JAKARTA, Beritalima.com– Banjir yang melanda sebagian besar wilayah di Provinsi Kalimantan Selatan sejak beberapa hari lalu bukan hanya karena semata faktor tinggi dan lamanya curah hujan yang melanda daerah seribu sungai tersebut tapi lebih disebabkan adanya kerusakan hutan.
Karena itu, Anggota Komisi IV DPR RI yang membidangi Pertanian, Kehutanan dan Lingkungan Hidup, drh Slamet sangat menyayangkan pernyataan petinggi negeri ini yang menyebutkan banjir di wilayah Kalimantan Selatan murni akibat faktor alam, curah hujan tinggi dan gelombang laut mencapai 2,5 meter.
Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait banjir di Kalimantan Selatan itu mengatakan, bencana itu murni akibat curah hujan yang tinggi sehingga tidak tertampung oleh sungai yang ada. “Bencana ini tidak dapat kita katakan karena faktor alam semata. Ada hal yang membuat bencana ini semakin hebat, yakni faktor lingkungan yang berubah,” kata Slamet kepada Beritalima.com, Selasa (26/1).
Pertama, kata wakil rakyat dari Dapil IV Provinsi Jawa Barat tersebut, karena pola pembangunan yang tidak ramah lingkungan beberapa tahun belakangan ini. Kerusakan hutan juga banyak terjadi akibat perut bumi dikeruk. Kerusakan hutan dan lahan ini mengakibatkan kemampuan lahan menahan dan menyerap air berkurang drastis,” tutur Slamet.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan, tidak kurang 23 juta hektar hutan Indonesia mengalami kerusakan dan beralih fungsi hingga 2017. Hutan di Kalimantan berkurang lebih dari 8 juta hektar, hutan di Sumatera 6 juta hektar dan pulau Jawa tersisa 1 juta hektar.
Keadaan lingkungan yang berubah secara simultan dari tahun ke tahun ini, lanjut Slamet, menjadi bom waktu bencana alam. Banjir yang terjadi saat ini adalah awal dan ini menjadi peringatan bagi pemimpin negara ini.
Bencana lebih besar seperti perubahan Iklim sudah menanti. “Sudah saatnya Pemerintahan Jokowi serius menghentikan laju deforestasi di berbagai area hutan di tanah air. Ke depan, pengelolaan hutan harus tepat dan dilakukan untuk menciptakan lingkungan lestari, bukan saja mengembalikan fungsi-fungsi perbaikan lingkungan, tetapi secara bersamaan juga dapat memberikan dampak bagi kesejahteraan rakya,t” saran Slamet.
Data bank dunia menyatakan adanya kerugian negara US$ 4 milyar per tahun akibat berbagai bencana di tanah air. Pemicu utama bencana ini karena adanya pembalakan liar yang terjadi secara masif dari tahun ke tahun.
Sementara pemerintah hanya memungut US$ 300 juta per tahun dari aktifitas pengelolaan hutan. Ini berarti negara mengalami kerugian berlipat berupa rendahnya penerimaan negara dari aktivitas hutan sekaligus menanggung biaya recovery akibat kerusakan hutan.
“Sudah saatnya Pemerintahan Jokowi mengambil langkah drastis, tegas dan berani dalam penegakan hukum atas kasus perambahan kawasan hutan, konversi hutan menjadi kebun dan tambang ilegal. Perlu ada tindakan tepat dan cepat untuk menyelamatkan hutan negara kita dari aktifitas ilegal.
“Perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya hutan dan alam secara terintegrasi semoga di masa yang akan datang akan mampu mencegah adanya bencana yang lebih besar,” demikian drh Slamet. (akhir)