Sisi Kelam Akibat Perceraian Bagi Anak

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas IA)

Tentang akibat perceraian, telah banyak penulis yang mengungkapnya, baik secara sosial, psikologis. Bahkan, tidak hanya bagi pasangan suami istri tetapi juga bagi anak-anak. Pada saat yang sama, realitas menunjukkan bahwa angka perceraian dari tahun ke tahun tidak pernah menurun. Dari statistik perkara dapat kita baca, bahwa betapa angka-angka perceraian di Indonesia amat memprihatinkan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). tahun 2015 sebanyak 5,89 persen pasangan suami istri bercerai (hidup). Jumlahnya sekitar 3,9 juta dari total 67,2 juta rumah tangga. Pada 2020, persentase perceraian naik menjadi 6,4 persen dari 72,9 juta rumah tangga atau sekitar 4,7 juta pasangan. Yaang perlu diingat, data yang didapat dari survei ini berbeda dengan data putusan perceraian yang ada di seluruh peradilan agama di Indonesia. Menurut data resmi putusan perceraian angka tersebut tentu bisa lebih tinggi. Hal ini bisa disebabkan beberapa faktor. Salah satu faktor terpenting adalah karena putusan perceraian masih tercampur dengan putusan yang belum berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sedangkan perceraian beserta akibat hukumnya berlaku setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Dan, khusus perkara cerai talak—yaitu perceraian yang diajukan oleh suami—berlaku setelah suami mengikrarkan talak di depan sidang Pengadilan Agama. Dengan demikian, putusan perceraian yang ada di Pengadilan Agama pasti lebih tinggi dibanding dengan perceraian senyatanya.

Terkait dengan kondisi anak, ada yang perlu membuat kita lebih prihatin. Mengapa? Jika perceraaian diartikan sebagai kegagalan rumah tangga, ternyata tidak semua orang yang telah merasa gagal berumah tangga secara resmi memilih melakukan perceraian. Rumah tangga memang telah bubrah sedikian rupa, akan tetapi pasangan suami istri lebih memilih tetap dengan status quo pernikahan. Disebut demikian, karena status perkawinan mereka memang tidak jelas. Perkawinan mereka tidak boleh disebut perkawinan bubar karena secara formal memang belum pernah bercerai. Akan tetapi juga tidak bisa disebut masih ada, sebab faktanya pasangan itu tidak menyatu sebagaimana mestinya. Tetapi satu hal yang pasti, bahwa perkawinan demikian juga disebut perkawinan bermasalah.

Dengan alasan demikian, jumlah rumah tangga bermasalah tidak boleh dilihat dari data statistik perceraian semata melainkan perlu juga dilihat data empiris, seperti perkawinan bermasalah yang disebut terakhir.
Bagi keberadaan anak kedua kategori rumah tangga tersebu sama-sama mengundang risiko. Bagi pasangan yang secara resmi bercerai, pada masa berikutnya biasanya anak dihadapkan dua hal ekstrim, ikut ayah atau ikut ibu. Hukum memang telah memberikan ketentuan yang jelas. Khusus yang beragama Islam, ketentuan mengenai keikutsertaan anak kepada ayah atau ibunya ini secara jelas telah dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam yang oleh sementara pakar hukum. Dianggap sebagai Fikih Indonesia.

Menurut Pasal 156 anak yang belum mumayyiz berhak mendapat hadanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia. Atau, dengan kata lain, ibulah yang berhak mengasuh anak yang belum mumayyiz, setelah ibu dan ayahnya bercerai. Sedangkan apabila ibunya telah meninggal dunia, tentang urutan berikutnya yang berhak mengasuh adalah: 1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. Ayah; 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping ibu (bibi dari pihak ibu); 6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping ayah (bibi dari pihak ayah).

Prioritas penentuan siapa yang berhak mengasuh anak yang belum mumayiz tersebut adalah semata pendekatan yuridis. Padahal, anak adalah seorang manusia yang tidak semata-mata memerlukan pendekatan yuridis. Sebagaimana manusia, anak memerlukan biaya hidup, memerlukan kasih sayang, memerlukan lingkungan yang baik. Dengan kata lain pertimbangan ekonomis, psikologis, dan sosial harus turut menjadi pertimbangan ketika menentukan kepada siapa anak harus mengikut setelah ayah ibunya. Itulah sebabnya di atas pertimbangan yuridis pada akhirnya setelah pertimbangan kemaslahatan anaklah yang harus didahulukan. Dengan kata lain, sekalipun secara secara yuridis, mestinya anak ikut orang sesuai urutan ketentuan hukum di atas, akan tetapi apabila ternyata tidak mengandung kemaslahan, maka ketentuan tersebut dapat disimpangi. Hakim Pengadilan Agama biasanya telah menyadari betul aspek-aspek tersebut, apabila kasus-kasus demikian dihadapkan kepadanya. Apalagi, saat ini memepertimbangan kepentingan si anak merupakan amanat Undang-undang Perlindungan Anak.

Akan tetapi, penentuan siapa yang berhak mengasuh sejatinya baru merupakan awal babak baru kehidupan anak. Pada perkembangan berikutnya, bisa saja situasi berubah yang menyebabkan kepentingan anak terganggu. Perubahan situasi itu sering terjadi ketika masing-masing pihak, ayah atau ibu, kemudian menemukan pasangannya masing-masing. Apabila anak kebetulan ikut ibu, bisa jadi anak menemukan ayah tiri yang baik. Beruntunglah anak tersebut karena ayah tirinya ternyata tidak hanya bertanggung jawab penuh secara materi tetapi juga bisa menggantikan kasih sayang ayah kandung si anak. Akan tetapi bagaimana jika anak tersebut kemudian mendapatkan ayah tiri yang tidak baik. Dia hanya sayang ibunya, tetapi sama sekali tidak memperdulikannya. Dalam fikih mainstream, pernikahan ibunya dengan ayah tiri memang menggugurkan hak hadanah anak.

Ketika suatu ketika ada salah seorang istri sahabat bersengketa dengan suaminya mengenai hak asuh, rasulullah SAW mengatakan kepadanya:”Engkau lebih berhak (mengasuh), selama engkau belum menikah.” Sebab, utamanya adalah agar jangan sampai pengasuhan anak dengan suami pertama, menggannggunya melakukan kewajiban-kewajiban rumah tangga bagi suami kedua. Pandangan fikih klasik demikian, memang masih menempatkan wanita sebagai subordinasi laki-laki yang sering ditentang oleh aktivis kesetaraan jender. Situasi juga akan berbeda, jika anak harus ikut ayah dan kemudian berhadapan dengan ibu tiri dengan segenap cerita legenda mengenai kisah ibu tiri yang kebanyakan ‘kejam’ terhadap anak tiri.

Terlepas adanya perdebatan mengenai kedudukan istri dalam keluarga dan berimbas kepada sistem pengasuhan anak, yang jelas, apabila karena perbedaan situasi anak harus berpindah kepada pengasuh lain, maka bisa saja hak asuh anak diganti keluarga yang lain. Akan tetapi siapa yang peduli dengan keadaan anak tersebut. Secara yuridis memang telah ditetapkan urutan keluarga yang berhak. Persoalannya, bagaimana jika keluarga yang lainpun tidak bisa mengurus? Ketidakbisaan mengurus dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena memang tidak peduli dan kedua karena adanya alasan-alasan lain, seperti ekonomi. Banyak keluarga yang karena kesibukan mengurus rumah tangga, sulit menaruh perhatian kepada anak saudaranya. Mungkin dari sisi ekonomi mampu, tapi kasih sayang belum tentu ada. Atau sebaliknya, kasih sayang ada, tetapi apa daya ekonomi tidak memungkinkan. Jika nenek tidak mampu, misalnya, saat ini sulit dicari pengasuh anak sampai ke derajat bibi. Hal demikian sangat berbeda dengan kondisi yang dialami Nabi Muhammad SAW. Sepeninggal ayah, ibu, dan kemudian kakek, Abu Talib pamannyalah yang mengambil alih peran pengasuhan. Mungkin kerabat beranggapan, bahwa anak dalam kasus perceraian berbeda dengan kasus ketika anak ditinggal mati kedua orang tuanya. Akan tetapi, ketika kedua orang tuanya sudah tidak mampu mengurus, bukankah anak tersebut sama halnya dengan tidak mempunyai orang tua. Akhirnya, anakpun harus tinggal bersama nenek renta yang tidak bisa apa-apa. Saat demikianlah masa kelam anak di mulai jika tidak mendapat lingkngan pergaulan yang baik. Atau, bisa jadi, masa kelam anak timbul saat anak dengan “terpaksa” harus diasuh oleh ayah atau ibu yang sedang bermasalah pascaperceraian. Yang sering terjadi, tampaknya perceraian juga seperti penyakit kronis. Seorang yang pernah bercerai dan telah mempunyai anak, biasanya akan menjalani perceraian berikutnya. Penyebabnya, salah satu di antaranya, adalah karena kegagalan mengelola anak bawaaan dari masing-masing suami istri yang sudah menduda atau menjanda tersebut. Dengan kata alain, ternyata betapa tidak mudah mempertahankan perkawinan kedua, dan bahkan seterusnya, dengan membawa serta anak bawaan dari pasangan sebelumnya. Sehingga, jangan heran jika di lapangan ditemukan ada orang kawin cerai sampai lebih dari lima kali disebabkan oleh hal tersebut. Ilustrasi ini tentu bukan atas rekaan belaka tetapi data valid berdasarkan pengalaman penulis berkecimpung di ‘dunia perceraian’ ( baca: PA).

Hal-hal di atas tampaknya juga berlaku bagi anak yang sudah mumayiz. Anak mumayiz ini oleh Prof. Satria Effendi diberi batasan seorang anak yang secara sederhana telah memapu membedakan antara yang bermanfaat dan yang membahayakan dirinya, dan telah mampu makan/minum dan berpakaian sendiri. Sekalipun dalam kasus anak mumayiz boleh memilih ikut ayah atau ibu tetapi keputusan yang diambil juga masih belum visioner. Keputusan yang diambil anak menentukan harus ayah atau ibu hanya didasarkan kepada kepentingan sesaat dan berniansa pragmatis, seperti karena ayah atau ibu sering memberi uang jajan atau tidak pernah memarahinya. Sehingga, keputusan anak menentukan pilihan tersebut sama sekali tidak hubungannya dengan kemaslahatan masa depannya. Yang demikian, juga pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW ketika ada seorang anak menjatuhkan pilihan yang salah dengan memilih ibunya. Oleh karena, ibu yang dipilih tersebut ternyata masih musyrik, rasulullahpun kemudian diam-diam berdoa agar hati anak tersebut dibuat condong dan mau memilih ikut ayahnya yang telah beriman. Anak itupun, dengan tanpa dipaksa oleh siapapun, kemudian memilih ikut ayahnya. Dalam konteks sekarang adakah Hakim, atau kiai/ustadz sekalipun, yang mempunyai kemustajaban doa seperti rasululah SAW tersebut, ketika ada kasus serupa di hadapannya? (bersambung).

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait