JAKARTA, Beritalima.com– Sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, Presiden Jokowi harus segera minta maaf kepada keluarga pekerja yang menjadi korban penyerangan terhadap 31 pekerja proyek jalan Trans Papua di Yigi, Ndugai oleh kelompok kriminal bersenjata beberapa hari lalu.
Dalam kasus itu, belasan pekerja dibantai dan termasuk seorang prajurit TNI meninggal. Mereka sudah dipulangkan ke daerah masing-masing untuk dimakamkan.
“Selain minta maaf kepada keluarga korban, Presiden Jokowi juga harus mencopot Kapolda Papua karena tidak mampu menjaga keamanan proyek strategis dan ambisus tersebut,” ungkap Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane melalui WhatssApp (WA) kepada Beritalima.com, Senin (10/12) malam.
Desakan pencopotan Kapolda tersebut, kata Neta, karena tindak kriminal merupakan tanggungjawab dari pihak kepolisian. “Saya nilai Kapolda gagal mengamankan wilayah dan warga sehingga terjadi pembantaian yang menimbulkan korban jiwa,” kata Neta.
Soalnya, lanjut Neta, IPW menilai yang terjadi di Yigi adalah kasus pembantaian dimana 31 pekerja terbiarkan menjadi korban. Kasus ini menunjukkan lemahnya koordinasi pemerintah dalam menjaga keamanan Papua, khususnya terhadap pekerja yang sedang mengerjakan proyek ambisius Jokowi, yakni Jalur Trans Papua
Lemahnya koordinasi ini, lanjut Neta, terlihat dari pernyataan Jokowi yang mengatakan daerah Nduga merupakan daerah merah, sementara Kadiv Humas Polri mengatakan Nduga daerah aman.
“Ini jelas membuat publik bingung. Mengingat Jokowi sebagai presiden mengatakan Nduga adalah daerah merah, lalu kenapa pengamanan terhadap pekerja tidak maksimal? Atas kecerobohan inilah Jokowi harus minta maaf dan harus segera mencopot Kapolda Papua.
Selain itu, IPW mendesak Polda Papua segera menjelaskan secara transparan, apa sesungguhnya yang terjadi di Distrik Yigi, kenapa 31 pekerja menjadi korban, dan bagaimana kronologisnya?
“Melihat apa yg terjadi di Yigi, itu adalah sebuah pembantaian paling keji yang pernah terjadi di Papua dan ini merupakan ‘kado hitam akhir 2018’ kepada Polda Papua sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam bidang keamanan di propinsi paling timur Indonesia.”
Kasus pembantaian di Yigi ini, lanjut Neta, juga menjadi kado hitam bagi rakyat Papua dan Bangsa Indonesia. Kasus pembantaian 31 pekerja ini sebuah gambaran betapa lemah dan tidak berdayanya Kapolda Papua dalam membuat dan menerapkan strategi keamanan bagi masyarakat di daerah itu hingga bisa terjadi pembantaian massal.
Ironisnya, aksi penyerangan tiga hari berturut turut itu terbiarkan. Sabtu dan Minggu kelompok bersenjata membantai pekerja. Lalu hari berikutnya kelompok itu menyerang Pos Yonif 756/Yalet dan membunuh satu TNI. Dimana intelijen Polda hingga kelompok itu bisa bebas selama tiga hari melakukan pembantaian?
Melihat kenyataan ini strategi dan kinerja Kapolda Papua patut dipertanyakan, apalagi jika mengingat di era Kapolda-kapolda sebelumnya kasus pembantaian seperti ini tidak pernah terjadi.
“IPW berharap kasus ini segera diungkap, pelakunya harus segera ditangkap untuk diproses hukum. IPW juga berharap, Presiden Jokowi tidak sekadar menggagas proyek ambisius Trans Papua tapi juga bisa menjamin nasib para pekerjanya hingga tidak dibantai secara sadis seperti di Yigi,” demikian Neta S Pane. (akhir)