JAKARTA, Beritalima.com– Klaim sepihak China terhadap perairan Natuna Utara di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) adalah persoalan kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak bisa disepelekan dan ditawar dengan dalih investasi atau lainnya.
Permintan itu disampaikan Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid kepada Jokowi dan para pembantu presiden di kabinet terkait menanggapi insiden ngototnya Kemenlu China mengklaim kawasan laut China selatan (Natuna Utara) sebagai teritorial mereka dan menolak keputusan ANCLOS termasuk Arbitrase PBB yang mengakui kawasan laut Natuna Utara sebagai bagian dari NKRI.
Dengan sikapnya itu, ungkap politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini dalam keterangannya yang diterima awak media, Minggu (5/1), masuklah sejumlah kapal nelayan mereka dengan pengawalan Angkatan Laut China ke perairan Natuna Utara. Insiden itu memicu operasi siaga tempur TNI di perairan Natuna. Kemenlu RI juga melayangkan nota protes ke pemerintah China. Namun, protes itu tidak digubris China.
Karena itu, Ketua MPR RI 2004-2009 itu mengingatkan Presiden Jokowi untuk membuktikan dan melaksanakan pernyataannya mengenai Natuna saat kampanye pilpres 2014 yang diulang pada kesempatan serupa 2019.
Pernyataan Jokowi sangat jelas dan tegas, Natuna termasuk Natuna Utara adalah bagian dari teritorial Indonesia. Karena bagian dari NKRI, keutuhan NKRI adalah harga mati. “Kala itu Jokowi menyatakan, tak takut terhadap mereka yang mengklaim Natuna Utara. Jokowi harus membuktikan, saat ada kengototan China melanggar kedaulatan teritorial Indonesia di Natuna Utara,” kata Hidayat.
Wakil rakyat Dapil II DKI Jakarta itu juga mengkritik pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang meminta ketegangan dengan China karena insiden di Natuna tidak perlu dibesar-besarkan karena berkaitan dengan investasi negeri ‘Tirai Bambu’ itu di Indonesia, terutama terkait dengan perpindahan Ibu Kota, karena China akan menjadi investor terbesar untuk membangun Ibu Kota Indonesia yang baru.
Hidayat menilai, pernyataan Luhut sebagai menteri sangat tidak wajar dan tidak sepantasnya, karena keutuhan NKRI tidak boleh dikalahkan dengan alasan investasi.
Apalagi soal pembangunan Ibu Kota yang baru, belum ada payung hukumnya. “Padahal masalah Natuna, adalah soal keutuhan dan kedaulatan NKRI. Dan banyak orang selalu meneriakkan NKRI harga mati.”
Hidayat juga mengingatkan DPR dan Pemerintah sepakat mengesahkan UU No: 23/2019 tentang Pengelolaan Sumbe Daya Nasional untuk pertahanan negara akhir periode 2019–2024. Bila merujuk Pasal 4 UU, tindakan China sudah masuk ke dalam kategori ancaman terhadap NKRI.
“Pasal 4 ayat (3) menyebutkan, pelanggaran wilayah perbatasan masuk kepada kategori ancaman terhadap NKRI. Pemerintah mestinya juga harus segera menjalankan UU ini, di antaranya dengan menyusun program bela negara, pembentukan Komponen Pendukung dan Komponen Cadangan.”
Lebih jauh, Hidayat mendukung sikap Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi yang menegaskan penolakan Indonesia terhadap klaim China mengenai perairan Natuna Utara.
“Ketika Jubir Menlu China mengklaim kawasan yang oleh UNCLOS diakui sebagai bagian dari NKRI. Karena itu, demi NKRI harga mati, mestinya Jokowi mengoreksi Luhut dan memerintahkan Menkopolhukam serta Menhan mendukung untuk menguatkan sikap Menlu yang tegas menolak klaim China terhadap Natuna Utara.”
Hidayat juga meminta agar seluruh persoalan kenegaraan fokus dibahas, tanpa mengesampingkan satu sama lain. Contohnya adanya kecurigaan bahwa insiden Natuna hanya digunakan sebagai pengalihan isu dalam negeri, seperti rencana bailout Jiwasraya dan Bumiputera.
Hidayat menilai kasus-kasus itu sama pentingnya. “Dua kasus ini memang harus terus dikawal, jangan saling menafikan. Mengkritisi pelanggaran China di Natuna untuk jamin keutuhan dan kedaulatan NKRI. Tetapi jangan lupa, juga harus tetap fokus kepada realisasi program membentuk Pansus Jiwasrayagate di DPR-RI,” demikian Hidayat Nur Wahid. (akhir)