Soal Calon Tunggal di Pilkada 2020, Guspardi: Yang Diadu Itu Otak, Bukan Kotak

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Pasangan calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 diprediksi meningkat karena ruang interaksi sosial untuk kampanye terbatas akibat wabah pandemi virus Corona (Covid-19).

Akibatnya, partai politik lebih memilih bakal calon yang sudah punya bekal elektabilitas tinggi dan sumber daya yang kuat. Efek pandemi juga membuat sumber daya yang dimiliki para calon lawan di daerah semakin mengecil. Modal mereka untuk mengikuti pesta demokrasi tak signifikan sehingga opsi mundur dari perhelatan pilkada menjadi pilihan.

Menanggapi hal tersebut, politisi senior Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus tak menafikan keadaan wabah pandemi Covid-19 bisa berakibat terjadinya calon tunggal di pilkada 2020.
Hal tersebut menurut laki-laki kelahiran Bukittinggi, 8 Juni 1956 tersebut menjadi kesempatan empuk bagi incumbent untuk mengikuti kembali pilkada dengan cara meraup dukungan semua partai di daerah sehingga tidak ada lagi calon sebagai pesaing.

Guspardi yang juga pengusaha ritel tersebut mengkritik cara seperti itu karena bisa berdampak buruk bagi pendidikan politik masyarakat sebab mereka disuguhi cara pandang politik yang mengedepankan menang adalah pilihan.

Padahal, adu gagasan untuk kemaslahatan daerah adalah esensi dari digelarnya pilkada. “Pemilu dalam demokrasi itu apa? Itu kan pertarungan antara satu kandidat dengan kandidat yang lain, bukan antara satu kotak dengan kandidat atau sebaliknya,” kata Guspardi dalam keterangan yang diterima awak media, Senin (6/7).

Guspardi mengungkapkan, masyarakat masih sering menjadi korban akibat buruknya pola persaingan politik yang dilakukan para kandidat kepala daerah. Contoh nyata untuk hal ini adalah politik uang (money politic) yang masih menjadi siasat terselubung para kandidat. Padahal, hal itu berefek buruk bagi demokrasi.

Fenomena calon tunggal yang memanfaatkan situasi pandemi untuk maju sendirian di pilkada, kata Guspardi, menambah daftar metode culas yang berdampak buruk bagi demokrasi tersebut. Karena itu, Guspardi mendesak agar cara seperti itu tak dilakukan jika ingin membangun daerah dengan baik.

“Saya sebagai anggota DPR tentu mengimbau kepada masyarakat, kepada para tokoh, apalagi para petinggi partai untuk menghindari calon tunggal itu,” tegasnya. “Kita kan harusnya adu konsep, adu gagasan mau dibawa ke mana daerah, mau dibawa ke mana masyarakat,” jelas dia.

Jika dilihat, tren pasangan calon tunggal terus meningkat di tiga gelombang pilkada serentak. Fakta ini dikhawatirkan akan kembali berlanjut di pilkada 2020. Pada pilkada 2015 yang berlangsung serentak di 269 daerah, tiga daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal.

Pada 2017, pilkada yang melibatkan 101 daerah juga memperlihatkan 9 daerah menggelar pilkada dengan kondisi yang sama. Jumlah itu semakin meningkat di pilkada 2018. Dari 171 daerah penyelenggara pilkada, 16 daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal.

Menurut Guspardi, tren itu bisa ditekan jika partai politik di daerah mampu menghadirkan sosok-sosok baru yang punya visi dan misi kuat. Kandidat inkumben, kata dia, juga harus berjiwa besar untuk tak menuruti hasratnya maju sendirian untuk mendapatkan kembali kursi kepemimpina. “Jangan melakukan metode yang ingin mengambil seluruh partai sehingga tidak bisa bagi sosok lain untuk tampil sebagai lawan.”

Wakil rakyat dari Dapil II Provinsi Sumatera Barat ini mengatakan, kalah atau menang tidak bisa dijadikan esensi dalam pilkada. Menghadirkan khazanah demokrasi yang lurus dan bersih agar tercipta pendidikan politik masyarakat yang baik adalah esensi sebenarnya.

“Tujuannya dari semua itu adalah kesejahteraan masyarakat. Kita harus malu, masa yang menjadi lawan bukan yang punya otak, melainkan kotak,” demikian Guspardi Gaos yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tersebut. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait