Sinergitas KY Dan Hakim

  • Whatsapp

Oleh: Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas IA)
Beberapa waktu lalu di salah satu hotel berbintang di Semarang terdapat perhelatan penting. Perhelatan dimaksud tidak lain sebuah forum diskusi yang dalam backround tertulis “Upaya Pencegahan Anarkhis di Persidangan dan Pengadilan”. Sesuai dengan tema yang diusung diskusi memang hanya menmapilkan pemateri dari berbagai unsur yang terkait dengan peradilan. Forum itu dapat dianggap bergengsi karena di samping diselenggarakan di hotel berbintang, penyelenggaranya adalahh salah satu lembaga tinggi Negara, Komisi Yudisial (KY). Ruang diskusi yang disetting dengan formasi ruangan mirip ILC itu memang menjadi ajang uneg-uneg para peserta diskusi, khususnya seputar hambatan-hambatan terkait dengan jalannya peradilan sekaligus tantangan yang dihadapi. Waktu yang tersedia yang hanya sekitar 2 jam dengan 5 pemateri yang mewakili beberapa unsur ( Komisi Yudisial, Kejaksaan, Pengadilan, Kepolisian, dan Advokat ) memang jauh dari harapan ideal para peserta. Akan tetapi, inisiatif KY untuk ikut mencarikan solusi atas salah satu hambatan jalannya peradilan patut tetap kita acungi jempol.

KY merupakan lembaga baru yang lahir sejak amandeman UUD 1945 pascareformasi. Akan tetapi, sebagaimana dapat kita telusuri dari berbagai sumber, sebagai suatu lembaga yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu dalam ranah kekuasaan kehakiman, sebenarnya ide yang menginginkannya sudah ada sejak tahun 1968 yaitu ketika dilakukan pembahasan rencana undang-undang (RUU) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Saat itu sempat diusulkan pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis ini diharapkan berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir terkait pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan hukuman jabatan untuk para hakim yang diajukan oleh Mahkamah Agung maupun oleh Menteri Kehakiman. Namun, ide tersebut tidak berhasil menjadi materi UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Gagasan ini kemudian kembali mencuat saat reformasi di tahun 1998.

Sebagaimana kita ketahui, beberapa agenda reformasi yang disuarakan oleh para mahasiswa tahun 1998 antara lain: mengadili Soeharto dan kroni-kroninya, melaksanakan amendemen UUD 1945, menghapus dwifungsi ABRI, melaksanakan otonomi daerah seluas-luasnya, menegakkan supremasi hukum, dan menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Melalui amendemen ketiga UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001 akhirnya disepakati tentang pembentukan Komisi Yudisial yang diatur secara khusus dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Semangat pembentukan Komisi Yudisial disandarkan pada keprihatinan mengenai kondisi wajah peradilan yang muram dan keadilan di Indonesia yang tak kunjung tegak.

Adapun tujuan dibentuknya KY pada pokoknya ialah: mendapatkan calon Hakim Agung, Hakim Ad Hoc di MA dan hakim di seluruh badan peradilan sesuai kebutuhan dan standar kelayakan, mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim, peningkatan kepatuhan hakim terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, terwujudnya kepercayaan publik terhadap hakim, meningkatkan kapasitas kelembagaan Komisi Yudisial yang bersih dan bebas KKN.
Untuk mendapatkan hakim agung dan hakim ad hoc di MA sesuai standar kelayakan tampaknya sudah berjalan secara lancar sekalipun belum menyentuh hakim lainnya (tingkat pertama dan banding). Sayangngnya, keberhasilan itu belum diikuti aktivitas upaya KY terhadap peningkatkan kapasitas hakim. Fungsi demikian tidak bisa terlaksana, karena tugas ini tampaknya harus tumpamg tindih dengan tupoksi Mahkamah Agung, dalam hal ini Pusdiklat Mahkamah Agung. Sedangkan mengenai kesejahteraan hakim, oleh para Hakim, khususnya hakim (pertama dan banding) KY memang patut diacungi jempol ketika kemudian lahir PP Nomor 94 Tahun 2012.

Kelahiran aturan yang menaikkan tunjangan hakim secara signifikan tersebut merupakan catatan sejarah yang patut ditulis dengan tinta emas, sekaligus bukti, bahwa KY sejatinya bukan lembaga negara yang menjadi musuh para hakim, seperti yang dipersepsikan para hakim sebelumnya. Sebagai lembaga yang ikut mengawasi hakim ternyata dapat pula berfungsi sebagai teman baik dengan institusi yang diawasi (baca: hakim). Ironisnya, justru fungsi tersebut tidak dapat dilakukan oleh induk organisasi, IKAHI. Akan tetapi sayang ketika kemesraan tersebut akan dilanjutkan dengan membentuk UU Jabatan Hakim untuk sementara harus berhenti.Situasi politik dan prioritas negara serta lembaga internal tampaknya menjadi beberapa alasan gagasan itu untuk sementara harus lenyap. Padahal, berbeda dengan PP sebelumnya lahirnya UU tersebut tidak menjadi dambaan hakim bawahan tetapi juga para hakim agung.

Sebagaimana kita ketahui pendapatan hakim yang tinggi menimbulkan problem ikutan. Penghasilan hakim akan mengalami terjun bebas saat menjalani pensiun. Sebab, setelah pensiun semua hakim hanya akan menerima gaji pokok sesuai pangkat dan golongan. Tingginya pendapatan bulanan hakim yang diterima saat masih aktif, hanya disebabkan oleh tinginya tunjangan sedangkan tunjangan itu harus hilang setelah para pengadil itu purna (pensiun). Pada undang-undang jabatan hakim ini selain perjuangan dari sisi kelembagaan, seperti UU Guru, UU Dokter, pada pokoknya termuatnya keinginan hakim agar pendapatan bulanan hakim itu dijadikan gaji pokok. Tujuannya, agar para pengadil yang sering dilebeli “Yang Mulia” itu tetap mulia pula pendapatannya saat harus menjalani purna tugas. Sebuah keinginan yang tentu membangkitkan rasa iri, sekaligus secara politik akan mendapatkan ‘perlawanan’ kelompok PNS atau institusi manapun, termasuk oleh KY sendiri. ”Diwenewhi ati ngrogoh rempelo” (diberi hati minta jantung), kira-kira begitulah cibiran logis mereka. Mereka layak mencibir begitu karena gagasan itu secara sirius muncul tidak lama setelah tingginya kenaikan tunjangan hakim sebagaimana diatur oleh PP Nomor 94 Tahun 2012.

Terlepas dari hilangnya isu pembicaraan kesejahteraan hakim pascapensiun dan gagasan lahirnya UU jabatan hakim, tampaknya kini ada beberapa aspek yang harus diketahui KY. Dan, dalam diskusi tersebut sama sekali tidak tersentuh.
Seiiring dengan tuntutan reformasi birokrasi, Mahkamah Agung saat ini sangat gencar melakukan berbagai inovasi. Tuntutan reformasi birokrasi dengan berbagai aspeknya kini telah menjadi agenda besar Mahkamah Agung dan satker di bawahnya. Tidak jarang berbagai inovasi tersebut, sebagiannya harus dilakukan sendiri oleh satker-satker. Sehingga ketika masyarakat melihat wajah peradilan masyarakat akan dibuat kagum sekaligus bingung. Kagum karena beberapa satker telah bisa ‘menasional’ bahkan ‘nginternasional’ berikut reward yang diterima.

Tapi masyarakat juga bingung ketika melihat antar pengadilan yang satu dengan lainnya bisa mempunyai inovasi pelayanan plus SOP yang berbeda-beda. Apalagi, ketika mereka mecoba membandingkannya dengan BUMN yang punya standar kerja seragam dari Sabang sampai Mearuke. Di Bank BRI misalnya, ketika orang ingin membuat kartu ATM sekaligus untuk mendapatkannya kembali apabila hilang, dari Sabang sampai Merauke, “SOP” nya sama. Tidak demikian halnya di peradilan. Untuk memperoleh akte cerai, antar PA yang satu dengan PA yang lain dalam banyak hal bisa berbeda.
Kita memang tidak mempersoalakan keikutsertaan lembaga peradilan pada kompetesi-kompetesi semacam APM dan Zona Integritas dengan target WBK dan WBBM. Sebab, sebagai salah satu intitusi yang sama-sama berada di bawah payung NKRI lembaga peradilan memang tidak boleh tinggal diam. Sebagai bentuk akuntabilitas kepada negara dan masyarakat, saat intitusi pemerintahan lain berlomba, pengadilan memang harus ikut serta. Akan tetapi, keikutsertaan lembaga peradilan, mestinya tidak serta merta melibatkan hakim. Atau, kalaupun harus terlibat, keterlibatan hakim dalam kompetisi harus tidak boleh mengganggu tupoksi hakim yang secara spesifik memang berbeda dengan non hakim. Sebagai contoh, hakim memang harus mematuhi aturan-aturan birokrasi dan tidak gagap teknologi (gaptek), tetapi hakim tidak boleh dipaksa-paksa dan diatur-atur oleh sistem non teknis peradilan demi target-target capaian kuantitatif. Tetapi, kita memang dapat menyepakati bahwa hakim harus berkinerja optimal. Optimalisasi kinerja hakim harus tetap tidak boleh meninggalkan aspek jatidiri tupoksi eksistensi hakim. Tampaknya, sedang ada opini yang ambigu. Di satu sisi hakim dianggap manusia “Wakil Tuhan”, di sisi lain, manusia super itu ternyata harus pula ikut kompetisi-kompetisi yang menyebabkannya harus berkutat dengan tugas-tugas administrasi yang mestinya bisa diselesaikan oleh aparat peradilan non hakim.

Mengenai keterlibatan ini, mestinya perlu dibedakan: “keterlibatan dalam sistem” dan “keterlibatan pembuatan sistem”. Dalam hal sistem suatu satker, hakim harus terlibat, seperti hakim, absen keluar masuk kantor tepat waktu, harus sidang tepat waktu (memulai sidang), membuat putusan dan bisa diaploadnya sesuai durasi waktu yang ditentukan. Dalam hal pembuatan sistem, hakim tidak perlu dilibatkan secara langsung, seperti membuat SOP, melakukan survei untuk mengukur indeks kepuasan masyarakat. Hakim dapat terlibat sesuai kapasitas keilmuannya, seperti menjadi tempat bertanya. Hal-hal yang menjadi pernik-pernik kompetisi, mestinya selesai di tangan para pejabat kesekretariatan atau kepaniteraan di bawah komando pimpinan selaku top manajer. Dalam praktik, saat ini hakim sering harus terlibat jauh dalam dua hal itu sekaligus: dalam sistem dan pembuatan sistem. Bahkan, ada kesan tanpa keikutsertaan hakim, program keikutsertaan kompetisi seolah tidak bisa berjalan. Yang terlihat berikut, hakim seperti keluar dari habitatnya. Akibat super sibuk dengan urusan kompetisi, para hakim kini jarang terlihat bisa berdiskusi-diskusi hukum. Para hakim juga terlihat jarang sempat membaca buku. Himbauan para mentor di diklat-diklat dan pelatihan-pelatihan teknis berupa “hakim harus banyak membaca buku”, kini nyaris menjadi jargon belaka. Sebagaimana pernah disampaikan oleh mendiang Hakim Agung Prof. Bustanul Arifin, seorang hakim haruslah learned in law (alim dalam ilmu hukum). Bahkan, tidak sebatas itu, menurut beliau di samping learned in law pada saat yang sama haruslah skilled in law (terampil melaksanakan hukum). Dengan kata lain seorang hakim dituntut memperkaya diri dengan pengetahuan sekaligus mampu menerapkannya di dunia nyata, yaitu ketika menangani sebuah perkara.

Secara masif, disadari atau tidak, wawasan keilmuan hakim akibat semakin berkurangnya melaukan refleksi profesi, kini mengalami stagnasi. Karena medan tantangan hakim semakin luas dan bervariasi di satu pihak sedangkan wawasan keilmuan dan pengetahuan yang stagnan, di pihak lain, maka suka atau suka, disadari atau tidak kini secara lembat tetapi pasti, telah terjadi “degradasi kualitas hakim”. Ironisnya, hal ini terjadi justru saat kesejahteraan hakim (signifikannya tunjangan hakim) dan gemerlap simbol-simbol lahiriah (seperti banyaknya pengadilan yang memeperolah sertifikat WBK) sedang moncer. Maraknya para hakim sutudi ke jenjang tertinggi, tampaknya juga belum serta merta bisa mendongkrak kualitas hakim. Pokok persoalannya, materi ilmu yang diperoleh sering tidak linear dengan bidang tugas praktis. Apalagi, juga masih ada beberapa oknum hakim yang “berstrata-3 ria” bukan karena motivasi ilmiah. Tetapi, hanya bermotif pragmatis, seperti yang pernah dikatakan Prof. Bagir Manan, yaitu sekedar ingin mendapatkan perhatian lebih dari atasan. Padahal, internalisasi keilmuan dan pengetahuan hakim diharapkan akan membuat hakim bisa berfikir tiga atau empat langkah ke depan. Sebaliknya, akibat miskin wawasan, hakim akan kurang mampu berfikir antisipasif terhadap perkara yang dihadapi.

Fenomena di atas tentu akan membahayakan hakim sekaligus institusi peradilan. Anarkhisme yang terjadi di peradilan selama ini, menurut banyak pengamat salah satunya disebabkan oleh kinerja lembaga peradilan, termasuk hakim, yang dianggap tidak professional. Dan, sebab utamanya ialah karena kesempatan hakim berselancar ke dunia ilmu sekaligus berefleksi profesi semakin kurang. Hal-hal itulah yang tampaknya belum terjamah dalam diskusi bergengsi di atas. Dan, hal demikian tentu menjadi PR KY sekarang juga. Wallahu a’lam.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait