Oleh : Dr. Lia Istifhama, M.E.I
beritalima.com | Pada tahun 2019 dan sebelumnya, hari Raya Idul Fitri atau hari lebaran erat kaitannya dengan istilah Halal Bi Halal. Bahkan, istilah Halal Bi Halal masih sangat wajar disebutkan dalam rangkaian momen silaturahmi di tengah masyarakat saat bulan Syawal usai.
Pada tanggal 12 Desember 2002 atau 9 Syawal 1423 H dalam acara Halal bi halal di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Tanjungmuli Purbalingga, Almaghfirlahu KH. Fuad Hasyim Buntet, Cirebon, menuturkan bahwasannya pencetus istilah Halal Bi Halal ialah KH. Abdul Wahab Chasbullah. Pada saat itu tahun 1945 setelah merdeka, para elite politik saling curiga dan bertengkar, juga tidak duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII, PKI (Madiun affair).
Untuk mengatasi situasi politik yang rusuh pada saat itu, maka Kiai Wahab menyarankan kepada Bung Karno agar mengadakan acara Silaturrahim dengan mengundang semua elite yang bertikai. Hal ini sekaligus untuk bersilaturrahim dalam peringatan Hari Raya Idul Fitri sesuai sunnahnya. Lalu Bung Karno berkomentar: “Silaturrahmi itu kan (istilah) biasa, saya ingin istilah yang lain”.
Dan kemudian Kiai Wahab menjawab “Itu gampang. Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling curiga dan saling menyalahkan. Padahal saling menyalahkan itu dosa. Dan dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah “halal bi halal”.
Begitulah saran Kiai Wahab seperti dituturkan oleh Kiai Fuad Hasyim yang semasa hidupnya sering bertemu dengan Kiai Wahab. Dari saran Kiai Wahab tersebut kemudian Bung Karno pada hari raya Idul Fitri mengundang semua tokoh Nasional dan elite politik ke istana negara untuk ber-halal bi halal. Mereka yang datang pun penasaran dengan istilah tersebut. Namun kemudian mereka menyadari tatkala mereka datang dan duduk bersama satu meja. Mereka saling berbicara penuh kehangatan dan saling memaafkan. Inilah babak baru untuk menggalang kekuatan dan persatuan bangsa.
Subhanallah, sungguh bijak Presiden pertama Indonesia yang telah membangun kebersamaan dan persatuan…
Dengan begitu, konteks halal bi halal adalah momentum silaturahmi, yang dalam Islam, hal ini sangatlah diutamakan. Dijelaskan dalam sebuah hadis:
تَعَلَّمُوْا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُوْنَ بِهِ اَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الْأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ مَنْسَأَةٌفِي الْأَثَرِ (رواه أحمد)
“Pelajarilah dari nasab-nasabmu apa yang kamu dapat bersilaturrahim dengannya, karena sesungguhnya silaturahim itu menyenangkan keluarga, memperbanyak harta dan memperpanjang umur.” (HR. Ahmad, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 3319).
سيلاتوراهميتَزِيْدُ فِي الْعُمْرِ وَصَدَقَةُ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِ (رواه القضاعي عن ابن مسعود)
“Silaturrahim itu menambah umur, dan sedekah itu memadamkan murka Tuhan.” (HR. Qudha’i dari Ibnu Mas’ud, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 5002).
Momentum silaturahmi, momentum penguatan ikatan persaudaraan, telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW tatkala mempersaudarakan sahabat Anshar Madinah dengan Muhajirin Makkah pada 12 Ramadhan tahun pertama setelah hijrah. Ikatan saudara kedua kaum semakin kuat tatkala mereka menghadapi kaum kafir dalam perang Khandaq.
Dalam kehidupan di masa sekarang, seyogyanya potret persaudaraan yang telah dicontohkan oleh kaum Anshar dan Muhajirin pun, harus terbangun oleh kita. Pentingnya membangun persaudaraan merupakan semangat penguatan ukhuwah Islamiyyah.
Dalam Islam, dijelaskan bahwa konsep dasar sikap Ukhuwwah Islamiyah adalah internalisasi diri bahwa sesama orang mu’min bagaikan anggota tubuh, sesuai kitab Shahih Bukhari hadis nomor 5703 dijelaskan:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَرَى الْمُٶْمِنِيْنَ فِيْ تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ اِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى.
Bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Kamu melihat orang-orang mu’min dalam kasih sayang, cinta mencintai dan belas kasih mereka seperti tubuh. Apabila tubuh itu mengaduh karena salah satu anggota badan (sakit), maka seluruh tubuh itu memanggilnya dengan jaga dan (dari) demam.”
Dengan begitu, jika sesama manusia menyadari bahwa semuanya merupakan saudara, maka hubungan sosial pun terjalin kuat dan sebaliknya, menghindari segala perilaku yang menyakiti sesama saudaranya. Terlebih jika ikatan tersebut diperkuat dengan momentum silaturahmi saat Bulan Syawal tiba. Subhanallah…