk melayani hubungan intim menjadi faktor utama.
Pihak terdakwa kemudian menyoroti hasil visum dari RS Bhayangkara Surabaya, yang menurut mereka menunjukkan tidak adanya tanda kekerasan fisik yang mendukung klaim tersebut.
“Buktinya visum tidak menunjukkan kekerasan fisik. Itu juga diakui korban. Jadi bentuknya hanya ancaman, bukan paksaan fisik,” tegas Dr. Johan.
Selain itu, kuasa hukum terdakwa mempertanyakan alasan korban tetap bersedia berhubungan badan berulang kali.
“Korban menjelaskan bahwa ia dijanjikan pernikahan oleh terdakwa,” ujarnya.
Dalam persidangan, Liem Tjie Sen kembali membantah seluruh tuduhan pemaksaan. Ia menyebut hubungan yang terjadi—baik di mobil maupun di hotel—dilakukan atas dasar suka sama suka. Bahkan, menurutnya, inisiatif hubungan oral datang dari pihak korban.
Saat Majelis Hakim menanyakan kemungkinan perdamaian, korban EP menolak dan menyatakan kasus sudah telanjur bergulir.
Kasus ini bermula dari perkenalan korban dan terdakwa melalui aplikasi pencarian jodoh, pada 19 Februari 2024. Hubungan kemudian berkembang menjadi hubungan pribadi yang lebih dekat.
Menurut dakwaan jaksa, tindakan yang dipersoalkan bermula pada awal Maret 2024 di area Pantai Ria Kenjeran menggunakan mobil, lalu berlanjut di sejumlah lokasi berbeda, termasuk hotel dan area parkir Rumah Sakit Mitra Keluarga Sidoarjo.
Meski pihak pembela menolak adanya kekerasan fisik, visum et repertum yang dibuat dokter forensik RS Bhayangkara H.S. Samsoeri Mertojoso, dr. Ma’rifatul Ula, Sp.F.M., mencatat adanya luka robekan lama akibat kekerasan tumpul yang mengindikasikan adanya penetrasi. (Han)








