SURABAYA, beritalima.com | – Sidang gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) antara Nany Widjaja melawan PT Jawa Pos kembali bergulir di Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu (26/11/2025). Dalam persidangan tersebut, PT Jawa Pos menghadirkan ahli hukum perikatan Universitas Airlangga (Unair), Dr. Ghansham Anand, yang memberikan keterangan penting terkait keabsahan akta notaris dan perjanjian nominee.
Di hadapan majelis hakim, Dr. Ghansham memaparkan bahwa akta notaris memiliki azas praduga sah (presumptio iustae causa). Artinya, akta notaris wajib dianggap benar dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna hingga ada bukti yang mampu membuktikan sebaliknya.
“Asas ini sejalan dengan Pasal 1868 KUHPerdata. Akta notaris itu alat bukti sempurna, kecuali dibuktikan palsu atau tidak sah,” jelasnya.
Ahli juga menjelaskan konsep perjanjian nominee, yakni situasi ketika seseorang bersedia meminjamkan namanya untuk kepentingan pihak lain. Namun sah atau tidaknya perjanjian nominee tetap bergantung pada pemenuhan syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Kecakapan para pihak, kesepakatan tanpa cacat kehendak, objek tertentu dan kausa yang diperbolehkan
“Selama tidak ada cacat kehendak seperti paksaan atau ancaman, dan kausanya tidak melanggar hukum, maka perjanjian itu sah,” tegas Dr. Ghansham.
Dikonfirmasi setelah sidang, kuasa hukum Nany Widjaja, Richard Handiwiyanto dan Billy Handiwiyanto menegaskan bahwa dalam perkara ini tidak pernah ada perjanjian nominee sama sekali.
“Nominee boleh saja sepanjang tidak ada fraud. Tapi dalam kasus ini jelas tidak ada kesepakatan nominee. Bahkan saham atas tunjuk itu dilarang oleh UU Penanaman Modal dan UU Perseroan Terbatas,” ujar Richard.
Menepis pernyataan pihak Jawa Pos bahwa kliennya tidak pernah menyetor saham, pihak penggugat menjelaskan bahwa Nany membeli saham langsung dari pemilik awal PT Dharma Nyata Pers, bukan melalui penyetoran modal baru.
Sementara itu, kuasa hukum Dahlan Iskan, Johanes Dipa Widjaja, menyoroti bahwa perjanjian nominee bertentangan dengan hukum positif Indonesia.
Ia mengungkapkan bahwa Dr. Ghansham sendiri pernah membimbing tesis terkait larangan perjanjian nominee dalam kepemilikan saham perseroan. Berdasarkan UU Penanaman Modal dan UU Perseroan Terbatas (UUPT), saham perseroan wajib atas nama, sehingga tidak dapat dialihkan atau diakui atas dasar pinjam nama.
“Undang-undang menyebutkan saham Perseroan harus dikeluarkan atas nama pemiliknya. Ini norma dwingend recht (bersifat memaksa). Penyimpangannya membuat perjanjian batal demi hukum,” tegas Johanes.
Usai sidang, Nany Widjaja menegaskan bahwa dirinya hanya memperjuangkan haknya sebagai pemilik saham yang sah.
“Saya membeli saham PT Dharma Nyata Pers dengan uang saya sendiri. Tidak pernah ada perjanjian nominee dari awal sampai akhir,” tegasnya.
Persidangan yang berlangsung hingga petang ini semakin menyorot tajam persoalan keabsahan akta notaris, legalitas perjanjian nominee, dan status kepemilikan saham PT Dharma Nyata Pers. Sidang akan dilanjutkan dengan agenda pembuktian lebih lanjut. (Han)








