SURABAYA – beritalima.com, Ninik Hartini, mantan pegawai dari kantor Notaris Edhi Susanto dan Coni Hadiprianto, pensiunan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya 2, didatangkan Jaksa di persidangan kasus dugaan pemalsuan surat. Kamis (7/7/2022).
Dalam sidang saksi Ninik mengakui jika dirinya mengetahui proses jual beli yang dilakukan antara Hardi Kartoyo, Itawati Sidharta dan Tiono Satria Dharmawan. Sekitar tahun 2017, Waktu itu kata Ninik, Hardi Kartoyo datang ke kantor Notaris Edhi Susanto kemudian menyerahkan tiga sertifikat.
“Pak Hardi datang, menyerahkan 3 sertifikat. Namun dia tidak pernah mendatangkan istrinya yakni Itawati Sidharta,” kata Ninik.
Lanjut saksi Ninik, dari tiga sertifikat yang diserahkan tersebut, salah satunya terkena pemotongan jalan atau reeland Jalan Kenjeran Surabaya.
“Pak Hardi sendiri sudah menerima ganti rugi atas pemotongan jalan itu. Ia datang ke kantor notaris untuk diproses sertifikat itu,” lanjutnya.
Sambung saksi Ninik, untuk sertifikat yang belum dipotong dengan logo bola dunia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus dilakuakan penggantian sertifikat.
Pada persidangan ini, saksi Ninik menjelaskan bahwa Hardi telah menerima uang sebesar Rp. 500 juta, dan pembeli juga sudah mengganti uang-uang charge sebanyak Rp. 150 juta sehingga total uang yang sudah diterima Hardi Kartoyo sebanyak Rp. 650 juta.
Hakim Suparno yang ditunjuk sebagai Ketua Majelis untuk Terdakwa Edhi Susanto kemudian bertanya kepada Ninik, dari tiga sertifikat yang diserahkan ke Notaris Edhi Susanto, apakah ada pengurangan luas tanah?
Saksi Ninik kemudian menjawab, yang satu tidak sedangkan yang dua ada pengurangan luas.
Kepada Hardi Kartoyo, apakah Notaris Edhi ada meminta syarat-syarat untuk dilakukan checking? Saksi Ninik menjawab harus ada lampiran dari BPN.
Sejak Hardi Kartoyo menerima uang sebesar Rp. 500 juta, saksi Ninik menjelaskan, bahwa Notaris Edhi sudah menyiapkan perjanjian.
Dan dalam membuat perjanjian yang telah disiapkan Notaris Edhi itu, saksi Ninik kembali menjelaskan, Itawati Sidharta yang merupakan istri Hardi Kartoyo, harus dihadirkan.
“Sampai terjadi masalah seperti ini, Itawati tidak pernah didatangkan ke kantor Notaris Edhi Susanto,” ujar Ninik.
Pada persidangan ini, saksi Ninik juga ditanya, apakah perjanjian jual beli antara Tiono Satrio Dharmawan dengan Hardi Kartoyo dapat terlaksana? Saksi Ninik pun menjawab tidak.
Mengapa proses jual beli itu tidak terlaksana? Saksi Ninik kembali menjelaskan, ketika perjanjian jual beli selesai dibuat, Hardi Kartoyo tidak pernah datang, walaupun telah dilakukan pemanggilan.
“Sertifikat sudah selesai dan pihak bank juga telah menunggu. Hardi Kartoyo telah dipanggil notaris, baik melalui surat, telpon, namun tidak pernah datang,” terangnya.
Sementara saksi Coni Hadiprianto mengaku bahwa dirinya berdinas di BPN Surabaya sejak tahun 1986 sampai 2021 dengan jabatan sebagai koordinator buku Tanah dan cheking termasuk wilayah tugasnya.
Dalam sidang Coni mengungkapkan bahwa dirinya pada tahun 2018 pernah menerima permohonan cheking tanah untuk tiga sertifikat (78K, 328K, dan 721) atas nama Itawati Sidharta.
“Untuk pengukuran ulang yang saya ingat hanya SHM 78K yang dilakukan perubahan. Selain pengecekan tanah, saya juga menerima permohonan pergantian sertifikat dari yang berlogo Bola Dunia.” ungkapnya.
Kata Coni, untuk proses pengantian sertifikat dari Bola Dunia wajib dilakukan cheking dan pengukuran ulang.
Dijabarkan Cony, syarat-syarat melakukan cheking maupun penggantian sertifikat dari Bola Dunia ke Garuda dibutuhkan, sertifikat itu sendiri, mengisi blangko pengukuran, KTP, Permohonan dan surat kuasa apabila pemohon tidak bisa hadir.
Ditanya Jaksa apakah diperbolehkan surat kuasa dibawah dari luar tanpa kehadiran pihak pemohon,?
“Yang terjadi selama ini, surat kuasa dipegang sama pihak biro jasa atau puhak ketiga. Meski hal tersebut menurut saya bertentangan dengan aturan,” jawab saksi Coni.
Dikonfirmasi selepas sidang, Pieter Talaway kuasa hukum Terdakwa Edhi Susanto dan Feni Talim mengatakan berdasarkan keterangan saksi jelas terungkap bahwa proses jual beli antara Hardi Kartoyo dan Tiono Satria Dharmawan dilakukan dengan kredit.
“Kalau sudah jelas bahwa proses jual beli itu dilakukan tidak secara kredit, lanjut Pieter, tetapi jual beli biasa, kenapa harus dihadiri pihak bank? Pelapor sendiri mengatakan bahwa proses jual beli yang ia lakukan tidak melalui kredit bank. Lalu, kenapa ada pihak bank disana?,” tanya Pieter.
Kita, sambung Pieter, dalam mengucapkan sesuatu, harus masuk akal. Gunakan akal sehat, jangan hanya berdasarkan suara orang.
Terpisah, Ronald Talaway mengatakan saksi Ninik telah menjelaskan bahwa pelapor telah mengetahui adanya pembiayaan pembelian objek sengketa yang melalui kredit dari Bank J-Trust karena pelapor sendiri ikut dalam pertemuan dengan Bank J-Trust bersama pembeli dan terdakwa.
“Hal ini selaras dengan keterangan saksi Happy mantan pegawai J-trust minggu lalu,sehingga persyaratan perubahan pergantian cover pun sudah diketahui sejak awal dan pelapor pun sudah menerima uang muka sebesar Rp 500 juta ditambah ada beban tunggakan pajak sekitar Rp 150 juta yang telah dibayarkan pembeli. “Jadi yang untung justru seharusnya pelapor dalam hal ini,” pungkas Ronald. (Han)