Smart Politics, Donald Trump, Jokowi, Politik Media Social Dan P8: Push Marketing

  • Whatsapp

Serial 10 P Untuk Marketing Politik
Denny JA
Kitapun mengenal istilah baru. Smart Politics. Demokrasi Internet. Micro Targetting. Trending. Shareability.
Smart Phone tak hanya alat  untuk menelfon dan mengirimkan teks. Tapi ia juga terkoneksi dengan internet, software dan komputer yang mobile. 
Smart TV tak hanya device untuk menonton siaran televisi. Tapi ia juga sudah menyatu dengan fasilitas software, dan aneka kemewahan yang diberikan jaringan internet.


Smart politics itu tak hanya soal politik. Itu adalah politik di tahap yang berbeda. Itu politik di era smart phone dan smart TV. Itu politik di era media sosial. Itu politik ketika segala hal bisa dishare secara cepat. Itu politik di era Internet of everything (IoE).
Itu era ketika informasi mulai dinilai dari seberapa ia menjadi trending. Seberapa kuat nilainya untuk di share (shareability). Ini era ketika pesan tak hanya bisa diblast secara massif. Tapi pesan itu juga bisa personalized, dikemas secara tajam pada segmen terkecil. Micro Targeting.
Ketika Donald Trump secara mengejutkan mengungguli Hillary Clinton dalam pemilu presiden di Amerika Serikat 2006, aktivis media sosial tidak ikut terkejut. Bagi mereka itu perkara yang jelas. Cukup melihat kehadiran Trump di media sosial dibandingkan Hillary. Terasa Donald Trump lebih dominan.
Dalam kampanye tahun 2016, Donald Trump memasang iklan di Facebook sebanyak 5,9 juta iklan. Ia menghabiskan dana sebanyak $ 44 juta USD, atau sekitar 700 milyar rupiah hanya untuk iklan Facebook. Bandingkanlah dengan Hillary Clinton. Clinton hanya memasang iklan facebook 66 ribu iklan saja. (1)
Donald Trump versus Hillary Clinton dalam iklan facebook: 5,9 juta iklan versus 66 ribu iklan.
Setelah menang, Trump juga tetap aktif menggunakan media sosial. Sejak masa pemerintahannya, hingga riset itu dibuat, Trump sudah mengirimkan tweet sebanyak 2550 kali. Rata rata dalam satu hari, Trump membuat tweet sebanyak 6,7 kali (2).
Dalam enam bulan pertama masa pemerintahannya, hanya ada dua hari yang berlalu tanpa satu pun tweet dari Donald Trump. Namun puncaknya, pernah dalam satu hari, Trump mengirim tweet sebanyak 16 kali.
Sukses kampanye Trump dinilai karena ia jeli berkampanye di era Smart Politics. Ia berhasil dominan di era internet. Sekitar 45 persen dana kampanye, Ia habiskan untuk riset dan menjangkau pemilih melalui dunia digital.
JIka Kennedy dikenal sebagai presiden pertama yang jeli memanfaatkan televisi. Maka Trump dikenal sebagai presiden pertama yang jeli memanfaatkan datangnya era Smart Politics.
-000-
Penulis membaca lagi berita pilpres Indonesia tahun 2014. Itu era ketika Smart Politics juga masuk dalam pemilu presiden Indonesia pertama kalinya. Saat itu, Jokowi- JK bertarung melawan Prabowo- Hatta.
Pada tanggal 4 Juni 2014, di akun twitter DennyJAWorld, penulis membuat kalimat pendek:
“Dengan RT ini, anda ikut memenangkan Jokowi-JK. Pilih pemimpin yang bisa dipercaya (Jokowi) dan berpengalaman (JK).
Tweet ini penulis buat bersandar pada hasilSurvei LSI Denny JA. Di antara tokoh yang bertarung dalam pilpres 2014, Jokowi dilpilih responden sebagai  tokoh yang paling dipercaya. JK dipilih responden sebagai tokoh yang paling berpengalaman di pemerintahan.
Tak diduga, tweet penulis di RT hingga hampir sejuta kali. Itu era ketika perang media sosial di Indonesia dimulai. Aneka kubu saling berkampanye, termasuk saling me-retweet (RT) posting yang disukai.
Penulis pun mendapatkan penghargaan internasional. Di tahun 2014, tweet itu dipilih sebagai The World Golden Tweet No 2, 2014. Tweet ini hanya kalah dari tweet Ellen De Generes. Saat itu Ia bersama para pemenang Oscar selfie bersama. (3)
Penulis juga mendapatkan penghargaan hingga kini. Tweet itu masuk dalam list: The most retweet tweet of all time tingkat dunia. Tweet penulis berada dalam daftar tweet Obama, juga Hilary Clinton (4)
Tahun 2015, bahkan Time Magazine memilih penulis termasuk satu dari 30 tokoh berpengaruh dalam internet dunia 2015. Termasuk dalam list itu adalah Presiden Obama dari Amerika Serikat, Presiden Argentina  Cristina Fernandes, Perdana Menteri India Narendra Modi, penulis JK Rowling, selebriti Justine Bieber dan Sakira. (5)
Kala itu, smart politics, politik di era Internet of Everything baru mengepakkan sayap pertama di Indonesia. Kini smart politics semakin membesar dan mendalam. Ia pun menjelma menjadi the politics of Big Data.
-000-


Kisah di atas penulis angkat sebagai apetizer masuk ke dalam dunia marketing politik. Ia masuk untuk topik P8: Push Marketing. Dalam rangka mempopulerkan dan meringkaskan marketing politik, penulis membuat formula 10 P.
Esai sebelumnya sudah menjelaskan P1 hingga P7. Esai kali ini lebih detail mengenai P8: Push Marketing.
Apa itu push marketing? Ia adalah strategi marketing yang menekankan pada “supply.” Pasangannya: Pull Marketing lebih menekankan pada Demand (lihat P7 dalam esai sebelumnya).
P7, Pull Marketing, menciptakan kebutuhan (Demand) kepada pemilih akan kandidat atau partai yang hendak bertarung dalam pemilu. Sedangkan P8, Push Marketing, membawa kandidat atau partai (Supply) agar menyentuh the heart and the mind of the people (pemilih atau warga).
Apa instrument dari push marketing? Tiga instrumen pentingnya: iklan media, debat di media, dan berita di media. Semua serba media. Tentu termasuk dalam kategori media itu media sosial dan media luar ruang (spanduk, baliho, flier, pamflet).
Bagaimana dunia akademis menjelaskan aneka instrumen itu: Iklan, debat  dan berita?
-000-
Satu: Iklan
Salah satu bentuk kampanye melalui media yang banyak digunakan adalah iklan media. Di suratkabar, radio dan televisi, kini juga di media sosial, iklan menjadi medium mempengaruhi persepsi publik.
Salah satu kelebihan iklan, pembuatnya (partai atau kandidat) bisa mengontrol informasi. Mereka dapat mengemas pesan sesuai dengan yang diinginkan. Berbeda dengan pemberitaan media. Dalam berita murni,  isi (content) berita ditentukan oleh organisasi media itu.
Iklan  politik di media tumbuh bersamaan dengan makin besarnya jumlah pemirsa, pembaca dan pendengar televisi, media, radio, serta media sosial. Terjadi ketergantungan pemilih pada media  untuk  memperoleh informasi mengenai politik. Melalui iklan di media, partai atau kandidat berharap bisa menjangkau pemilih secara cepat. 
Iklan (terutama televisi) telah digunakan dalam Pemilu di dunia sejak tahun 1960-an. Hingga kini, iklan media menjadi salah satu alat penting kandidat atau partai untuk menjangkau pemilih. 


Bentuk iklan politik sangat beragam. Secara umum, dikenal 6 pendekatan dalam iklan politik sebagai berikut. Contoh-contoh megenai iklan yang disajikan banyak diambil dalam kasus Pemilu di Amerika Serikat.
Pertama, iklan rasional. Sesuai dengan namanya, iklan ini menampilkan argumentasi mengapa partai atau kandidat harus dipilih. Iklan umumnya menampilkan masalah yang sedang dihadapi oleh pemilih. Partai atau kandidat kemudian menawarkan solusi untuk penyelesaian masalah tersebut. 
Jenis Iklan membidik sisi rasionalitas pemilih, dengan menawarkan alasan-alasan rasional mengapa kandidat atau partai harus didukung. 
Salah satu contoh iklan jenis ini mengenai pemotongan pajak (cut tax) yang dibuat oleh Barack Obama pada Pemilu Presiden di Amerika, 2008. Rencana Obama ini sendiri semula dianggap kontroversial, karena dipandang berhaluan “sosialis.”
Ia dianggap ingin meratakan pendapatan. Karena itu tim kampanye Obama membuat serangkaian iklan untuk menjelaskan rencana ini lebih jelas. 
Rencana Obama yang ditampilkan dalam iklan memotong pajak bagi kelompok berpenghasilan rendah dan menengah. Pendapatan negara yang hilang karena pajak dipotong, ditambah oleh pajak kelompok berpendapatan tinggi. 
Obama akan menaikkan pajak pendapatan bagi level eksekutif, menjadi 36% dari 33 persen. Juga menjadi 39,6% dari 35%. Individu berpenghasilan lebih dari $200.000 dan keluarga senilai lebih dari $250.000 akan merasakan kenaikan pajak. 
Tapi bagi populasi dengan penghasilan  lebih rendah, pajak justru diturunkan. Ini kebijakan yang menarik bagi pemilih berpenghasilan rendah. Jumlah pemilih yang menerima keringan pakak justru lebih banyak dibandingkan yang mendapatkan kenaikan pajak.
Dengan iklan ini, daya tarik Obama bagi pemilih berpenghasilan rendah sangat kuat. Keuntungan mereka memilih Obama sangat terasa.
Kedua, iklan yang ingin membangkitkan kepercayaan (trust) pemilih. Iklan jenis ini umumnya dibuat oleh partai atau kandidat dengan menekankan jejak dan rekord publiknya di masa lalu. Dengan jejak itu, Ia layak dipercaya.
Contoh  iklan jenis ini dibuat oleh Hillary Clinton dalam pertarungan calon dari partai demokrat (konvensi). Saat itu, Hillary bersaing dengan Barack Obama. 
Iklan itu  diberi judul “3 AM”. Iklan menampilkan suasana keluarga di Amerika pukul 3 dini hari, ketika anak-anak sedang terlelap tidur. Saat dini hari itu, telepon berdering. Narasi dalam iklan menyatakan siapa yang bisa menjawab telepon dini hari itu dengan segara. 
Iklan ini ingin menampilkan Hillary sebagai sosok yang berpengalaman dan bisa mengambil keputusan secara tepat dan tegas. Ketika negara sedang dalam bahaya (misalnya karena ancaman terorisme), dibutuhkan keputusan yang tepat dan cepat. 


Iklan ingin meyakinkan pemilih Demokrat bahwa Hillary adalah sosok yang bisa membuat jutaan anak-anak bisa terus tertidur, tanpa tertanggu. 
Berbeda dengan saingannya saat itu, Barack Obama, Hillary lebih memiliki pengalaman. Ia pernah dua kali menjadi first lady di white house. Ia juga meniti karir di politik legislatif. Ia lebih layak dipercaya, membuat rakyat amerika serikat tidur lebih nyenyak, walau menghadapi situasi darurat.
Ketiga, iklan humor. Sesuai dengan namanya, iklan menggunakan pendekatan humor baik untuk menampilkan diri kandidat, program ataupun menyerang kompetitor. 
Contohnya iklan yang dibuat oleh Ronald Reagan pada pemilu presiden di Amerika tahun 1984. Saat itu Reagen (Republik) bersaing dengan kandidat dari Partai Demokrat, Walter Mondale. 
Iklan itu berjudul “ Bear in the Wood”. Iklan itu dimulai dengan sebuah tagline “President Reagan: Prepared for Peace.“ Iklan menampilkan seekor beruang (bear). 
Iklan itu berkisah. “ Ini seekor beruang di  kutub. Banyak orang yang telah melihatnya. Yang lain belum pernah melihatnya. Banyak orang yang mengatakan beruang ini menakutkan. Yang lain mengatakan lucu, dan lainnya berbahaya”. 
Iklan ini banyak disukai karena simbolisasinya yang kuat. Menakutkan sekaligus menghibur. Itu era ketika perang dingin, antara Amerika Serikat versus Uni Sovyet sedang di puncak. Beruang itu simbol Uni Sovyet. 
Lewat iklan ini Reagan ini mengatakan memang  Sovyet berbahaya seperti beruang itu. Tapi di tangannya, yang memiliki pengalaman diplomasi, beruang yang seram pu bisa nampak lucu. Ia bisa menjinakkan Uni Sovyet. Itu yang tak dapat dijamin dari saingannya, Walter Mondale.
Keempat, iklan yang mengeksplor rasa takut.  Ini jenis kebalikan dari iklan humor. Jika pada iklan humor yang ditekankan adalah sisi menyenangkan dan memancing  tawa, iklan ketakutan menekankan pada hal-hal yang mengerikan.
Tujuannya untuk menyadarkan pemilih akan sebuah bahaya. Dan  bahaya tersebut hanya bisa diatasi jika rakyat memilih partai atau kandidat tertentu. 
Ketakutan yang ditampilkan dalam iklan bisa bermacam-macam. Ia bisa mengangkat kelemahan kompetitor. Atau ia menyajikan masalah besar yang sedang dihadapi negara. 
Contoh iklan jenis ini Bunga Daisy pada pemilu presiden di Amerika Serikat tahun 1964. Iklan ini dibuat oleh kandidat presiden dari Partai Demokrat (Lyndon Johnson). Iklan ini sekaligus untuk menyerang Barry Goldwater, calon presiden Partai Republik. 
Iklan menampilkan Goldwater sebagai seorang ekstremis yang mungkin akan mendatangkan Perang Dunia III. 


Iklan itu menggambarkan seorang gadis kecil yang sedang memetik daun bunga. Lalu terdengar suara laki-laki yang sedang menghitung detik-detik terakhir menjelang peluncuran rudal nuklir. 
Awan khas peledakan nuklir kelihatan di layar. Pemirsa  diingatkan. “Pilihlah Presiden Johnson pada 3 November. Taruhannya terlalu besar.”
Iklan ini menampilkan ancaman yang akan terjadi jika Goldwater terpilih sebagai presiden Amerika. Dunia menjadi tidak aman. Goldwater dipersepsi sebagai politisi koboi yang nekad, suka perang.
Iklan ini membangkitkan kembali trauma publik Amerika pada Perang Dunia kedua. Saat itu banyak rakyat Amerika kehilangan anggota keluarga.
Kelima, iklan negatif. Pendekatan ini dipakai partai atau kandidat untuk menyerang kompetitor dengan menampilkan sisi negatifnya. Yang diserang bisa titik lemah kepribadian kandidat. Bisa juga yang diserang itu programnya, baik yang dijanjikan, atau di masa silam.
Tujuan iklan ini menurunkan daya tarik kompetitor. Dengan iklan negatif itu, diharapkan pemilih mengetahui keburukan kompetitor. Bahwa Ia tak layak dipilih.
Di banyak negara maju (seperti Amerika atau Eropa), iklan negatif sangat populer. Hal ini didasarkan pada fakta. Lebih mudah menurunkan dukungan kompetitor dibandingkan dengan menaikkan dukungan partai atau kandidat. 
Dalam pertarungan head to head, dua pasang saja, menurunkan popularitas kompetitor itu sama dengan menambah probability kemenangan sang kandidat.
Di negara demokrasi matang, kampanye negatif diperbolehkan sepajang isi dari iklan tersebut berdaarkan fakta. Yang dilarang hanya fitnah kepada kompetitor. 
Iklan atau informasi negatif terhadap lawan, sejauh itu faktual, itu justru dianggap positif untuk demokrasi. Diharapkan ke depan, kasus itu menjadi pelajaran. Siapapun yang ingin berkarir di dunia publik, perlu hati hati dengan rekordnya, dengan citra dirinya.
Contoh iklan negatif dibuat oleh George Bush (republik) pada Pemilu Presiden di Amerika pada 1988. Lawan George Bush saat itu Michael Dukakis (demokrat), mantan gubernur Massachusetts.
Bush secara sengaja menyerang karakter Dukakis. Bush menggunakan kebijakan  yang pernah dibuat Dukakis saat menjadi gubernur. Dukakis  ketika itu melepaskan kriminal William Horton dari penjara.
Horton seorang narapidana dihukum penjara seumur hidup pada tahun 1974. Ia menikam mati petugas pompa bensin di Massachusetts. 
Dua belas tahun kemudian, Harton diberi cuti dua hari dalam program rehablitasi khusus yang diciptakan Michael Dukakis. Setelah lepas, Horton langsung melarikan diri. 
Bebarapa bulan kemudian ia tertangkap basah saat menganiaya dan memperkosa dua korban baru. Harton juga menyiksa pasangan korban perkosaannya.
Dalam iklan itu, peristiwa Horton dimanfaatkan kampanye Bush untuk memojokkan Dukakis sebagai pemimpin yang lemah dan naif. Ia terlalu naif soal potensi jahat seorang kriminal. 
Bush mempengaruhi persepsi pemilih. Bahwa Dukakis tidak akan mampu menanggulangi “gelombang kejahatan” yang sedang mengancam Amerika. 
Bush juga memainkan kartu ras. Dalam iklannya, nama Horton diubah dari William menjadi Willie. Ini agar pemirsa tahu, Horton adalah seorang Afrika-Amerika. 
Iklan itu menampilkan Horton (diperankan seorang aktor) keluar dari penjara. Narasi dalam iklan itu menampilkan kata- kata demikian,” Amerika tak bisa membiarkan Dukakis melakukan kesalahan yang sama”. 
Polling yang dibuat oleh CBS News/New York Times menunjukkan efek iklan. Setelah keluarnya iklan tersebut, prosentase  publik yang menilai Bush sanggup mengatasi masalah kejahatan naik dari 23% menjadi 61%. 
Keenam, iklan positif.  Jenis iklan ini lawan dari iklan negatif. Iklan tersebut umumnya dibuat oleh partai atau kandidat yang memiliki jejak publik yang bagus. Iklan menyajikan data keberhasilan dan prestasi yang telah diraih. 
Tujuan iklan menampilkan partai atau kandidat sebagai sosok yang positif dan  layak memimpin. 


Contohnya  klasik misalnya iklan yang dibuat Ronald Reagan pada pemilu presiden Amerika tahun 1984.  Judul iklan “Suatu Pagi di Amerika” (Morning in America).  Itu kala Reagan  sebagai incumbent. Ia ingin menunjukkan betapa Amerika Serikat sukses di bawah pemerintahannya.
Reagan menampilkan  Amerika yang mencerahkan. kondisi ekonomi sedang tumbuh. Rakyat umumnya bahagia.
Itu adalah pagi di Amerika. Hari ini rakyat bekerja. Prosentase rakyat yang bekerja yang terbesar jumlahnya dalam sejarah negara.
Dengan tingkat suku bunga hampir setengah dari tahun 1980, hari ini lebih dari 2.000 orang bisa membeli rumah baru.
Sore itu, 6.500 pasangan muda-mudi akan menikah. Mereka menikmati inflasi yang rendah. Mereka bisa memandang hari depan yang lebih cerah. 
Pagi seperti ini akan terus terjadi di Amerika. Di bawah leadership Reagan, Amerika Serikat bisa tumbuh lebih baik dan lebih kuat”. 
Iklan ini mampu menggambarkan kemajuan Amerika dengan cara yang menyentuh, tidak jargon dan bombastis. Iklan ini oleh banyak pengamat dinilai turut menyumbang kemenangan Reagan.  
-000-

Kapan dan jenis  iklan yang mana sebaiknya dipakai oleh partai atau kandidat? Itu ditentukan oleh dua hal. 
Pertama, tergantung oleh posisi kandidat. Kandidat yang berada pada posisi memimpin (unggul) jauh atas kompetitor, umumnya menggunakan pendekatan positif, rasional atau membangkitkan kepeercayaan (trust). 
Tujuan dari iklan untui mempertahankan keunggulan dan memantapkan dukungan kandidat dari pemilih. 
Sebaliknya, kandidat yang tertinggal dari kompetitor, bisa menggunakan  iklan negatif . Atau iklan  yang mengeksplor ketakutan (fear appeals) atas kompetitor. Tujuannya untuk menurunkan dukungan kompetitor yang tengah memimpin.
Kedua, tergantung oleh khalayak target sasaran iklan. Partai atau kandidat perlu berhati-hati menggunakan jenis pendekatan iklan. Ini agar efek iklan  tidak berbalik, justru berdampak buruk pada diri sendiri. 
Misalnya, iklan dengan menggunakan pendekatan rasa takut atau negatif yang ditujukan untuk menyerang pihak lawan (kompetitor). Jika tidak berhati-hati, iklan justru bisa berbalik kepada partai atau kandidat sendiri. 
Pemilih merasa iba atau kasihan dengan kampetitor yang digambarkan negatif oleh partai atau kandidat. Akibatnya justru mereka tidak bersimpati dan memilih mendukung kompetitor. 
Pilihan jenis iklan harus memperhatikan target pasar. Harus diamati target pasar itu berada dalam tipologi pemilih yang bagaimana.
Berdasarkan tipologi pemilih, sebuah perusahaan periklanan (agensi) global yang berpusat di Amerika, FCB (Foote, Cone & Belding) membuat suatu model yang popular.
Hal ini sering disebut sebagai Model FCB. Awalnya model ini banyak dipakai di dunia pemasaran produk komersial. Lalu model ini kemudian juga digunakan untuk marketing politik. 
Khalayak dibagi ke dalam dua karakteristik. Pertama, berdasar keterlibatan (involvement) mereka. Apakah pemilih ini punya ketrelibatan tinggi ataukah rendah. Khalayak dengan keterlibatan tinggi ditandai oleh perhatian yang tinggi dalam bidang politik. 
Misalnya, mereka cukup mengikuti berita dan informasi politik. Mereka sering berdiskusi mengenai masalah politik dengan orang lain.
Sebaliknya adalah khalayak dengan keterlibatan rendah. Ini ditandai oleh perhatian yang rendah pada masalah-masalah politik. 
Kedua, berdasarkan proses pengolahan pesan. Apakah pesan itu rasional ataukah emosional. Khalayak dengan tipe rasional ditandai oleh selalu membanding-bandingkan suatu produk (kandidat atau partai) dengan partai lain. 
Sementara tipe emosional lebih mengedepankan aspek emosi ketika menjatuhkan pilihan dalam Pemilu. Termasuk aspek emosi adalah kesamaan identitas sosial (agama, etnik, gender).
Berdasarkan dua karakteristik tersebut, terdapat 4 tipe khalayak.
Pertama, tipe informatif.  Ini jenis Khalayak (pemilih) yang punya perhatian tinggi pada politik. Sekaligus juga mereka  menggunakan aspek rasional.
Untuk kategori pemilih jenis ini, pendekatan yang cocok adalah iklan rasional atau iklan negatif. Partai atau kandidat menyajikan alasan-alasan yang kuat mengapa harus dipilih dibandingkan kompetitor. 
Pemilih kategori “informatif”, akan membandingkan secara rasional semua kandidat atau partai. Berdasarkan perbandingan  itu, Ia menjatuhkan pilihan. 
Untuk pemilih yang rasional, partai atau kandidat juga bisa membuat iklan negatif dengan menyajikan alasan mengapa kompetitor harus tidak dipilih. 


Kedua, tipe afektif. Pemilih kategori ini mempunyai perhatian yang tinggi terhadap politik. Tapi aspek emosionalnya lebih kuat ketimbang aspek rasionalnya.
Untuk kategori pemilih ini lebih diutamakan jenis iklan yang membangkitkan kepercayaan. Iklan menampilkan hal-hal yang menyenangkan dari kandidat dengan tujuan menyentuh emosi pemilih. 
Pemilih yang tersentuh emosinya akan berusaha mencari informasi lebih jauh mengenai kandidat.
Bentuk iklan lain yang sesuai dengan tipologi ini adalah jenis iklan yang mengeksplor rasa takut (fear). Emosi tipologi pemilih ini mudah tersentuh oleh jenis iklan yang mengerikan.
Ketiga, tipe pemilih karena kebiasaan. Ini jenis pemilih yang keterlibatan politiknya rendah. Sekaligus juga ia rasional.  Mereka memilih karena  kebiasaan (tradisi) turun temurun. Pilihan atas partai dilakukan, atau diwariskan oleh keluarga dan lingkungan sosial.  
Proses memilih diawali dengan memilih partai atau kandidat. Kemudian, mereka mencari alasan pembenar mengapa memilih partai atau kandidat itu.
Untuk pemilih dengan kategori ini, pendekatan iklan yang bisa dipakai adalah iklan positif. Tujuan dari iklan untuk meneguhkan atau memantapkan pilihan pemilih pada partai atau kandidat. 
Keempat, tipe pemilih emosional. Pemilih kategori ini mempunyai keterlibatan yang rendah pada politik. Tapi sisi emosi pemilih lebih bekerja.
Pemilih umumnya sudah memiliki pilihan pada kandidat atau partai. Pilihan tersebut didasarkan pada hal yang emosional (misalnya karena latar belakang agama, etnis, dan sebagainya). 


Untuk pemilih kategori ini, pendekatan iklan yang bisa dipakai adalah jenis iklan positif atau jenis iklan humor. 
Petanyaan penting, seberapa iklan berpengaruh pada sikap dan perilaku pemilih? Apakah iklan mempunyai dampak mempengaruhi pilihan?
Riset soal dampak iklan politik telah dilakukan ratusan kali (lihat misalnya review mengenai studi tersebut dalam Kaid & Holtz-Bacha, 1995). Ini hasil akumulasi riset itu.
Pertama, iklan berdampak pada pengetahuan pemilih. Pemilih yang sebelumnya tidak tahu mengenai kandidat, termasuk programnya, menjadi lebih tahu dan familiar setelah adanya iklan. 
Kedua, iklan berdampak pada penguatan pilihan. Pemilih yang telah mempunyai pilihan, akan makin yakin dan kuat setelah melihat iklan.  
Perbedaan hasil mengenai dampak iklan ditentukan oleh berbagai hal di antaranya jenis khalayak dan preferensi khalayak sebelumnya.
Cwalina (et.al, 2011) membangun suatu model untuk menjelaskan dampak iklan. Besarnya dampak tergantung kepada pengetahuan, sikap dan pilihan pemilih sebeumnya (sebelum melihat iklan). Itu juga tergantung pada apakah iklan sesuai dengan kebutuhan pemilih. 
Aspek di atas menentukan apakah dampak iklan hanya di level pengetahuan? Ataukah dampaknya lebih jauh hingga level perilaku. 
-000-


Dua: Debat Kandidat
Kampanye saat ini tidak mungkin bisa dilepaskan dari debat politik. Partai atau kandidat berdebat dengan kompetitor terkait dengan isu-isu tertentu. 
Acara debat umunya dilakukan oleh penyelenggara Pemilu (seperti Komisi Pemilihan Umum), media (televisi) dan perguruan tinggi, kelompok masyarakat sipil dan sebagainya. 
Pentingnya debat dalam pemasaran politik  ini diakibatkan oleh dua hal. Pertama, pemilih makin kritis. Pemilih tidak lagi membutuhkan pemaparan visi, misi atau program dari kandidat. Mereka  juga ingin tahu perbandingan antara kandidat satu dengan kandidat lain. 
Lewat debat, pemilih akan mendapatkan gambaran bagaimana kontras (perbandingan) antar kandidat. 
Kedua, peranan media. Format debat di mata media lebih menghibur dibandingkan dengan pemaran program partai atau kandidat yang bersifat searah.  Media juga lebih tertarik untuk menulis berita mengenai debat dibandingkan dengan pidato kandidat.  Debat bahkan bukan hanya penting bagi kandidat atau partai yang bertarung dalam pemilihan. Tetapi debat juga penting untuk demokrasi. Menurut Benoit (2000) debat penting untuk tiga hal. 


Pertama, memberi kesempatan pemilih untuk bisa menilai secara langsung bagaimana ide dan gagasan kandidat dalam menangani masalah. Pemilih bisa membandingkan kandidat mana yang paling baik dalam menawarkan solusi. 
Karena debat mempertemukan semua kandidat yang bertarung dalam pemilihan. Pemilih punya kesempatan untuk menilai dan membandingkan. Program yang mana yang lebih sesuai dengan kepentingannya yang diberikan oleh kandidat. Baik untuk satu isu  yang  sama, ataupun isu yang berbeda.
Kedua, debat memungkinkan pemilih melihat secara langsung bagaimana kandidat merespon suatu isu atau masalah. Dalam debat, seluruh personality kandidat nampak. 
Ini yang membedakan debat dengan pidato. Dalam  pidato kandidat relatif tidak spontan karena konsep sudah dipersiapkan sebelumnya. Tapi dalam debat, karena banyak hal yang tak diduga dapat terjadi, maka penguasaan masalah lebih teruji.
Ketiga, lewat debat, pemilih juga bisa menilai sisi emosional kandidat. Misalnya bagaimana kandidat menjawab tuduhan, mengajukan pertanyaan. Karakter kandidat (seperti perhatian, pintar atau emosional) lebih terlihat dalam debat. 
Di negara maju (seperti Amerika atau Eropa), debat menjadi sumber informasi terpenting bagi pemilih. Baik untuk mengetahui soal Isu dan karakter  dari kandidat yang bertarung.


kandidat diketahui terutama dari debat. Pada Pemilu tahun 2008 di Amerika misalnta. Acara debat antara Barack Obama (Demokrat) dan John McCain (Republik) ditonton lebih dari 63.2 juta pemirsa. Debat antara Jimmy Carter dan Ronald Reagan pada Pemilu 1980, ditonton lebih dari 80 juta pemilih.
Mengapa jumlah orang yang menonton debat sangat tinggi? Karena debat saat ini tidak hanya menjadi sumber informasi. Ia juga hiburan bagi pemilih. 
Debat ibaratnya sebuah “pertarungan tinju” di antara kandidat. Pemirsa (pemilih) bisa menilai bagaimana cara kandidat bertanya, menjawab pertanyaan, mencari kelemahan dari program yang ditawarkan kompetitor, dan sebagainya.   
Apa pengaruh debat terhadap perilaku pemilih? Ahli pemasaran politik berbeda pendapat.


Pandangan pertama mengatakan, debat mempunyai dampak yang sifatnya langsung kepada pemilih. Kandidat yang menang dalam debat, mempunyai peluang suaranya bertambah. 
Studi yang dilakukan oleh Skoko (2005) di Kroasia memperlihatkannya.  Skoko membandingkan suara kandidat sebelum dan setelah debat, dan menyelidiki pemilih yang berubah suara. Hasilnya, sebanyak 18% pemilih berubah pendapat setelah berlangsungnya debat. 
Studi yang mirip dilakukan oleh Pankowski (dalam Cwalina, et. al, 2011) dalam konteks pemilihan presiden Polandia pada tahun 1995. Dalam penelitiannya, Pankowsi memperlihatkan sebanyak 8% pemilih yang beralih suara setelah berlangsung debat. Pemilih ini mengubah dukungan suaranya setelah melihat performa dari masing-masing kandidat.
Pandangan kedua, debat mempunyai pengaruh, tetapi besarnya pengaruh sangat tergantung kepada faktor lain selain debat. Studi Kraus & Davis (1981) menunjukkan ada pengaruh debat pada perilaku pemilih. Hanya saja pengaruhnya tergantung kepada karakteristik pemilih. 
Dalam studinya, mereka membagi pemilih ke dalam tiga karegori. Jenis kategori pemilih ini menentukan apakah debat punya engaruh ataukah tidak. 
Pertama, pemilih yang menempatkan debat sebagai sumber informasi paling utama. Kelompok ini umumnya, meskipun tertarik dengan politik, tidak mengikuti semua kampanye.  
Bagi kelompok pemilih ini, debat kemudian menjadi sumber informasi paling penting mengenai kandidat. Juga ia menjadi sumber utama untuk isu yang diusung oleh kandidat. 


Kelompok kedua, disebut sebagai pencari informasi. Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok ini umumnya telah mengenal kandidat dengan baik termasuk program-programnya. Mereka menjadikan debat untuk  mendapatkan gambaran mengenai kandidat lebih baik. 
Ketiga, pemilih yang telah mempunyai pilihan pada kandidat atau partai. Debat digunakan oleh pemilih untuk memantapkan pilihan yang sudah dibuat. 
Karena ada kategori pemilih yang berbeda, bentuk dampak debat politik kemudian berbeda. Dalam studinya,  Kraus & Davis memperlihatkan debat berdampak terutama dalam memantapkan pilihan. Ini untuk kategori pemilih  yang sebelumnya telah mempunyai pilihan.
Studi lain dilakukan oleh Holbrook (1996). Ia membuat kontrol dengan memasukkan lima variabel kontrol: (1) identifikasi partai, 2)  punya pilihan pada  kandidat tertentu sebelum debat, (3) orientasi ideologis (liberal, moderat, konservatif), (4) sikap terhadap kandidat (positif, ragu-ragu, negatif), dan (5) evaluasi terhadap kinerja pemerintah (menyetujui vs. tidak menyetujui). 
Hasil penelitian memperlihatkan. Responden yang sebelum debat telah mempunyai pilihan, akan bertambah yakin untuk memilih kandidat tersebut setelah menonton debat. 


Debat menjadi sarana bagi pemilih (responden) untuk menguatkan pilihan. Ia menjadi dasar pembenar yang kuat mengapa memilih kandidat. 
Model paling komprehensif untuk menjelaskan pengaruh debat diperkenalkan oleh Chaffee (1978). Model ini telah diuji dalam berbagai Pemilu di Amerika. Meski model ini mendapat beberapa kritik, hingga saat ini model tersebut menjadi paling popular.
Dalam modelnya, Chaffee menggambarkan proses pengambilan keputusan pemilih (di Amerika) ke dalam tiga fase. Yaitu  fase pra-kampanye, fase pra debat, dan fase setelah debat. 
Pada fase sebelum kampanye, variabel yang paling menentukan pilihan adalah identifikasi partai dan kondisi status sosial ekonomi. Pada fase ini, belum ada kandidat  yang muncul. Pilihan responden ditentukan oleh kedekatannya dengan partai. Pilihan kandidat juga tergantung dengan kondisi ekonomi politik. 
Pemilih yang tidak puas dengan presiden yang memerintah (incumbent) cenderung memilih lawannya. Dan sebaliknya, pemilih yang puas akan memilih kembali calon presiden. 
Pada masa pra debat, variabel yang mempengaruhi sudah berbeda. Di fase ini, perbedaan ideologi  di antara kandidat dan partai menjadi salah satu faktor yang menjadi pertimbangan pemilih.  
Pertimbangan ini  berubah lagi pada fase setelah debat. Di fase ini, pemilih relatif sudah mengetahui kandidat, baik karakter, dan isu yang diangkat. Pemilih juga relatif punya gambaran soal kekuatan dan kelemahan kandidat. 


Faktor yang mempengaruhi pemilih adalah perbedaan (kontras) isu dan citra kandidat.   
 Jika mengacu kepada model yang dibuat oleh Chaffee, debat menempati posisi penting. Debat menjadi sumber informasi untuk tahu karakter kandidat dan isu yang diusung. 
Pemilih membandingkan karakter dan isu dari masing-masing kandidat. Kandidat yang mampu menampilkan performa yang baik, berpotensi untuk mendapatkan tambahan dukungan.
-000-
3. Berita Media
Selain lewat iklan dan debat, menjangkau pemilih juga bisa dilakukan lewat pemberitaan media. 
Partai atau kandidat tidak mungkin bisa menjangkau semua pemilih secara langsung. Pemilih tersebut bisa dijangkau dengan menggunakan media. Partai atau kandidat harus berupaya agar diberitakan oleh media dengan nada (tone) positif. 
Akan baik jika partai atau kandidat bisa menjadi “media darling”. Istilah untuk partai atau kandidat yang disukai media. Kesukaan ini dapat mempengaruhi tone berita media atas partai atau kandidat tanpa diminta.
Bagaimana strategi agar partai atau kandidat menjadi kesayangan media (media darling)? Hal apa yang harus dilakukan agar program, aktivitas atau  kegiatan kampanye partai dan kandidat diberitakan oleh media secara positif?


Mau tidak mau partai atau kandidat harus menyesuaikan diri dengan logika media. Sebelum membahas mengenai strategi media, perlu dibahas terlebih dahulu sebuah konsep penting dalam komunikasi politik, yakni  mediasi dan mediatisasi.

Apa beda mediasi dan mediatisasi?
Pada mediasi, media bergantung kepada institusi politik (termasuk partai atau kandidat). Institusi politik menjadi sumber berita utama bagi media. 
Sebaliknya pada mediatisasi, media relatif tidak bergantung kepada institusi politik.
Dalam mediasi, pemain utama informasi adalah politisi, kandidat atau pemilih. Media hanya menjadi tempat dan corong dua pihak itu berinteraksi. 
Dalam mediatisasi, pelaku utama adalah media sendiri. Pilihan isu, nilai, kebijakan organisasi media itu yang utama. Bahkan politisi dan partai jika ingin mendapatkan tempat pada media itu, perlu menyesuaikan diri.
Sebuah peristiwa politik tidak selalu diberitakan media. Itu karena  media mempunyai logika (media logic) untuk memberitakan atau tidak memberitakan.
Misalnya, pidato seorang politisi. Ia menyampaikan sebuah masalah yang penting. Politisi dan partai menilai pidato ini layak diberitakan.  Tapi belum tentu, akhirnya pidato itu benar benar diberitakan.
Media secara mandiri akak mempertimbangkan. Misalnya apakah pidato itu menarik? Punya nilai berita kah? Jika ada, sudut mana yang akan diangkat?
Peran media sudah berubah. Dari peran mediasi kini menjadi peran mediatisasi. 
Pada fase awal, yang berkembang adalah logika politik (political logic). Posisi media tergantung pada aktor dan lembaga politik lain. Media hanya berposisi sebagai saluran pesan dari aktor / institusi politik kepada khalayak. 
Karena posisi media tergantung kepada aktor / institusi politik, maka media mengikuti “political logic”. 
Pada fase kedua, media dan institusi politik mempunyai posisi yang seimbang.  Media tidak lagi tergantung kepada institusi dan aktor politik. Media mengembangkan kepentingannya sendiri. Sementara aktor / institusi politik juga memiliki sikapnya sendiri, yang mandiri.
Pada fase ketiga, berkembang logika media (media logic). Media makin dominan dalam politik. Sebagai akibatnya, aktor dan institiusi politik harus mengadopsi “media logic”. 
Media memainkan peranan dalam politik, seperti pencitraan, public relation, iklan, profesionalisasi komunikasi politik dan sebagainya.  
Aktor dan institusi politik akhirnya lebih cenderung mengikuti media logic dibandingkan political logic. Langkah-langkah politiknya lebih disesuaikan dengan media logic (menarik perhatian media, agar mempunyai nilai berita, dan sebagainya).
Apa  akibatnya? Karena yang berkembang adalah logika media (media logic), maka partai atau kandidat politik harus menyesuaikan diri dengan logika media. 
Mereka harus tahu bagaimana media bekerja. Apa yang menjadi dasar media memberitakan dan tidak memberitakan peristiwa? 
Kondisi logika media ini tidak bisa dihindari oleh partai atau kandidat. Ini karena makin berperannya media dalam kehidupan politik. 
Ketika kandidat melakukan kampanye misalnya. Kandidat tidak cukup hanya berpikir tentang logika politik (political logic). Seperti masalah yang ada di daerah yang menjadi sasaran kampanye? Atau solusi apa yang tepat?
Kandidat lebih jauh harus juga berpikir mengenai logika media. Bagaimana caranya agar kegiatan itu diliput media. Program atau isu apa yang menarik bagi media.
-000-
Kini kita sampai ke era baru: Big Data. Akumulasi data yang hadir di internet sedemikian banyaknya. Hanya menghitung dari dari empat lembaga besar: Facebook, Amazon, Google dan Microsoft, diduga data yang tersimpan di sana sebanyak 1200 petabytes. 
Itu sama dengan 1, 2 juta terrabytes. 1 terrabyte itu sama dengan 1000 gigabytes.
Data sebanyak itu tak lagi bisa diolah secara manual. Artificial inteligence pun lahir, mengalahkan kemampuan manual manusia.
Persaingan politik ke depan di era Smart Politics akan melibatkan artificial inteligence. Push Marketing ke depan semakin menggunakan Big Data.
Bersiaplah untuk itu. Bersiaplah bertarung dimana tim terpenting kampanye adalah robot dan artificial inteligence. ***
Juli 2020
(Bersambung)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait