JAKARTA, beritalima.com | Sistem data pertanahan serta pengurusan dokumen-dokumen terkait hingga kini masih memiliki celah yang bisa dimanfaatkan oknum yang tak bertanggung jawab. Meski Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah bekerja sama dengan berbagai lembaga terkait, namun kasus mafia tanah masih saja ditemukan. Selain digitalisasi, proses pengurusan secara satu pintu menjadi opsi dalam menyederhanakan serta menertibkan perizinan serta pengurusan pertanahan.
Untuk diketahui, sistem satu pintu sebelumnya telah diterapkan dalam pengurusan investasi oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), lalu bagaimana dengan penerapannya di sektor pertanahan, apakah ini akan bisa menjadi jawaban dalam mengikis mafia tanah? Hal ini dijawab langsung oleh Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN, Surya Tjandra pada wawancara yang dilakukan secara daring dalam program Prime Time yang disiarkan Berita Satu TV, Jumat (26/02/2021).
“Kementerian ATR/BPN tentunya terus melakukan pembenahan, dimulai dari yang paling pertama kami membenahi aparat kami sendiri dulu, artinya mulai dari proses rekrutmen, proses seleksi dan kenaikan pangkat sedang diperbaiki paling tidak sejak empat tahun terakhir sedang diperbaiki. Kedua adalah pembenahan prosedur khususnya untuk produk masa lalu yang memang sebagian bermasalah perlu diberesin, tumpang tindih, dan lainnya. Ketiga perlu dikunci dengan satu proses baru yang istilahnya digitalisasi. Rasanya ini bukan cuma gengsi-gengsian tapi memang kebutuhan yang real untuk modernisasi administrasi pertanahan kita ke depan,” ujar Surya Tjandra.
Lebih lanjut Wamen ATR/Waka BPN menjelaskan tantangan dari pendaftaran tanah hari ini adalah lembaga yang bisa mengelurkan keterangan hak atas tanah ada banyak. Di masa lalu, pernah ada surat keterangan tanah dari kepala desa, hal ini disebabkan karena BPN pernah menjadi bagian dari Kemendagri, dan ini terus berlangsung sampai sekarang. “Tantangan yang berikut memang sampai hari ini sering kali terjadi, jadi kita tidak punya satu lembaga tunggal yang mengatakan mana yang sah mana yang tidak,” ungkap Surya Tjandra.
“Salah satu strategi ke depan ya sebetulnya ada yang namanya sistem stelsel positif, jadi pemerintah mengatakan ini yang sah dan itu dipertahankan. Kalau sekarang, para pihak yang harus berkompetisi atau bersengketa mencari solusi dan kalau pengadilannya terlibat juga ini yang menyulitkan. Untuk diketahui, pengadilan itu macam-macam, ada yang perdata, PTUN dan pidana, nah masing-masing memang perlu koordinasi, tidak cuma dari pemerintah eksekutif tapi juga yudikatif,” tambahnya.
Dalam mengintegrasikan proses maupun sistem data pertanahan, Kementerian ATR/BPN telah mulai dari data sudah clean and clear, artinya sudah relatif tidak ada sengketa kalau ingin ada permohonan alih media dari analog menjadi elektronik. “Masalah ini kan ada di prosedur, kalau di urusan pertanahan, prosedural itu menjadi krusial, kalau salah prosedur bisa menghasilkan kekacauan dan dengan model digital bisa lebih pasti. Karenakalau bicara digital 0 atau 1, tidak ada yang setengah. Jadi mengurangi potensi manipulasi. Kalau ketika clear tidak keluar dalam dokumen elektronik tidak bisa muncul kalau itu overlapping,” tutur Wamen ATR/Waka BPN.
Adapun tantangan yang dihadapi, Surya Tjandra mengungkapkan bahwa hari ini masyarakat belum sepenuhnya percaya pada Kementerian ATR/BPN. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan penjelasan kepada masyarakat apa yang sebetulnya sedang dikerjakan dan soal konsistensi dari Kementerian ATR/BPN, juga transparansi dalam semua proses. “Intinya kami butuh masukan dan kritik dari masyarakat dan media masa, dan kita bereskan satu persatu. Untuk meraih kepercayaan masyarakat juga tidak ada cara lain selain kita buktikan langsung ke masyarakat. Artinya kalau ada masalah kita tangani satu persatu. Untuk ini kami butuh dukungan dari semua pihak, khususnya dari aparat penegak hukum dan dalam konteks pertanahan juga ada unsur publik, juga unsur perdata. Unsur ini yang bagaimana pas nya untuk betul-betul memberikan kepastian hukum yang adil buat sebanyak mungkin orang,” kata Surya Tjandra.
Terkait dengan sistem satu pintu atau satu atap yang dianggap mampu mengikis mafia tanah, Surya Tjandra menyatakan bahwa telah masuk ke dalam sistem Online Single Submission (OSS). Meskipin demikian, yang menjadi tantangan sekarang adalah bagaimana koordinasi dan kolaborasi mulai dari prosedural khususnya karena prosedur menjadi sangat krusial dalam konteks kepastian hukum pertanahan. Dan kemudian kerja sama dari semua pihak, khususnya dari masyarakat sendiri yang memang merasa punya hak harus berani menyampaikan dan ketika diputuskan oleh pemerintah atau pengadilan bisa dipatuhi. “Ini proses panjang tentunya karena ada unsur kepentingan. Rasanya sudah mulai ke arah yang tepat kalau seluruh bidang tanah sudah terdaftar, kita bisa mulai pelan-pelan yang sudah menjadi desa lengkap itu mengarah ke elektronik. Jadi kombinasi dari analog dan elektronik terus bertahap. Dan mudah-mudahan rasanya ini akan lanjut. Ini menjadi PR kita semua sebagai bangsa,” pungkas Surya Tjandra. (LS/RZ)