JAKARTA, Beritalima.com– Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghapus Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dari Kabinet Indonesia Maju (KIM) dan meleburnya dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Selain penggabungan dua kementerian itu, Pemerintah juga membentuk Kementerian Investasi dan Penciptaan Lapangan Kerja. Penggabungan Kemenristek dengan Kemendikbud maupun pembentukan Kementerian Investasi dan Penciptaan Lapangan Kerja telah disetujui DPR RI melalui Rapat Paripurna, Jumat 9 April 2021.
Menanggapi pembentukan Kementerian Investasi dan Penciptaan Lapangan Kerja, politisi senior yang juga ekonom di Komisi XI DPR RI, Dr Hj Anis Byarwati mengatakan, melihat tujuan pembentukan Kementerian Investasi adalah meningkatkan investasi dan membuka lapangan kerja.
“Itu bukan solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan investasi di tanah air. Kalaupun direalisasikan, kementerian ini hanya akan menyelesaikan persoalan di bagian hilir investasi saja,” kata wakil rakyat Dapil Jakarta Timur itu dalam keterangan pers yang diterima awak media, Kamis (15/4) malam.
Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini mengatakan, World Economic Forum (WEF) pernah merilis 16 faktor yang menjadi penghalang iklim investasi di Indonesia. “Dari 16 faktor tersebut, korupsi menjadi kendala utama yang sangat menggangu dan merugikan,” kata Anis.
WEF menempatkan korupsi dengan skor tertinggi, yaitu 13,8 sebagai faktor utama penghambat investasi di Indonesia. “Maraknya praktik suap, gratifikasi dan pelicin yang dilakukan sejumlah oknum, terutama dalam pengurusan perizinan, mengakibatkan sejumlah dampak serius terhadap investor,” papar dia.
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bidang Ekonomi dan Keuangan ini juga menjelaskan faktor yang mempengaruhi investasi di dalam negeri adalah inefisiensi birokrasi dengan skor 11,1. Dilanjutkan dengan akses ke pembayaran dengan skor 9,2, infrastruktur tidak merata 8,8 dan kebijakan tidak stabil 8,6 yang melengkapi 5 faktor utama.
Anis juga memaparkan data lain terkait dengan posisi Indonesia di dalam rangking Ease of Doing Business dari Bank Dunia (2020) dimana banyak hal merefleksikan efektivitas dan efisiensi birokrasi. EDBBD menempatkan Indonesia berada di level 73. “Level yang menunjukkan posisi relative masih rendah,” ungkap Anis.
Ranking Indonesia tiga tahun terakhir relative stagnan dan masih di bawah negara-negara ASEAN. Sebut saja Singapura di posisi ke 2, Malaysia (12), Thailand (21), Brunei Darussalam (66) dan Vietnam di posisi 70. Karena itu, laporan Bank Dunia yang berjudul “Global Economic Risk and Implications for Indonesia” menyatakan, Indonesia dinilai berisiko, rumit dan tidak kompetitif.
Hal lain menjadi penghambat investasi di Indonesia adalah faktor regulasi yang tidak terprediksi, inkonsisten dan saling bertentangan. Dan, alasan yang juga sering mengganjal investasi dalam negeri adalah instabilitas pemerintah yang mendapat skor 6,5. Kemudian tarif pajak di rating 6,4, etos kerja buruh 5,8, regulasi pajak 5,2, dan pajak 4,7.
Kelima alasan ini melengkapi 10 besar faktor yang menjadi penghalang perkembangan inflasi di Indonesia. Jadi, persoalan investasi di Indonesia begitu kompleks, tak bisa diselesaikan dengan membuat kementerian dan lembaga baru.
“Hulu, tengah dan hilir harus diselesaikan. Pemerintahan Jokowi harus menghilangkan 10 besar faktor penghambat investasi, atau setidaknya hilangkan 5 faktor utama penghambat investasi,” demikian Dr Hj Anis Byarwati. (akhir)