Sidarto Danusubroto: Konsisten Menghadapi Jalan Terjal Perubahan

  • Whatsapp
Sidarto (batik merah dengan peci hitam) bersama komunitas Patriot

Jakarta, beritalima.com| Sebagai politisi senior, sosok Sidarto Danusubroto tampak konsisten dalam menghadapi dinamika perjalanan terjal perubahan. Ini terlihat ketika ia merayakan ulang tahunnya ke-88 tahun baru-baru ini, di Hotel Bidakara, Jakarta (11/6).

Sidarto kelahiran Pandeglang, Banten, 11 Juni 1936, sosok yang langka sekaligus luar biasa. Mengapa? Karena di usianya yang sangat senior, ia tetap tampil tegar dan bugar. Sebagai politisi senior, ia kini menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dua periode era Presiden Jokowi (2014-2024).

Sebagai pensiunan perwira tinggi bintang dua di Polri, kejeliannya dalam membaca permasalahan sangat terasa, baik terkait isu dalm negeri maupun internasional. Tak heran, dengan segudang penglaman yang melatarbelakanginya, ia mendapat kepercayaan menempati beberapa posisi strategis di Pemerintahan (Kapolda, Anggota DPR-RI, Ketua MPR-RI hingga Wantimpres).

Dari Soekarno Hingga Jokowi

Saat acara Hut ke-88 tahun, Sidarto meluncurkan kembali bukunya yang sudah direvisi – terbit pertama 2016, kedua 2017 dan ketiga 2024) berjudul “ Jalan Terjal Perubahan, Dari Ajudan Bung Karno nsampai Wantimpres Joko Widodo”. Siapa sebenarnys sosok Sidarto?

Dalam buku setebal 340 halaman diterbitkan oleh Kompas, terlihat sekali benang merah sepak terjang Sidarto sejak muda hingga kini. Ia pernah menjadi ajudan Presiden RI-1 Soekarno di masa sulit (1967-1968) dengan pangkat AKBP. Sehingga, ia menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan mengenaskan seorang proklamator yang justru wafat dalam suasana sangat tidak dihormati di negerinya sendiri.

Selepas Soekarno wafat (1970), Sidarto sempat terkena “karantina politik”, tak dapat posisi yang tepat di Polri hingga harus wajib lapor. Baru setelah dinyatakan “bersih” (1973), karirnya di Polri mulai membaik. Hingga ia pernah menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat.

Sidarto melewati pergantian tujuh Presiden sekaligus (Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, Susilo Banbang Yudhoyono dan Jokowi). Namun yang paling membuat karirnya melejit hingga ia layak dikatakan sebagai politisi, adalah di masa Presiden Megawati dan Jokowi.

Karena pernah sangat dekat Soekarno, tak heran Megawati Soekarnoputri percaya sekali dengan Sidarto ketika ingin bergabung ke PDI Perjuangan ketika era awal reformasi bergulir. Sidarto pun dengan mudah terpilih menjadi anggota DPR-RI dari PDIP secara berkelanjutan. Dan, pada 2013, setelah Taufik Kiemas wafat, ia pun dipercaya Megawati selaku Ketua Umum PDIP untuk mengganti posisi Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR.

Di masa Presiden Jokowi, peran Sidarto terus mendpt tempat. Ia dipercaya sebagai anggota Wantimpres hingga kini. Namun, dalam bukunya, Sidarto menyatakan sikap kritisnya terhadap langkah politik Presiden Jokowi saat Pemilihan Presiden 2024, yang “memaksakan” Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakik Presiden yang belum memenuhi syarat menjadi disetujui oleh keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi.

“Pilpres 2024 yang dianggap sangat curang, penuh intrik, rekayasa dan menabrak konstitusi sangat berbahaya bagi tatanan hukum dan demokrasi di Indonesia. Hal ini baru pertama kalinya dalam sejarah perpolitikkan di Indonesia’, seperti ditulis dalam buku Sidarto.

Peduli Pelanggaran HAM

Sebagai Soekarnois dan saksi sejarah, Sidarto paham sekali dampak dari peristiwa 1 Oktober 1965 yang mengakibatkan banyak jatuh korban bagi lawan politik. Itu sebabnya, Sidarto pernah terlibat sebagai Ketua Pansus UU Pengadilan Ham Ad Hoc dan Ketua Pansus UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Banyak kasus pelanggaran HAM masa lalu, seperti 1 Oktober 1965, penculikan, Timor Timur, Trisakti, Tanjung Priok, Semanggi, Talangsari/Lampung, Papua, dan lain sebagainya. Di sini Sidarto sangat tegas untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu sesuai dengan aturan yang berlaku.

Belakangan ini, Sidarto juga ikut menjadi penasehat dari komunitas Patriot, yang sebagian besar dihuni oleh keluarga eks tahanan politik kasus 1 Oktober 1965 atau yang dianggap pro Soekarno (Soekarnois).

“Pak Sidarto adalah tokoh nasional yang memiliki keyakinan dan kesetiaan ideologis yang tak bisa dikompromikan dengan apapun. Satu hal yang langka dijumpai saat itu,” ucap Jenderal Polisi (Purn.) Suroyo Bimantoro, Kapolri ke-16 yang turut hadir saat acara hut Sidarto.

Jurnalis: Abriyanto

 

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait