JAKARTA, Beritalima.com– Beberapa program dan kebijakan pemerintah dalam upaya penanggulangan dampak pandemi virus Corona (Covid-19) telah diluncurkan. Namun, ada beberapa program yang menuai sorotan masyarakat, karena ada yang dirasa kurang tepat dan dinilai masih lambat.
“Karena itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak ragu melakukan evaluasi terhadap program tersebut,” ungkap Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Matalitti usai bertemu dengan sejumlah elemen masyarakat dalam upaya pengawasan dan pemantauan situasi lapangan di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Timur.
Senator dari Dapil Provinsi Jawa Timur itu kepada awak media mengaku dirinya sengaja tetap turun ke lapangan, untuk melihat sendiri. “Dari dulu saya tidak percaya kertas-kertas laporan. Saya harus cek dan bertemu masyarakat,” kata LaNyalla seperti keterangan pers Biro Pemberitaan dan Humas DPD RI, Senin (27/4).
Dikatakan, program yang paling banyak disorot masyarakat terkait dengan Kartu Pra Kerja (KPK) yang diluncurkan Presiden Jokowi. Program tersebut sebenarnya sangat tepat dan pas, apabila diterapkan dalam situasi normal. Karena konsep dasar program ini untuk menyiapkan calon angkatan kerja baru atau untuk mencetak wirausahawan baru. Namun, itu menjadi kurang tepat sebagai jurus penanggulangan dampak pandemi Covid-19.
“Hari ini situasi kita berbeda drastis. Dunia usaha banyak yang collapse, daya beli masyarakat turun, PHK resmi maupun tak resmi, dengan pola karyawan dirumahkan, ada jutaan jumlahnya, orang butuh uang untuk sekedar makan ada di mana-mana, sementara biaya hidup, khususnya di kota dan wilayah urban cukup tinggi, nah mereka tidak butuh dibelikan modul pelatihan oleh pemerintah, tetapi substitusi atas kehilangan penghasilan karena di PHK atau dirumahkan,” kata LaNyalla.
Karena itu, wajar apabila biaya program KPK Rp 20 trilyun dengan rincian biaya untuk pelatihan online Rp. 5,6 trilyun, biaya insentif Rp 13,45 trilyun, dan biaya Survei Rp. 840 milyar. “Hanya komponen biaya insentif saja yang bisa diterima dalam bentuk tunai Rp. 600 ribu per bulan oleh pemegang KPK. Sisanya untuk membayar mitra pemerintah. “Ini mungkin yang perlu dievaluasi agar semua anggaran itu dialihkan dulu ke masyarakat. Prioritas kita masyarakat tersubstitusi atas hilangnya mata pencaharian mereka,” harap LaNyalla.
Apalagi sambung LaNyalla, dana penanggulangan Covid-19 Rp 405,1 trilyun yang disediakan pemerintah disebut masih tergolong sangat sedikit dibanding alokasi yang disiapkan sejumlah negara lain.
“Nah apalagi kalau dirasa sangat terbatas, seharusnya sangat selektif dan efektif penggunaannya. Bayangkan biaya survei Rp 800 milyar. Angka ini besar lho kalau dibelikan beras. Sebaiknya prioritas sekarang masyarakat yang miskin, yang kesulitan untuk makan, harus dijamin bisa makan. Itu dulu,” tutur pendiri Yayasan LaNyalla Academia itu. (akhir)