Soal Perpres Putar Kunci, Mulyanto: Jokowi Jangan Marjinalkan Insinyur Domestik

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri&Pembangunan, Dr H Mulyanto mengingatkan Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk berhati-hati dalam menerapkan kebijakan Perpres 118/2020 tentang Pengadaan Teknologi Industri Melalui ‘Proyek Putar Kunci’ (turn key project).

“Jangan sampai aturan tersebut memarjinalkan peran insinyur domestik atau dalam negeri,” ungkap pemegang gelar Doktor Nuklir dari Tokyo Institute of Technology (Tokodai), Jepang itu dalam keterangan pers yang diterima awak media, Senin (15/3).

Putar Kunci adalah pengadaan teknologi dengan membeli suatu proyek teknologi secara lengkap mulai dari pengkajian (assessment), rancang bangun dan perekayasaan, implementasi (pengoperasian), dan penyerahan dalam kondisi siap digunakan. Dimana keterlibatan mitra domestik mendekati ‘zero’.

“Proyek Putar Kunci umumnya dilakukan di negara-negara yang baru mulai membangun, dimana mereka tidak memiliki modal pendanaan, manajemen proyek yang handal, teknologi dan Sumber Daya Manusia (SDM) terampil sehingga sesuai dengan namanya, dalam proyek ini, negara tinggal duduk manis lalu menerima dan putar kunci hasilnya saja,” jelas Mulyanto.

Dikatakan anggota Komisi VII DPR RI yang membidangi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Ilmu Pengetahuan&Teknologi (Iptek) dan Lingkungan Hidup itu, Indonesia sudah merdeka lebih dari 75 tahun. Sangat tidak masuk akal kalau masih mengandalkan proyek putar kunci.

“Hal ini sama saja namanya mencederai akal sehat dan tidak menghargai pencapaian bangsa di bidang SDM dan teknologi. Apalagi disebutkan, bahwa proyek tukar kunci ini berlaku untuk teknologi yang belum dikuasai secara domestik, baik sebagian ataupun seluruhnya,” kata dia.

Wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut, menyoroti isi Pasal 3 ayat (4) dari Perpres ini yang menyebutkan, Teknologi belum dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kondisi Teknologi Industri belum dikuasai sebagian atau seluruhnya di dalam negeri.

Frasa ‘sebagian’ tersebut sangat berbahaya karena terbuka kemungkinan, teknologi yang sudah dikembangkan dan dikuasai insinyur Indonesia sehingga menjadi termarjinalisasi karena tidak dapat didayagunakan.
Padahal, lanjut Mulyanto, setiap capaian pengembangan inovasi oleh peneliti dan insinyur dalam negeri seharusnya didorong menjadi komponen dalam sistem teknologi yang ingin dibeli Pemerintah. Jadi, klausul itu bertentangan dengan tujuan pengadaan teknologi Industri melalui proyek putar kunci, yakni mempercepat penguasaan dan penerapan teknologi industri, agar teknologi dapat dikuasai, dimanfaatkan dan dikembangkan di dalam negeri.

Seharusnya, kata Mulyanto, kita berjuang dan bernegosiasi dalam setiap impor teknologi kepada pihak asing, agar tingkat kandungan domestik, bisa dimasukkan semaksimal mungkin dalam proyek tersebut. Bukan malah dari awal kita menutup pintu untuk teknologi anak bangsa.

Kita yang menutup pintu untuk diri sendiri. Ini kan menjadi aneh. Karena klausul tersebut akan membuat kita makin tergantung dan didominasi asing. Pengalaman membuktikan, penguasaan teknologi melalui proyek putar kunci berjalan lambat.

Apalagi, kalau hal tersebut dibandingkan dengan reverse engineering (rekayasa terbalik) sebagaimana yang dilakukan Begawan teknologi bapak BJ Habibie dalam berbagai teknologi industri yang dikembangkan beliau di Industri Strategis.

Pemerintah diingatkan, berbagai kebutuhan pembangunan yang mendesak dan bersifat jangka pendek semestinya jangan sampai mengorbankan visi kemandirian dan daya saing bangsa di masa depan. “Kalau demikian terus, sampai kapan kita dapat menjadi bangsa yang mandiri, unggul dan berdaya saing?” (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait