JAKARTA, Beritalima.com– Bangsa Indonesia saat ini memerlukan sebuah narasi bersama yang menyatukan, bukan justru memperdalam pembelahan di masyarakat. Narasi itu, seperti saat masyarakat Indonesia bersatu kala memperjuangkan kata ‘Merdeka’ menjelang kemerdekaan Indonesia.
Hal tersebut dikatakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Muhammad Anis Matta ketika menjadi pembicara dalam diskusi Moya Institute bertajuk ‘Prospek Poros Islam Dalam Kontestasi 2024’ secara daring di Jakarta, Jumat (7/5). “Dari pengalaman masa lalu dan melihat konstelasi geopolitik hari ini, yang dibutuhkan adalah model blending politik baru berbasis pada pendalaman arah baru bagi negara kita.”
Hal itu dikatakan politisi senior kelahiran Welado, Bone, Sulawesi Selatan, 7 Desember 1968 tersebut ketika tampil sebagai pembicara dalam diskusi Moya Institute bertajuk ‘Prospek Poros Islam dalam Kontestasi 2024’ secara daring di Jakarta, Jumat (7/5).
Pendalaman arah baru itu, kata Wakil Ketua DPR RI bidang Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kokesra) era kedua Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini, sebagai arah baru masa depan Indonesia, sehingga semua masyarakat bisa berkolaborasi dan bersatu mencapai tujuan yang sama.
“Saya ingin sebut arah sejarah baru. Situasinya mirip dengan situasi kita menjelang kemerdekaan, kita perlu satu kata yang menyatukan kita,” kata Anis, politisi kelahiran Welado, Bone, Sulawesi Selatan, 7 Desember 1968 ini.
Anis menilai, politik identitas, termasuk pembentukan Poros Islam pada Pemilu 2024 mendatang, bukan solusi dari masalah yang ada. Hal itu justru hanya akan memperdalam pembelahan di masyarakat yang sudah terjadi sejak dua Pemilihan Presiden (Pilpres) lalu.
“Wacana itu harus dikaji ulang, karena membuat kelompok kecil semakin banyak di masyarakat. Ini bisa merusak rumah besar bangunan Indonesia yang terdiri dari berbagai Suku Bangsa dan agama. Ada soal yang jauh lebih signifikan daripada sekadar ide Poros Islam. Ide ini hanya akan memperdalam pembelahan yang sedang terjadi di masyarakat.”
Ia berpendapat, krisis sistemik yang terjadi global maupun nasional saat ini, mengakibatkan keterbelahan karena tak ada leadership. Para elite politik dari kelompok Islam, tengah dan kiri tampak seperti dalam kebingungan menghadapi krisis sistemik saat ini.
“Indonesia sedang mengalami pembelahan. Dan, pembelahan ini fenomena yang menunjukan elite kita sedang mengalami kebingungan akibat krisis sistemik ini,” kata Anis.
Anis yang sudah dari 20 tahun berkecimpung di dunia politik meminta para elit belajar dari kasus pembentukan Poros Tengah pada Pemilu 1999, yang berhasil mendudukkan dan sekaligus menurunkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI ke-5.
“Sebagai konsolidasi politik baru, sukses. Tetapi poros itu tidak sukses membawa Arah Baru Indonesia, karena poros yang sama juga menurunkan Gus Dur. Konsolidasi politik seperti ini berhenti sampai pada hasil, ouput politiknya saja. Jika konsolidasi tidak bagus bagi perfomance semuanya, bisa menjadi bumerang,” tegas dia.
Model basis pengelompokan lama ini, sangat tidak produktif bagi masa depan bangsa Indonesia sehingga pembentukan Poros Islam bukan sebuah solusi menyatukan, tetapi justru membuat kelompok kecil di masyarakat. “Cara merespon dengan pembentukan Poros Islam membuat kita masuk dalam konfrontasi yang merusak rumah besar bangunan Indonesia.”
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, Prof Komaruddin Hidayat terkesan dengan ide dan gagasan Anis untuk ‘menangkap’ kembali cita-cita Indonesia merdeka. “Saya terkesan dan apreciated yang disampaikan Pak Anis, bagaimana kita bisa menangkap cita-cita Indonesia merdeka, bagaimana itu dikembalikan dalam bentuk formula baru,” kata dia.
Di era demokrasi, menurut Komaruddin, akan semakin banyak kelompok identitas bermunculan, yang memiliki kesamaan identitas sehingga tidak mungkin menghilangkannya di era demokrasi ini. “Tapi pertanyaannya, apa politik identitas itu visioner, konstruktif dan destruktif.”
Dia justru mengkhawatirkan pembentukan Poros Islam hanya menjadi instrumen orang terpinggirkan secara politik selama ini. “Saya khawatir ini sebuah instrumen belaka, ketika orang itu terpinggirkan tidak bisa maju, membentuk kelompok kecil agar suaranya membesar. Kalau itu terjadi, saya khawatir hanya menjadi retorika sesaat yang instrumental. Tidak ada yang konstruktif dan tidak visioner.”
Pemerhati isu nasional dan global yang juga mantan diplomat senior Prof Imron Cotan menilai, ide Anis menyatukan agenda kebangsaan dan agenda umat merupakan pendekatan yang cerdik. Agenda tersebut bisa menjadi magnet bagi kaum nasionalis dan Ummat Islam.
“Saya masih ingat kenapa Partai Gelora mempunyai platform politik sedemikian itu, karena penduduk Indonesia adalah Ummat Islam. Kalaupun agenda kebangsan yang ditonjolkan, yang menikmati juga Ummat Islam mayoritas. Ini pendekatan yang cerdik,” kata Imron.
Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Azyumardi Azra menilai pembentukan Poros Islam akan sulit terealisisasi, meskipun idenya bagus. Ada tiga alasan kenapa Poros Islam sulit terbentuk.
Pertama, adanya kontestasi di partai-partai Islam itu sendiri yang membuat koalisi tersebut hanya sebatas wacana. Kedua, budaya politik masyarakat Islam di Indonesia tak fokus pada partai tertentu. Meski mayoritas masyarakat beragama Islam, tapi hal itu tidak menjamin besarnya pendukung partai Islam.
“Hingga saat ini tidak ada pemimpin Islam atau kalangan santri yang cukup kuat untuk mengkoalisikan partai-partai Islam di Indonesia. Pasalnya, setiap partai pasti akan mencalonkan kadernya,” demikian Prof Azyumardi Azra. (akhir)