JAKARTA, beritalima.com – Komitmen pemerintahan Joko Widodo terhadap ekonomi kreatif dari awal cukup kuat. Namun sayangnya, hingga tiga tahun pemerintahan berjalan belum dibentuk sistem pengelolaan industri kreatif yang ajeg. Efeknya, belum ada lompatan yang nyata di industri ini.
Anggota Komisi X DPR RI Anang Hermansyah menilai komitmen pemerintahan Jokowi terhadap ekonomi kreatif tidak diimbangi dengan pembentukan sistem yang terstruktur dan ajeg sehingga tidak terjadi lompatan signifikan di sektor ini. “Tiga tahun pemerintahan Presiden Jokowi, belum ada yang tampak begitu kuat dalam penguatan ekonomi kreatif kita, tidak terkecuali di sektor musik,” ujar Anang di gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (27/9/2017).
Anang membeberkan data dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pada tahun 2014-2015 yang mengungkapkan sektor ini baru mampu menyumbang dalam perekonomian nasional sebesar 7,38 persen. “Tahun 2014 Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sektor ekonomi kreatif sebesar Rp 784,82 triliun, sedangkan tahun 2015 PDB ekonomi kreatif meningkat tipis sebesar Rp 852,24 triliun,” ungkap Anang.
Lebih lanjut Anang menyebutkan dari 16 subsektor ekonomi kreatif hanya tiga subsektor yang berkontribusi terhadap PDB di atas 10 persen yakni subsektor kuliner (41,69%), fashion (18,15%) serta kriya (15,70%). “Selebihnya di bawah 10 persen kontribusi di PDB nasional. Apalagi seperti subsektor musik, seni pertunjukan, film, seni rupa, desain interior, angka PDB-nya tidak mencapai 1 persen. Saya sedih betul lihat angka-angka ini,” sesal Anang.
Oleh karenanya, Anang menilai pemerintah masih memperlakukan ekonomi kreatif seperti bisnis pada umumnya. Padahal, kata Anang, dalam berbagai kesempatan Presiden mendengungkan tentang ekonomi kreatif yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. “Mestinya, komitmen Presiden tadi diwujudkan denngan politik hukum berupa membentuk regulasi yang mendorong pembentukan sistem yang ajeg, politik anggaran yang menyokong penguatan di sektor ini, termasuk politik penegakan hukum seperti memberantas pembajakan,” imbuh Anang.
Anang mencontohkan persoalan industri musik yang sampai saat ini belum tuntas baik soal pembajakan maupun soal pembagian royalti. Menurut dia, keberadaan UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, tidak spesifik mengatur soal permusikan. “Akibatnya apa, pelaku seni di sektor ini sampai sekarang belum merdeka di negerinya sendiri. Karyanya dibajak, hak ciptanya tidak dibayar secara adil. Disebabkab implementasi UU No 28 Tahun 2014 tidak efektif, karena memang bicara umum, tidak spesifik soal musik” urai Anang.
Musisi asal Jember ini mengusulkan, agar pemerintahan Jokowi memasuki tahun keempat pemerintahan agar fokus meletakkan sistem yang ajeg guna mengkonkretkan janji kampanye dan komitmennya terhadap ekonomi kreatif. “Saya mengusulkan sekarang saatnya agar membentuk sistemn yang bagus, perbaiki aparatnya dan pada akhirnya akan merevolusi mental masyarakat yang outputnya budaya hukum yang baik. Di situlah urgensi UU Permusikan, itu jika Presiden memiliki komitmen serius untuk memperbaiki sektor ini,” tandas Anang.
Ia pun memaklumi, bahwa RUU Permusikan telah disepakati masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) 2015-2019, karena RUU Permusikan merupakan aspirasi yang muncul dari pelaku industri musik atas persoalan yang muncul di sektor ini. “DPR menargtekan sebelum RUU Permusikan dapat disahkan sebelum pelaksanaan Pemilu 2019 mendatang,” imbuhnya. dedy mulyadi