Skandal Korupsi Izin Tambang PT Antam, Nama Tan Lie Pin Mendadak Hilang dari Pusaran Perkara Pencucian Uang

  • Whatsapp

Jakarta | beritalima.com – Skandal korupsi Izin Usaha Tambang (IUP) PT Antam di Blok Mandiodo, Kabupaten Konawe Utara, yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Nama Tan Lie Pin alias Lili Salim mendadak hilang dari pusaran perkara skandal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Dalam sidang perkara nomor 031-Pid-sus-TPK/2025/PN Jkt-Pst ini, Terdakwa Pemilik PT Lawu Agung Mining, yaitu Windu Aji Sutanto, dituntut enam tahun penjara terkait dugaan pencucian uang (TPPU) dari hasil korupsi penjualan biji nikel (ore nikel) yang berasal dari wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) PT Antam Tbk (Persero), Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Tan Lie Pin alias Lili Salim sudah tidak pernah muncul dalam perkara ini karena dianggap sebagai saksi kunci perkara ini. Bahkan sudah tiga kali absen dari panggilan persidangan termasuk sidang yang digelar, Senin (11/6/2025). Bahkan pemberitaan ini relah dilansir media online, Sinar Keadilan News (sinarkeadilannews.com). Juga disounding beritalima.com, pada Kamis (28/8/2025).

Praktisi Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Perjuangan Nasional Indonesia (LBH PERJUANGAN), Hardius Karo Karo, S.H., menyebut, hilangnya nama Tan Lie Pin alias Lili Salim dari pusaran perkara skandal TPPU dan Korupsi Izin Tambang PT Antam ini, tentulah karena adanya permainan pihak-pihak yang berkepentingan dengan aparat penegak hukum yang menangani perkara ini.

“Hal seperti itu sudah bukan sekali dua kali terjadi dalam perkara-perkara yang sedang berjalan. Tentu saja, ada dugaan permainan antara mafia hukum dengan oknum Aparat Penegak Hukum dalam hilangnya nama Tan Lie Pin alias Lili Salim itu dari perkara tersebut,” tutur Hardius Karo Karo, kepada wartawan di Jakarta, Rabu (27/8/2025).

Hardius mengatakan, di saat situasi penegakan hukum di Negeri ini sedang tidak baik-baik saja, kok masih saja ada para pemain atau oknum-oknum yang berpraktik sebagai mafia hukum. Ujarnya, akan membuat masyarakat semakin tidak percaya kepada JPU dan Hakim dalam memproses sebuah perkara.

“Tidak mungkin Jaksa dan atau penyidik tidak mengetahui dimana keberadaan Tan Lie Pin alias Lili Salim itu. Mereka pasti tahu itu. Namun mengapa tak dieksekusi tindakan pemanggilan paksa? Ya karena itu tadi, ada permainan di antara mereka,” lanjut Hardius Karo Karo.

Hardius pun menyarankan, agar persoalan ini dilaporkan kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, Prof Dr Sanitiar Burhanuddin, kepada Jamwas, kepada Bawas Mahkamah Agung (MA), dan kepada Komisi 3 DPR RI.

“Jika hal itu pun tak dilakukan, maka viralkan saja jaksa, hakim dan semua pihak yang diduga terlibat dalam perkara itu,” tandasnya.

Sebelumnya diberitakan, Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini telah memerintahkan agar Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menghadirkan Tan Lie Pin alias Lili Salim secara paksa pada sidang 28 April 2025. Namun, perintah itu belum dijalankan secara efektif.

“Majelis sudah memerintahkan upaya paksa. Tidak bisa ada saksi yang merasa kebal hukum, apalagi jika memiliki peran penting dalam konstruksi perkara,” tegas Hakim Ketua dalam sidang tersebut.

Kasus ini menjadi sorotan publik lantaran melibatkan perputaran dana dalam jumlah besar serta dugaan keterlibatan elite perusahaan dalam praktik pencucian uang.

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada Rabu (11/6/2025), Jaksa Penuntut Umum (JPU) R Alif Ardi Darmawan membeberkan fakta mengejutkan terkait aliran dana sebesar Rp 135,8 miliar yang diduga berasal dari hasil penjualan nikel ilegal.

Dana tersebut disamarkan melalui rekening dua orang office boy dari PT Lawu Agung Mining (LAM).

“Dana itu dialirkan melalui rekening dua office boy yang atas perintah langsung dari Komisaris perusahaan, Tan Lie Pin. Ini jelas merupakan upaya untuk menyamarkan transaksi ilegal,” ungkap JPU Alif Ardi Darmawan di ruang sidang tersebut.

Jaksa Penuntut Kejaksaan Agung (Kejagung) meminta Pemilik PT Lawu Agung Mining, Windu Aji Sutanto, dituntut enam tahun penjara terkait dugaan pencucian uang (TPPU) dari hasil korupsi penjualan bijih nikel (ore nikel) yang berasal dari wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) PT Antam Tbk (Persero), Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

“Ditambah denda Rp500 juta subsider pidana kurungan selama enam bulan,” urai penuntut umum Alif Ardi pada sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (13/8/2025).

Jaksa Penuntut Umum juga menuntut pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining, Glenn Ario Sudarto karena melakukan pencucian uang.

Namun, Glenn Ario hanya dituntut penjara selama lima tahun, ditambah denda sebesar Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.

Jaksa Penuntut Umum meyakini, kedua terdakwa melakukan perbuatan seperti diatur dan diancam dengan Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Jaksa Penuntut Umum menguraikan alasan memberatkan kedua kedua terdakwa karena tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Khusus Windu Aji, hal memberatkan lainnya yang dipertimbangkan, yakni dalam tindak pidana asal terbukti menikmati uang hasil korupsi dan dibebani uang pengganti sebesar Rp 135,83 miliar dan belum mengembalikan uang hasil korupsi yang dinikmatinya.

Dalam kasus tersebut, Windu Aji didakwa melakukan TPPU dari hasil korupsi penjualan bijih nikel yang berasal dari Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Antam Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Windu Aji menggunakan uang korupsi untuk membeli satu unit mobil Toyota Land Cruiser, satu unit Mercedes Benz Maybach, dan satu unit mobil Toyota Alphard, serta menerima uang Rp1,7 miliar.

Sementara Glenn Ario, yang hanya selaku pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining, didakwa justru lebih aktif berperan dalam penambangan bijih nikel hingga melakukan pengangkutan dan penjualan.

Hasil penambangan bijih nikel yang dilakukan PT Lawu Agung Mining pada lahan Antam seharusnya diserahkan kepada Antam, serta tidak dapat dilakukan pengangkutan dan penjualan ke pihak lain.

Akan tetapi, Glenn diduga membeli dokumen PT Kabaena Kromit Pratama (KKP) dan dokumen PT Tristaco Mineral Makmur (TTM) dengan harga antara 3 dolar amerika hingga 5 dolar amerika per metrik ton sehingga seolah-olah bijih nikel tersebut berasal dari WIUP PT KKP dan PT TMM dan dapat dijual ke pihak lain.

Adapun Windu Aji dan Glenn Ario telah divonis dalam kasus korupsi penjualan bijih nikel tersebut. Berdasarkan putusan tingkat kasasi, Windu Aji divonis 10 tahun penjara dan Glenn Ario divonis tujuh tahun penjara, serta denda masing-masing sebesar Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.

Tim Investigasi

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait